Selasa, 02 Januari 2024

ISRA’ MI’RAJ MUKJIZAT TERBESAR KARYA SYEIKH MUTAWALLI ASY-SYA’RAWI



BAB I

LATAR BELAKANG DIBERIKANNYA MU‘JIZAT ISRĀ’ MI‘RĀJ KEPADA RASŪLULLĀH S.A.W.

Allah s.w.t. mendukung Rasūl-Nya, Muḥammad s.a.w. dengan berbagai mu‘jizat. Mu‘jizat itu sebagian besar bersifat materi, yang bisa dilihat oleh semua orang, seperti memancarnya air dari sela-sela jari Rasūlullāh, datangnya awan yang berarak memayungi perjalanannya di siang hari yang terik, retaknya bulan, dan lain-lain. Akan tetapi ada mu‘jizat terbesar yang belum pernah diberikan dan diperlihatkan kepada siapapun namun hanya diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu kepergian Rasūlullāh s.a.w. ke Sidrat-ul-Muntahā (langit tertinggi). Bahkan Rasūlullāh telah melampauinya untuk melihat ayat-ayat Allah di seluruh langit-Nya. Malaikat Jibrīl a.s. saja yang merupakan malaikat terbesar dan terdekat dengan Allah ta‘ālā tidak berani memasuki tempat itu. Hingga di Sidrat-ul-Muntahā, malaikat Jibrīl berhenti dan menyuruh Rasūlullāh s.a.w. maju seorang diri. Jibrīl berkata kepada beliau: “Majulah, ya Rasūlullāh! Kalau aku melampaui perbatasan ini dan maju bersamamu, aku akan terbakar hangus!”

Buku ini berbicara tentang mu‘jizat terbesar yang khusus diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu Isrā’ dan Mi‘raj. Tidak seorang nabi pun yang mendapatkan mu‘jizat ini. Belum pernah ada seorang nabi pun yang naik ke atas langit hingga mencapai Sidrat-ul-Muntahā (bahkan melampauinya), kemudian kembali ke bumi pada malam itu juga untuk meneruskan kehidupan rutinnya di muka bumi, selain Muḥammad Rasūlullāh s.a.w.

Sebelum kami berbicara tentang mu‘jizat besar ini, kami akan mengisahkan kepada anda peristiwa-peristiwa yang mendahului mu‘jizat tersebut yang menyebabkan mu‘jizat itu terjadi.

Rasūlullāh s.a.w. sebagai nabi dan rasul terakhir Allah s.w.t. telah dipersiapkan secara Ilāhiyyah oleh Allah ta‘ālā untuk mengemban risalah yang besar yakni risalah terakhir langit untuk bumi. Allah menjadikan Muḥammad s.a.w. seorang yang ummi, tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak ada orang yang bisa menuduh bahwa beliau “meniru dan mengutip” mu‘jizat itu dari peradaban umat-uamt yang lalu, atau dia belajar ilmu dari seorang guru. Allah s.w.t. menginginkan hanya Dialah satu-satunya yang menjadi guru Muḥammad s.a.w. Allah ingin ilmu yang diperoleh rasul-Nya itu langsung dari sisi-Nya, tanpa campur tangan peradaban bumi. Hal ini saja sudah merupakan suatu mu‘jizat.

Demikianlah, Muḥammad s.a.w. dibesarkan tanpa belajar dan tanpa seorang guru. Ini tidak seperti halnya anak-anak sebayanya. Muḥammad s.a.w. tidak tahu perihal dunia sedikitpun. Selama hidupnya beliau tidak pernah membaca satu huruf pun. Karena itulah, ketika malaikat Jibrīl datang menyuruhnya “Iqrā’ (bacalah!)”, Muḥammad langsung menjawab: “Mā ana bi-qāri’ (aku tidak pandai membaca)!” Beliau menjawab dengang tulus dan polos. Tetapi Jibrīl memeluknya erat-erat seraya berkata lagi, “Iqrā’”, dan Rasūlullāh mengulangi kembali jawabannya: “Mā ana bi-qāri’!”. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang hingga tiga kali.

Timbul pertanyaan di sini, apakah Allah ta‘ālā yang mengirim malaikat Jibrīl tidak tahu bahwa Muḥammad s.a.w. tidak pandai membaca dan menulis? Mengapa Muḥammad masih disuruh membaca? Bukankah Dia juga yang memilihnya menjadi seorang nabi yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Bahkan ciri-cirinya sudah diumumkan dalam kitab Taurāt dan Injīl, sejak Nabi Mūsā dan ‘Īsā a.s., jauh sebelum Muḥammad hidup di muka bumi.

Perhatikanlah firman-Nya dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:

الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلً النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْجِيْلِ.

“Mereka yang mengikut Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurāt dan Injīl…..” (al-A‘rāf: 157).

Ayat itu melukiskan kisah bangsa Yahudi yang menyembah anak lembu (sapi) dan bagaiman Mūsā a.s. telah memilih tujuh orang dari kaumnya. Kata Ikhtāra (bahwa yang dilakukan Mūsā itu adalah suatu kerja pilihan) artinya: “harus menggunakan akal pikiran”. Mūsā memilih “ikhtāra” tujuh puluh oleh lelaki yang diambil satu persatu dari setiap suku bangsa Yahudi sehingga semua suku Yahudi terwakili. Pada waktu yang ditetapkan, Mūsā a.s. akan memenuhi undangan Allah ta‘ālā. Allah ingin mengingatkan nabi-Nya, Mūsā a.s. tentang besarnya dosa kaumnya yang menyembah anak lembu (sapi). Karena itulah mereka dihukum dengan suatu gempa bumi yang dahsyat hingga menggocangkan seluruh persendian tubuh mereka, seolah-olah nyawa telah meninggalkan tubuh mereka masing-masing. Gempa yang ditimpakan Allah itu merupakan hukuman kepada orang yang menyembah dan menontoni keberkahan kepada anak lembu (sapi). Juga bencana dan adzab yang ditimpakan kepada orang yang tidak berusaha mencegah.

Pada waktu itulah Mūsā a.s. memohon kepada Rabbnya. Katanya: “Ya Rabbi, wahai Pengasih dan Penyayang! Apakah kami akan ditewaskan karena perbuatan sesat orang-orang bodoh itu? Ya Rabbi, berilah kami karunia rahmat-Mu di dunia dan di akhirat.”

Maka pada saat itu Allah s.w.t. memberitahukan kepada Mūsā a.s. tentang rahmat-Nya yang telah diberikan kepada orang yang mengikuti dan mematuhi Rasūl dan Nabi-Nya yang ummi. Allah memerintahkan agar “pemberitahuan” itu disampaikan kepada umatnya.

Dari kisah tersebut tahulah kita bahwa Allah ta‘ālā sejak azali telah memilih Rasūl-Nya yang ummi. Inipun merupakan salah satu mu‘jizat Rasūlullāh s.a.w. lainnya yang mengandung hikmah agar jangan ada orang yang menuduhnya telah mendapat ilmu dari Ahli Kitab atau membacanya dari kitab orang-orang terdahulu.

Yang dikatakan Jibrīl kepada Muḥammad s.a.w. pada pertemuan yang pertama kali itu tidak terlepas dari wahyu Jibrīl dikirim Allah untuk menyampaikan firman-Nya:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5).

Dengan mu‘jizat-Nya itu Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa Rasūl-Nya yang ummi, Muḥammad s.a.w. akan diajari-Nya sendiri supaya dapat menjadi guru seluruh umat manusia hingga akhir jaman.

 

1. Tantangan Awal yang Dihadapi Muḥammad S.A.W.

Allah ta‘ala memilih Muḥammad s.a.w. yang sudah terkenal akan kejujurannya di kalangan kaumnya sebagai Rasūl-Nya. Muḥammad hidup di tengah-tengah kaumnya selama empat puluh tahun sebelum diutus sebagai Rasūl dan sebelum dibebani amanat membawa risalah. Selama itu kaumnya belum pernah mendengar atau menyaksikan beliau berbohong, sampai-sampai beliau diberi gelar oleh kaumnya dengan gelar al-Amin.

Akan tetapi setelah beliau dibebani amanat oleh Allah untuk membawa risalah, dan agar menyeru kaumnya dengan teran-terangan, tokoh-tokoh Quraisy merintanginya. Ini disebabkan karena mereka melihat dakwah Islam yang disebarkan Muḥammad dari hari ke hari semakin mencuat. Tentu saja cepat atau lambat ini akan mengakhiri pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka karena itulah sejak awal mereka mati-matian merintangi dakwah Muḥammad. Bagaimana mereka tidak khawatir, Islam menyamakan kedudukan budak dengan majikan dan menyamaratakan manusia. Islam tidak memandang derajat manusia dari warna kulit, keturunan dan darahnya tapi dari ketaqwaannya. Islam memberikan hak yang sama kepada semua orang, entah itu kepada bangsawan maupun harijan (Salah satu suku di India yang dianggap paling rendah bahkan tidak boleh disentuh oleh kasta lain.).

Pekik-pekik Islam yang senantiasa didengungkan Muḥammad kepada kaumnya terdengar keras dan memekakkan telinga tokoh-tokoh Quraisy. Mereka panik dan kalap. Karena itulah mereka berusaha menumpas ajaran yang dibawa Muḥammad s.a.w. dengan segala cara. Setelah dengan cara kompromi melalui perundingan tidak berhasil, mereka melakukan kekerasan dan memerangi kaum muslimin. Namun al-ḥamdulillāh, pada awal dakwahnya Rasūlullāh memiliki dua orang pelindung yang mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan kaumnya sehingga tokoh-tokoh Quraisy tidak gegabah “menindak”nya. Kedua orang yang amat menyayangi dan amat melindungi beliau itu adalah pamannya, Abū Thālib dan istri yang sangat mencintai dan membelanya, Khadījah binti Khuwailid r.a.

Khadījah adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang pandai memberikan ketenangan kepada suaminya tatkala suaminya gundah-gulana. Ia memberikan semangat dengan ucapan, cinta dan hartanya agar suaminya terus berjuang menegakkan al-ḥaqq. Apabila Rasūlullāh kembali ke rumah dengan hati galau dan pikiran kacau karena sikap dan tindakan kaum Quraisy, maka Khadījah segera menyambutnya dengan senyum dan wajah cerah seperti menyambut seorang ksatria yang baru pulang dari medan laga sehingga derita yang dialami Rasūlullāh lenyap sebelum senyuman istrinya berakhir.

Kaum Quraisy dan tokoh-tokohnya terus mencari jalan keluar dalam menghadapi agama yang dibawa Muḥammad, yang tampak jelas kedatangannya hendak merampas kekuasaan dan pengaruh duniawi mereka. Pikiran pertama yang muncul dalam benak mereka adalah menyuap Muḥammad dengan harta, tahta dan wanita dengan syarat beliau mau meninggalkan dakwahnya. Sebagai penyembah dunia, mereka mengukur Muḥammad s.a.w. dengan materi. Mereka mengira Muḥammad dapat ditaklukkan dengan dunia pula. Untuk itu mereka berunding dan berunding terus dalam mempersiapkan bujuk-rayu yang ampuh. Setelah usai berunding, maka mereka pun pergilah menemui Abū Thālib guna menyampaikan tawaran tersebut. Kata mereka: “Kalau anda membawa kisah itu untuk mendapatkan harta, kami akan mengumpulkan harta kami untuk anda sehingga anda akan menjadi orang terkaya di antara kami. Kalau anda meminta kekuasaan dan wibawa, kami pun akan mengangkat anda menjadi raja kami, dan kalau yang datang kepada anda itu (maksudnya: wahyu yang dibawa malaikat Jibrīl) suatu kekuatan jinn, maka kami akan mencarikan seorang tabib yang mahir untuk menyembuhkan anda dari gangguan jinn ‘Ifrit yang jahat itu.”

Namun ternyata, bujuk-rayu mereka tidak mengenai sasaran. Muḥammad sama sekali tidak terpengaruh oleh dunia yang ditawarkan mereka karena memang beliau datang untuk mengundang orang agar memperbanyak bekal perjalanan ke akhirat. Ini terbukti bahwa Muḥammad datang dan menyeru bukan untuk menggalakkan kaumnya agar memburu harta dan kesenangan duniawi karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki bagi manusia. Di sanalah manusia kekal abadi.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ، لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ.

“Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabūt: 64).

 

Ketika pamannya, Abū Thālib menyampaikan amanat kaumnya itu, Muḥammad s.a.w. menjawab dengan tegas: “Ya ‘Ammi! Wallāhi, kalau sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak akan menghentikan dakwahku ini hingga akhir hayatku.”

 

2. Upaya dan Siksaan yang Dilakukan Kafir Quraisy.

Dari hari ke hari pengikut Muḥammad semakin bertambah dengan pesat sehingga kaum Quraisy semakin geram kepadanya. Karenanya mereka terus berusaha mencari jalan lain untuk membendung arus dakwah Rasūlullāh s.a.w. Akhirnya mereka mendapat jalan hendak membuat para pengikut Muḥammad ragu dan tidak percaya dengan risalahnya. Kalau para pengikut Muḥammad sudah termakan hasutannya para tokoh Quraisy berharap mereka meninggalkan ajaran Muḥammad. Dengan begitu otomatis dakwah Muḥammad mengalami kegagalan. Peristiwa ini direkam Allah dalam al-Qur’ān-ul-Karīm yang tertuang dalam surat ar-Ra‘d ayat 43:

“Berkatalah orang-orang kafir: “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasūl.” Katakanlah (Muḥammad): “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu al-Kitāb.”

Demikianlah firman Allah dalam menjawab kebohongan orang-orang kafir. Karena itulah upaya pertama mereka masih belum berhasil, dan setelah itu mereka mencari upaya lain. Setelah cara membujuk dengan kenikmatan duniawi dan tipu-daya meragukan hati pengikutnya gagal, mereka akhirnya melakukan jalan pintas dengan kekerasan. Mereka berharap kekerasan ini bisa membuat Muḥammad dan pengikutnya jera. Maka mulailah tindakan kejam dan keji mereka lakukan terhadap para budak dan pengikut Muḥammad s.a.w. yang tidak mempunyai kabilah yang melindungi keselamatan mereka di wilayahnya sehingga banyak budak dan kaum mustadh‘afīn (kaum lemah) yang menjadi sasaran tindak kekerasan. Mereka tidak memiliki daya untuk melepaskan diri selain bersabar menghadapi ujian tersebut.

Sudah menjadi suratan takdir, para mustadh‘afīn itulah yang menjadi syuhada’ Islam pertama dalam mempertahankan aqidah. Keluarga Yasir yang baru datang dari negeri Yaman dan masuk Islam di Makkah merupakan korban pertama kekerasan yang dilakukan kaum kafir Quraisy. Abū Jahal berusaha keras memaksa keluarga Yāsir untuk kembali pada kemurtadan sebelum menyiksa dan membunuh mereka. Tapi ternyata, Yāsir, istrinya, Sumayyah dan putranya, ‘Ammār memilih lebih baik mati di jalan Allah daripada murtad dari Islam.

Mereka (Yāsir sekeluarga) dibawa ke gurun pasir di luar kota Makkah. Di situ mereka disiksa dengan berbagai teknik penyiksaan jahiliyyah. Pada saat dilakukan penyiksaan kebetulan Rasūlullāh s.a.w. melewati tempat itu. Betapa pilu hatinya karena pada saat itu beliau belum bisa melepaskan mereka dari cengkeraman kaum kafir yang keji. Tetapi Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada mereka:

صَبْرًا آلَ يَاسِرٍ، إِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ.

“Wahai keluarga Yasir, bersabarlah! Allah telah menjanjikan surga untuk kalian.”

Penyiksaan biadab itu berjalan terus dengan berbagai teknik jahiliyyah sehingga Yāsir dan Sumayyah menghembuskan nafas terakhirnya. Itulah keluarga syuhada’ yang pertama menumpahkan darahnya dan mempersembahkan nyawanya fī sabīlillāh, radhiyallāhu ‘anhum wa radhū ‘anhu.

 

3. Mengapa Tindak Kekejaman Kaum Kafir Terus Berlanjut?

Tindakan penyiksaan kepada semua orang yang beriman dengan risalah Muḥammad s.a.w. berjalan terus, tetapi tidak seorang mu’min pun yang mau murtad dari keimanannya. Bahkan keimanan mereka semakin kuat dan membaja. Mereka yang disiksa bahkan tidak gentar untuk terus mengulang-ulang kalimat tauhid: “Ahad…. Ahad…. Ahad. Allah Maha Satu, Allah Maha Satu!” Bahkan kalimat itu menjadikan goyah iman orang-orang kafir dari keberhalaannya.

Karena tindak kekerasan dan penyiksaan tidak berhasil membungkam mulut kaum mu’min maka mereka semakin bertindak keras dan ganas. Namun sementara itu, mata langit mengintai dengan cermat apa yang terjadi terhadap orang-orangnya yang tiada berdaya dan berdosa. Karena itulah Allah memberitahukan janji-Nya kepada Muḥammad s.a.w.

“Golongan (orang kafir/musyrik) itu akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar”: 45).

Rasūlullāh s.a.w. membacakan ayat itu di depan para sahabatnya. Lalu ‘Umar bertanya: “Golongan yang mana, ya Rasūlullāh? Bukankah jumlah kami masih sedikit, lemah dan terhina?” Tetapi beberapa tahun kemudian, dalam perang Badar melawan kaum kafir, pasukan kaum muslimin dapat mengalahkan mereka padahal jumlah personil dan perlengkapan senjata kaum kafir jauh lebih besar dan lebih canggih dibanding yang dimiliki kaum muslimin. Pada perang Badar lebih dari tujuh puluh orang tokoh kaum kafir Quraisy tewas dan sebanyak itu pula jumlah pasukan kafir yang dapat ditawan kaum muslimin.

Mendapatkan kenyataan ini ‘Umar bin Khaththāb r.a. berdiri tertegun. Dia teringat akan janji Allah ta‘ālā yang pernah disampaikan Rasūlullāh kepadanya. Tiba-tiba dia berkata: “Nanti gerombolan kaum kafir akan dikalahkan dan mereka akan melarikan diri. Maha Benar Engkau, Ya Rabbku!”

Dari uraian peristiwa-peristiwa di atas, kini timbul pertanyaan, apakah Allah s.w.t. tidak mampu memenangkan agama dan rasul-Nya sejak awal dakwah? Apakah Allah tidak berkuasa menjadikan tokoh-tokoh Quraisy sebagai orang pertama yang memeluk Islam?

Sesungguhnya Allah s.w.t. ingin menunjukkan bahwa orang-orang muslim yang pertama adalah orang-orang teladan dalam keimanannya. Mereka tidak mudah tergoda dunia, tidak tergiur oleh harta dan wanita, tidak terbujuk kuasa dan mahkota, serta tidak menyerah selain kepada kehendak Allah s.w.t. Karena itulah Allah membuat mereka sedikit jumlahnya, sedikit harta-bendanya dibandingkan dengan yang dimiliki lawan-lawannya. Dalam masyarakat mereka tergolong rendah dan lemah. Dengan adanya ujian dari Allah tersebut maka otomatis orang-orang yang mau masuk ke dalam ad-Dīn-ul-Ḥaqq tersaring ketat. Yang masuk ke dalamnya hanyalah orang-orang yang benar-benar ikhlas dan jujur, yang siap mengorbankan harta dan sanak-keluarganya, bahkan rela mati demi menegakkan kalimat-Nya. Karena itulah, kaum muslimin generasi pertama mendapat amanat dari Allah untuk membawa dan menyebarkan ajaran-Nya ke seluruh pelosok dalam keadaan bersih dan murni. Ad-Dīn-ul-Ḥaqq tidak boleh tercemar dengan ambisi dan pamrih duniawi. Karenanya, pikiran dan qalbu kaum muslimin generasi pertama harus dibersihkan dari kepentingan-kepentingan duniawi meskipun hanya sebesar dzarrah. Merekalah yang membuka pintu negara dunia dan mempersembakan warisan Rasūlullāh s.a.w. kepada seluruh umat manusia. Merekalah yang akan membuka pintu negara dan istananya. Kalau saja pikiran dan qalbunya sudah terkotori oleh ambisi dan kecintaan pada dunia tentu dakwah sudah berakhir pada awal langkah mereka.

Kalau panji Islam dikibarkan pertama-tama oleh seorang tokoh dunia, oleh seorang hartawan, atau seorang pejabat, tentu banyak orang yang menyambutnya dengan antusias tapi dengan berbagai cara nifaq dan riya’. Tentu orang akan menyambut seruan mereka karena ingin “mengambil hati”nya, seperti yang dilakukan kaum munafiq yang mengipas-ngipas dan meniup-niup para penguasa dunia lainnya. Mereka memasuki agama ini karena ada kepentingannya, tapi juga akan segera meninggalkannya bila ada ujian menghadang.

Karena itulah, maka Allah membebankan medan dakwah ad-Dīn-Nya pada orang-orang yang Dia benar-benar Maha Tahu akan keikhlasan dan keteguhannya. Allah ta‘ālā amat sangat tidak ingin ad-Dīn-Nya dibawa oleh orang-orang munafiq. Tentu mereka akan menjadikan ad-Dīn itu sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Tentu mereka akan melakukan transaksi kepada siapa yang sanggup membayar lebih tinggi. Tidak! Allah sama sekali tidak menginginkan hal itu. Allah hanya ingin yang membawa ad-Dīn-Nya adalah orang-orang yang benar-benar beriman, yang tidak mau memperjual-belikan ad-Dīn-Nya dan menukarnya dengan dunia. Allah menghendaki orang-orang yang lebih takut kepada-Nya daripada kepada orang lain. Mereka yang dengan gagah-berani memaklumkan kalimat kebenaran tanpa rasa takut dan ngeri kepada siapapun selain kepada Allah. Yang tidak mudah tergelincir dan tertipu oleh kesenangan duniawi yang sementara.

 

Karena itulah, tahun-tahun pertama pengembangan Islam dapat disebut juga sebagai tahun-tahun penyaringan dan pembersihan keimanan yang jujur. Pada waktu itu orang yang memeluk Islam tidak memperoleh kesenangan dunia sedikitpun, bahkan mereka memperoleh sebaliknya. Mereka dikejar-kejar dan disiksa dengan perbagai siksaan baik fisik, moral dan mentalnya. Namun karena iman yang mendekam dalam lubuk hatinya bukan iman orang-orang munafiq, maka mereka menerima semua resiko itu dengan sabar dan tawakkal. Itulah kiranya yang dikehendaki Allah s.w.t.

Aqidah yang jujur tidak hanya diucapkan dengan kata-kata, akan tetapi dibuktikan dengan amaliyah yang ikhlas. Ujian praktek merupakan bukti hakiki dari apa yang terpendam dalam lubuk jiwa manusia. Karena itulah, Allah ta‘ālā senantiasa meminta bukti dari orang yang telah menyatakan keislamannya dan menjadi prajurit ad-Dīn-Nya lewat firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوْا وَ لَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَ لَمْ يَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَ لَا رَسُوْلِهِ وَ لَا الْمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً وَ اللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (at-Taubah: 16).

Demikianlah kisah awal bergerak dan berkembangnya Islam, dan begitulah kaum muslimin generasi pertama menghadapi ujian berat berupa penyiksaan, peperangan dan bahkan pembunuhan sebagai konsekuensi logis dari keimanannya. Itulah salah satu bukti yang harus mereka perlihatkan sebagai jundullāh, sebagai penyandang amanat dakwah yang harus mengumandangkannya ke seluruh penjuru. Itulah juga yang diinginkan Allah ta‘ālā dari kaum muslimin untuk ad-Dīn-Nya supaya tetap bersih dari tangan orang-orang munafiq yang imannya rapuh sehingga penyandang ad-Dīn ini hanya terdiri dari orang-orang yang imannya kuat dan keikhlasannya tinggi, yang tahan bantingan dan ujian seperti yang dikehendaki-Nya.

Rasūlullāh s.a.w. dan kaum muslimin (generasi pertama) yang menyertainya sudah cukup berat menerima ujian. Ketabahan mereka sudah cukup tinggi. Maka pantaslah bila Allah ta‘ālā menyatakan mereka Radhiyallāhu ‘anhum wa radhū ‘anhu. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun telah menyatakan ridha kepada Allah. Setiap kali menghadapi gangguan dan rintangan berat dari musuh-musuhNya, setiap itu pula keimanannya kepada Allah dan kepada janji-janjiNya semakin kuat dan keras. Dari tangan merekalah kita menerima warisan itu dalam keadaan putih-bersih karena qalbu mereka yang suci-murni.

 

 

 

3. Kaum Kafir Quraisy Semakin Kalap.

Dari hari ke hari kaum kafir Quraisy semakin kalap dan menggila. Mereka pergi ke Abū Thālib, paman Muḥammad s.a.w., memohon dengan sangat agar Muḥammad meninggalkan dakwahnya. Maka terjadilah dialog antara Muḥammad s.a.w. dengan pamannya. Rasūlullāh bersikeras tidak mau berkompromi dalam menyebarkan dakwah, apapun resiko yang dihadapinya. Ini merupakan puncak keimanan yang tidak mungkin digeser dan digoyahkan sedikitpun. Akhirnya pamannya menyerahkan masalah itu sepenuhnya kepada beliau. Katanya: “Kalau begitu terserah apa kehendakmu, wahai putra saudaraku. Demi Allah, aku tidak akan menekanmu untuk tunduk kepada apa yang tidak engkau kehendaki!”

Abū Thālib kemudian meminta kepada keluarga Bani Hāsyim dan keluarga Bani ‘Abd-ul-Muththalib supaya mereka bersedia melindungi Muḥammad dari tindakan jahat Quraisy. Ternyata seruannya itu mendapat sambutan spontan, kecuali dari Abū Lahab, paman Rasūlullāh yang memusuhi Islam dengan amat sangat.

Demikianlah, dalam menghadapi tindakan keji dan ancaman jahat dari kaum Quraisy, Rasūlullāh mendapat perlindungan dari kedua keluarga dekatnya (dari satu pihak), dan dari pihak lain pun, yakni dari istri tersayangnya, Khadījah, beliau mendapat dukungan dan perlindungan yang tiada duanya. Khadījah berhasil memberikan ketenangan di rumah. Tidak itu saja. Dia juga mendorong dan menunjang perjuangan Rasūlullāh dengan harta, dengan ucapan yang menentramkan dan membangkitkan semangat, dan tentu saja dengan segenap cintanya.

Sementara itu, tentu baiknya. Abū Bakar yang termasuk hartawan berusaha keras membeli hamba sahaya yang masuk Islam agar mereka terlepas dari tindakan kejam dan keji majikan-majikannya.

Rasūlullāh s.a.w. yang mendapat perlindungan dari Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib tidak terlepas dari tindakan brutal kaumnya. Kadang-kadang di jalanan yang dilewatinya, kaum Quraisy meletakkan kotoran hewan atau rintangan berduri untuk melukai beliau. Bahkan ketika sedang shalat di Ka‘bah terkadang Rasūlullāh disirami kotoran hewan dari belakang. Tetapi semua makar itu dihadapi beliau dengan penuh kesabaran dan dengan akhlak luhur.

Ketika gangguan kaum kafir Quraisy sudah tidak tertahankan lagi, Rasūlullāh memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Ḥabasyah guna melarikan diri dari kezaliman dan menyelematkan agamanya dari kebuasan orang-orang jahil. Namun pada saat itulah Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib masuk Islam, dan tak lama kemudian menyusul ‘Umar bin-ul-Khaththāb. Di kota Makkah kedua tokoh itu termasuk orang yang disegani dan ditakuti karena kekuatannya, kegagahannya, dan keberaniannya dalam medan pertempuran. ‘Umar bin Khaththāb pulalah yang pertama berani shalat di serambi Makkah. Sebelumnya kaum muslimin bila melakukan shalat hanya di Syi‘ab Makkah karena takut dari tindakan jahat kafir Quraisy. Maka pada waktu itu juga Rasūlullāh s.a.w. mulai menyeru, memperkenalkan dan mengajak para kabilah yang datang ke Makkah (baik yang bertujuan hendak berhaji, ber‘umrah atau berdagang) untuk menganut dan memeluk Islam.

Kaum kafir Quraisy semakin takut melihat perkembangan Islam yang sudah mulai dikenal oleh orang luar kota Makkah. Mereka mulai kalap dan menuduh Muḥammad s.a.w. dengan berbagai tuduhan murah. Mereka menuding Muḥammad sebagai seorang penyihir, penyair, peramal ulung dan bermacam-macam tuduhan palsu yang justru menjatuhkan nama mereka sendiri.

Kalau Rasūlullāh s.a.w. memang seorang penyihir, tentu ia mampu menyihir tokoh-tokoh Quraisy sebab bukankah orang yang disihir tidak punya kemampuan melawan si penyihir? Kalau Rasūlullāh memang seorang penyair, tentu sejak mudanya dia sudah terkenal sebagai penyair, tidak menunggu sesudah usianya mencapai empat puluh tahun untuk mendendangkan syair-syairnya. Dan kalau dia seorang peramal yang bisa menyusun Qur’ān tentu susunan yang dilakukannya selama dua puluh tiga tahun itu akan banyak berselisih satu dengan yang lainnya. Karena itulah Allah menjelaskan lewat firman-Nya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ān? Kalau sekiranya al-Qur’ān itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisā’: 82).

 

4. Datangnya Dukungan dari Allah ta‘ālā.

Segala upaya kaum kafir dan musyrikin untuk mematahkan dan mengendorkan semangat dakwah tidak berhasil. Dakwah Rasūlullāh s.a.w. berjalan terus mengembangkan sayap dan memperluas jaringannya. Seluruh anggota keluarga Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib (kecuali Abū Lahab) kompak membela dan melindungi Muḥammad dari gangguan kaum Quraisy. Lantas bagaimana dan upaya apa yang dilakukan kaum kafir Quraisy?

Kaum kafir Quraisy tidak mau terpaku diam menyaksikan perkembangan dakwah Muḥammad s.a.w. Bahkan kebencian di hati mereka semakin menjadi-jadi. Mereka berunding kembali dan akhirnya memutuskan untuk mengadakan pemboikotan terhadap keluarga Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib beberapa tahun lamanya sehingga Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya, termasuk para pelindungnya menderita kelaparan yang tiada tara, sampai-sampai mereka memakan daun-daunan.

Dalam sidang perundingan yang diputuskan secara formal dalam bentuk tertulis, mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka akan memboikot secara ketat Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Maththalib. Mereka tidak mengadakan hubungan jual-beli, kawin-mengawini, dan transaksi lain dengan kedua Bani tersebut. Surat pernyataan itu mereka gantung di dalam Ka‘bah.

Setelah tiga tahun pemboikotan dan pengepungan berjalan kaum muslimin tetap bertahan dengan keprihatinan mereka, padahal semula kaum Quraisy mengira dengan adanya pemboikotan kedua Bani tersebut akan meninggalkan Muḥammad dan Islam. Tetapi ternyata tidak. Bahkan surat keputusan rapat yang digantungkan mereka di dalam Ka‘bah telah habis dimakan rayap, tinggal tulisan yang berbunyi: Bismika Allāhumma (Dengan nama-Mu, Ya Allah) saja yang masih utuh.

Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan wahyu Rabb-ul-‘Ālamīn kepada pamannya, Abū Thālib bahwa Allah ta‘ālā telah mengirim pasukan rayap untuk memusnahkan surat pernyataan persekongkolan jahat itu, kecuali yang bertuliskan nama Allah saja yang tidak dimusnahkan-Nya. Abū Thālib menyampaikan keterangan keponakannya kepada kaum kafir Quraisy bahwa naskah (shaḥīfah) persekongkolan jahat itu tidak mendapat restu Allah, dan kini sudah dimusnahkan-Nya. Setelah kaum kafir Quraisy membuktikan hal itu maka akhirnya pemboikotan itupun dihentikan.

Namun penghentian pemboikotan itu bukan berarti pikiran jahat mereka sudah pulih. Beberapa bulan kemudian Rasūlullāh s.a.w. dikagetkan dengan terjadinya dua musibah besar dalam tahun itu yaitu wafatnya paman yang disayangi dan menyayanginya (Abū Thālib) dan istri tercintanya yang selalu siap melindungi dan mendukungnya, Khadījah. Rasūlullāh s.a.w. amat berduka dengan kepergian kedua orang itu sampai-sampai beliau menyebutkan tahun tersebut sebagai ‘Ām-ul-ḥazn (tahun kesedihan). Kini yang benar-benar dapat beliau harapkan baik di luar maupun di dalam rumah, hanyalah perlindungan dan kasih sayang Allah semata.

Setelah beliau kehilangan perlindungan paman dan istrinya, kaum Quraisy semakin berani dan brutal menghadang dirinya dan para sahabatnya. Gangguan Quraisy seakan tak pernah henti, bahkan semakin menjadi-jadi. Tetapi semua itu masih beliau hadapi dengan keteguhan, ketabahan, dan kesabaran. Namun akhirnya, sebagai manusia biasa, Rasūlullāh s.a.w. tidak tahan lagi dengan kekejaman Quraisy. Maka kemudian beliau keluar seorang diri ke negeri Thā’if dengan harapan di sana beliau bisa membujuk kabilah Bani Tsaqīf untuk memberikan perlindungan dan pembelaan dari keganasan kafir Quraisy. Tetapi sesampai di sana malah Rasūlullāh s.a.w. mendapatkan caci-maki dan lemparan batu dari orang-orang jahil sehingga kedua kaki beliau luka-luka. Untuk menghindari lemparan batu Rasūlullāh s.a.w. berlari hingga sampailah ia di sebuah kebun kepunyaan tiga orang bersaudara tokoh Thā’if, yakni ‘Utbah dan Syaibah bin Rabī‘ah. Nabi s.a.w. duduk berteduh di bawah pohon. Rasūlullāh s.a.w. sedih sekali memikirkan bagaimana kejam dan bodohnya hamba Allah menyambut dakwahnya padahal justru seruannya itu hendak menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.

            Rasūlullāh s.a.w. sudah berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin mengumandangkan dakwahnya, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Beliau telah berusaha meningkatkan kesabaran dan ketabahan. Sejak awal diberikan tugas tersebut beliau sudah menyatakan siap dan rela mati. Amanat penyampaian sudah dilakukan beliau dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Semua daya sudah ditempuh untuk mensukseskannya tanpa mengindahkan beratnya gangguan dan angkernya medan. Akan tetapi apa daya, sebagai seorang manusia yang dha‘if menghadapi angkara murkanya jahiliyyah. Tidak ada jalan lain di hadapannya selain mengangkat kedua tangan ke atas, menyerahkan diri dan kedha‘ifannya kepada Allah Maha Kuasa. Hanya kepada-Nya beliau mengeluhkan kezhaliman dan kejahilan penduduk bumi. Beliau mengadu kepada Allah.

            “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengeluhkan lemahnya kekuatanku, kurangnya dayaku, dan kehinaanku di mata orang-orang jahil. Ya Allah, ya arḥam-ar-Rāḥimīn, Engkaulah Pemelihara orang-orang mustadh‘afīn, dan Engkaulah Pemeliharaku. Kepada siapa gerangan Engkau telah melepaskan daku? Apakah kepada orang jauh yang memandangku dengan muka masam, atau kepada musuh yang sudah berhasil menguasai keadaanku? Namun, jika Engkau tidak gusar kepadaku, aku tidak peduli. Akan tetapi ampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan nur cahaya wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan dan mengendalikan masalah dunia dan akhirat. Jangan sampai aku terkena marah-Mu atau tertimpa murka-Mu. Hanya kepada-Mu aku mengeluhkan diri sehingga Engkau ridha. Wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.”

Kiranya dukungan langit memang sangat dibutuhkan Muḥammad s.a.w. untuk membuktikan kepadanya bahwa apabila penduduk bumi meninggalkannya, maka Allah ta‘ālā dan seluruh penghuni langit akan menyambutnya dengan mesra dan meriah. Allah telah berjanji kepadanya bahwa Dia tidak akan membiarkan rasul-Nya menderita duka-nestapa terus-menerus. Karena itulah Allah berfirman kepada beliau:

وَ اصْبِرْ وَ مَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللهِ وَ لَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَ لَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ. إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّ الَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ.

“Bersabarlah (hai Muḥammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Naml: 127-128).

            Setelah di Thā‘if, Rasūlullāh s.a.w. kembali lagi ke Makkah seorang diri seperti pada waktu ia keluar meninggalkan kota itu. Berita tentang adanya Rasūlullāh s.a.w. di Thā‘if sudah sampai terlebih dahulu kepada kaum Quraisy sebelum beliau tiba di Makkah. Gangguan mereka terhadap Rasūlullāh s.a.w. semakin meningkat.

 

Isra’ Mi’raj Malam Yang Berkeberkahan

Pada malam yang berkeberkahan dukungan langit pun datanglah, dan waktu itulah sebuah mu‘jizat besar terjadi pada diri Rasūlullāh, yaitu Mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj.

 

Sebelum memulai pembicaraan tentang Isrā’ dan Mi‘rāj Rasūlullāh, terlebih dahulu perlu memaparkan ayat pertama dari surat al-Isrā’ untuk anda renungkan:

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا.

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada malam hari Masjid-il-Ḥarām (di Makkah) ke Masjid-il-Aqshā (di Bait-ul-Maqdis).” (QS. al-Isrā’: 1).

Surat tersebut dimulai dengan kata Subḥāna, yang artinya Maha Suci Allah. Ini suatu ucapan pemujaan terhadap kemahaan Allah yang tiada bandingnya dalam berbagai sifat dan perbuatan-Nya. Suatu pemujaan terhadap pemujaan-Nya yang mutlak dari kekurangan dan ketidakberdayaan melakukan apapun. Allah s.w.t. ada, anda pun ada kini. Tetapi apakah keberadaan anda sama dengan keberadaan Allah ‘azza wa jalla?

Allah s.w.t. mendengar, dan anda pun mendengar. Tetapi apakah pendengaran anda sama dengan pendengaran Allah ta‘ala? Allah memiliki dzat, dan anda pun memiliki. Namun, mungkinkah kedua dzat itu diperbandingkan?

 

1. Pelakunya Allah SWT.

Dari hal tersebut, di atas itulah titik tolak terjadinya mu‘jizat ini. Kalau pelakunya Allah ta‘ālā, maka tidak mungkin memperbandingkannya dengan apa yang dilakukan manusia. Segala yang dilakukan Allah ada di luar daya kekuatan manusia dan di atas daya jangkau akal manusia. Karena itulah, kalau Allah ta‘ālā melakukan apapun jangan anda bertanya karena daya jangkau akal anda tidak akan dapat menjangkau berbagai rahasia perbuatan-Nya. Allah s.w.t. melakukan apa yang dikehendaki-Nya tanpa dibatasi oleh berbagai hukum karena Dialah yang menciptakan hukum. Allah tidak membutuhkan hukum kausalitas karena Dia sendirilah yang menciptakan sebab dan akibat.

Allah ta‘ālā tiada tara dan tidak ada yang menyamai-Nya. Semua makhluk-Nya tunduk kepada kehendak-Nya. Akan tetapi Dia tidak tunduk kepada kehendak makhluk-Nya karena dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya dia atas semuanya. Karena itulah semua ayat-ayat Allah tidak tunduk kepada berbagai hukum alam.

Allah ta‘ālā telah memberikan contoh yang banyak sekali tentang itu. Dia telah membatalkan berbagai hukum yang berlaku terhadap para rasul dan nabi-Nya sebagai mu‘jizat untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawa mereka.

Api memiliki sifat membakar. Namun, ketika orang kafir menangkap dan melempar Ibrāhīm a.s. ke dalam api ternyata api berubah sifat menjadi dingin, khusus untuk Ibrāhīm. Allah ta‘ālā tidak menyuruh Ibrāhīm bersembunyi atau lari dari kaumnya atau diturunkan hujan lebat ketika mereka hendak membakarnya. Kalau Allah ta‘ālā melakukan demikian tentu kaum kafir akan mengolok-olok Ibrahim dengan ucapan: “Kalau Ibrāhīm tidak bersembunyi atau tidak ada hujan tentu sudah hangus terbakar.” Akan tetapi Allah tidak melakukan demikian. Allah membiarkan Nabi Ibrāhīm tertangkap dan dibakar. Di balik peristiwa ini tentu ada hikmah mahatinggi yang hendak diperlihatkan-Nya kepada umat-Nya yang ingkar. Api yang berkobar-kobar tidak mampu membakar tubuh Ibrāhīm a.s. Ini disebabkan karena pada waktu itu Allah, Pencipta api memerintahkan kepada api-Nya seperti yang tertulis dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:

يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَ سَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ.

“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrāhīm.” (QS. al-Anbiyā’: 69).

Demikianlah Allah ta‘ālā mengangkat sifat api yang membakar itu bagi rasul-Nya, Ibrāhīm. Tentun tidak ada seorangpun, yang bisa bertanya bagaimana hak tersebut dapat terjadi karena semua di luar jangkauan daya pikir manusia. Namun ada pula orang yang memaksakan diri menanyakan dan menganalisa hal tersebut. Kami yakin, pasti dia tidak akan menemukan jawaban yang diinginkannya karena mu‘jizat itu perbuatan Allah ta‘ālā. Mu‘jizat diciptakan Allah di atas tingkat akal dan pikiran manusia. Walaupun sampai hari kiamat, manusia tetap tidak akan bisa menemukan jawaban sesuai yang diinginkan dan dijangkaunya. Begitu pula halnya dengan mu‘jizat yang diberikan Allah kepada Mūsā a.s. ketika ia dan pengikutnya melarikan diri dari pasukan Fir‘aun. Fir‘aun dan pasukannya berada di belakang (mengejar Nabi Mūsā). Lautan membentang di hadapan Mūsā dan kaumnya. Ketika berjalan mereka melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan barisannya sehingga kaum Nabi Mūsā menggigil ketakutan.

            Di dalam al-Qur’ān-ul-Karīm Allah ta‘ala menuangkan riwayat abadi ini lewat untaian firman-Nya:

فَلَمَّا تَرَاءَا الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوْسَى إِنَّا لَمُدْرَكُوْنَ.

“Maka tatkala kedua belah pihak (pasukan Fir‘aun dan kaum Nabi Mūsā) saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Mūsā: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (QS. asy-Syu‘arā’: 61).

Sebagai manusia perkataan kaum Nabi Mūsā itu tidak salah karena mereka hanya menggunakan akal dan logika. Akan tetapi, Mūsā sebagai Nabi Allah yang diutus oleh-Nya yakin dengan sepenuh keyakinan bahwa hukum kausal tidak berlaku sendiri, pasti ada yang memberlakukannya. Karena itulah ketika kaumnya cemas dan ketakutan melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan mereka. Mūsā menjawab dengan tegas:

قَالَ كَلَّا، إِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ.

“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. asy-Syu‘arā’: 62).

Mūsā begitu yakin kalau Allah tidak akan membiarkan dia berjuang sendirian tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Dan ternyata, pada saat-saat seperti itu datanglah dukungan dari Allah yang mewahyukan agar dia memukul tongkatnya ke lautan.

فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوْسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ، فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ.

“Lalu Kami wahyukan kepada Mūsā: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. asy-Syu‘arā’: 63).

Mūsā yakin, bila ikhtiyar bumi sudah menemui jalan buntu, maka Pencipta ikhtiyar akan datang dengan mu‘jizat yang mempesona. Tidak seorang pun yang bisa memukul laut dengan tongkat lalu laut itu terbelah dan bagaikan dua buah gunung yang menjulang tinggi.

Begitu pula dengan mu‘jizat ‘Īsā a.s. ketika dia menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang berpenyakit kulit (belang), memulihkan orang buta, menurunkan hidangan dari langit, dan sebagainya. Semua dilakukan dengan mu‘jizat Allah ta‘ālā. Pencipta sebab akibat. Anda tidak akan menemukan orang yang bisa yang menghidupkan orang mati atau menyembuhkan orang sakit seperti itu hanya dengan isyarat saja. Semua pekerjaan tersebut tidak ada penjelasan analisanya karena memang bukan orangnya yang melakukan dan menciptakan pekerjaan itu, tetapi atas kemahakuasaan Allah ta‘ālā semua pekerjaan itu terjadi. Karena itu dalam al-Qur’ān-ul-Karīm kita sering kali menemukan kata Subḥāna dalam melukiskan kemahakuasaan Allah. Akal manusia tidak mampu memikirkan dan menjangkaunya sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya.

سُبْحَانَ الَّذِيْ خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ مِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ.

“Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yāsīn: 36).

            Mustahil manusia dapat mengetahui rahasia penciptaan, baik penciptaan langsung dari Allah maupun melakukan hukum kausalitas lelaki dan perempuan. Yang pasti, rahasia kehidupan itu hanya diketahui oleh Allah ta‘ālā. Karena itulah adakalanya Allah membukakan ilmu-Nya kepada manusia sehingga kita bisa menciptakan berbagai hal di dalam alam ini, seperti membuat pesawat luar angkasa yang bisa membawa manusia ke bulan, membuat otak elektronik atau komputer yang bisa menggerakkan suatu unit perusahaan, dan sebagainya. Namun yang jelas segala sesuatu tetap pada tingkat penciptaannya, tidak berubah, bentuknya tidak berbeda. Manusia manapun tidak akan mampu membuat sesuatu yang namanya berpasang-pasangan dalam arti yang sebenarnya, yang produknya berkembang dan membesar terus. Karena itulah, dengan kata Subḥāna dalam firman-Nya seolah-olah Allah hendak mengatakan kepada kita bahwa akal manusia akan terhenti hanya sampai di situ, tidak akan mampu melampauinya!

 

2. Arti “Subḥāna”.

Dalam al-Qur’ān-ul-Karīm kata Subḥāna acapkali dipakai ketika menyebutkan sesuatu yang mempesona, luar biasa, dan merupakan kemu‘jizatan. Karena itulah ketika anda mendengarkan firman Allah s.w.t. hendaknya mengetahui bahwa ini merupakan pensucian terhadap Allah. Kerja yang telah dikerjakan-Nya tidak mungkin dikerjakan siapapun, selain oleh Allah ‘azza wa jalla.

Subḥāna adalah kata nama dan semua nama Allah. Subḥāna menandakan pada ketetapan yang berkesinambungan, seolah-olah Allah Maha Suci sebelum Dia menciptakan makhluk yang akan mensucikan-Nya.

Firman Allah s.w.t.:

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا.

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada suatu malam…..” (QS. al-Isrā’: 1).

Dalam firman-Nya di atas, Allah benar-benar menginginkan kita mengetahui bahwa mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj tidak terjadi oleh kekuatan Muḥammad s.a.w. yang manusia. Karenanya surat tersebut dimulai dengan firman-Nya: Subḥānalladzī asrā…., yang artinya: “apapun yang akan terjadi sesudah itu dikaitkan pada kekuatan-Nya semata.”

Apabila saya mengatakan kepada anda bahwa saya hendak pergi dari Mesir ke Iskandaria dengan kereta api, dan tentu saya juga hendak pergi ke sana dengan pasawat terbang, dan teman saya lainnya juga hendak pergi ke sana dengan pesawat jet tentu hal ini ada perbedaannya. Perbuatan yang dilakukan saya dan kedua teman saya memang sama, hendak pergi ke Iskandaria. Akan tetapi kekuatannya berbeda-beda. Perjalanan saya dengan kereta api tentu memakan waktu berjam-jam, sedangkan teman saya bisa mencapainya hanya dalam waktu setengah jam karena menggunakan pesawat terbang. Terlebih-lebih teman saya yang satunya lagi. Dia pasti lebih cepat sampai ke Iskandaria karena menggunakan pesawat jet yang dapat mengantarkannya ke Iskandaria hanya dalam beberapa menit.

Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa perbuatan senantiasa sesuai dengan kekuatan pelakunya. Dengan demikian, jika Allah ta‘ālā berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, ini berarti perjalanan Isrā’ dan Mi‘rāj merupakan perbuatan Allah ta‘ālā yang berada di atas kekuatan akal untuk dipikirkan.

Karena itu seorang ‘Arab yang mempertanyakan dengan nada mengolok-olok dan penuh tanda hanya besar kepada Rasūlullāh s.a.w. setelah beliau menceritakan kisah Isrā’ dan Mi‘rāj, hal itu menandakan bahwa dia tidak memahami mu‘jizat.

 

Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah berkata: “Aku telah pergi ke sana”, akan tetapi beliau selalu mengatakan: “Aku telah diperjalankan ke sana.” Siapa yang memperjalankannya ke sana? Tentu saja Allah ta‘ālā yang melakukan semua itu. Karenanya, ketika kaum kafir Quraisy menasabkan mu‘jizat ‘Isrā’ pada kekuatan manusia, mereka lupa pada kekuatan Allah ta‘ālā. Mereka lupa bahwa Muḥammad tidak pernah mengatakan: “Saya telah Isrā’ ke Bait-ul-Maqdis.” Beliau selalu mengatakan bahwa dirinya di-isrā’-kan ke Bait-ul-Maqdis. Maka dari itulah, seyogianya kita memperhatikan benar kekuatan Pelaku dan kelakuan-Nya. Jangan membandingkan mu‘jizat dengan perbuatan dan kekuatan manusiawi kita.

 

3. Hakikat Penggunaan Kata “‘Abdihi” dalam Surat al-Isrā’.

Dalam surat al-Isrā’ ayat satu Allah ta‘ala berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. Allah tidak mengatakan rasul-Nya karena memang semua yang selain dari Allah, yang ada di dalam alam-Nya adalah hamba-Nya. Kita semua adalah hamba-Nya, baik yang taat maupun yang tidak taat, yang mu’min maupun yang kafir. Namun dalam ayat-ayatNya biasanya yang Allah katakan hamba-Nya adalah hamba-Nya yang ikhlas, pilihan dan yang senantiasa menyatu dengan metode Ilahi. Segala sesuatu yang diperintahkan Allah segera dilaksanakan dan segala yang dilarang-Nya dijauhi dan dihindari, sami‘nā wa atha‘nā! Karena itulah dalam al-Qur’ān yang ikhlas dan berakhlak, Allah tidak menamakannya “‘abīd”, tetapi ‘ibād, seperti dalam firman-Nya:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Namun dalam surat al-Isrā’ Allah menggunakan kata ‘abdihi (yang sepadan dengan kata ‘ibād). Ini dimaksudkan untuk menarik perhatian kita pada dua hakikat penting yaitu:

PERTAMA. Peritstiwa Isrā’ terjadi dengan rohani dan jasmani, bukan sekedar suatu mimpi dalam tidur. Isrā’ merupakan suatu peristiwa hakiki yang dialami Rasūlullāh s.a.w. dalam keadaan sadar, terjaga, dan dapat diinderanya. Kata ‘abdun dalam istilah bahasa hanya digunakan pada rohani dan jasmani secara bersamaan.

Telah terjadi perdebatan sengit antara orang-orang yang mendengarkan kisah Rasūlullāh s.a.w. Namun justru hal ini lebih memperkuat lagi. Ini menandakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. perjalanan Isra’ dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur atau bermimpi. Kalau perjalanan itu suatu mimpi, siapa yang akan memperdebatkannya? Apa ada orang yang memperdebatkan mimpi orang tidur? Jelas tidak ada!

 

Kalau anda berkata: “Saya pergi ke Amerika dan kembali ke Mesir dalam 20X semalam”, apakah ada orang yang akan mendustakan mimpi anda itu? Jelas tidak juga! Apa yang terjadi dalam mimpi tidak bisa ditundukkan oleh akal dan disesuaikan dengan hukum logika, seperti mimpi raja di zaman Nabi Yūsuf a.s. yang diuraikan dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:

“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dari tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka, terangkan kepadaku tentang ta‘bir mimpiku itu jika kamu dapat mena‘birkan mimpi.” (Yūsuf: 43).

Apakah mimpi yang diucapkan raja itu sesuai dengan akal dan logika? Adakah sapi makan sapi? Siapa di antara kita yang pernah melihat sapi memakan sapi lainnya? Jelas tidak ada! Kalau sekiranya memang ada, mungkinkah sapi yang kurus memakan sapi yang gemuk, atau sebaliknya yang lebih sesuai dengan logika?

Tidak seorang pun yang pernah melihat sapi makan sapi. Akan tetapi, ketika Raja (dalam ayat di atas) menceritakan mimpinya kepada para wazir dan hulubalangnya, dan ketika dia meminta untuk menta’wilkan mimpinya itu, apakah orang yang mendebatnya? Tidak ada, karena mimpi tidak bisa didebat dengan akal dan logika. Lagi pula mimpi tidak tunduk pada hukum kausalitas manusia. Karenanya para wazir dan hulubalang hanya berkata: “(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta‘birkan mimpi itu.” (Yūsuf: 44).

Mereka sama sekali tidak mendebat mimpi raja tersebut. Begitu pula halnya orang dalam menilai mimpi siapapun. Namun dalam menilai mu‘jizat Isrā’ terjadi perdebatan. Mereka mempertanyakan, bagaimana mungkin Rasūlullāh s.a.w. menempuhnya dalam semalam, padahal kami menempuh perjalanan itu dengan unta dalam jangka waktu sebulan.

Terjadinya perdebatan itu menandakan bahwa perjalanan Isra’ dilakukan Rasūlullāh s.a.w. dengan rohani dan jasmaninya, seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. Firman-Nya ini dipaparkan Allah untuk mengukuhkan bahwa peristiwa Isra’ terjadi dengan ruh dan jasad Rasūlullāh s.a.w.

KEDUA. Hakikat penting kedua yang tersirat dari kata ‘abdihi adalah Allah ta‘ālā ingin menyatakan kepada kita bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi yang bisa dicapai manusia. Pengabdian kepada Allah merupakan suatu kemuliaan yang tiada tara, dan suatu karunia yang tiada duanya. Apabila kita membaca surat al-Kahfi maka kita akan menemukan firman-Nya yang mengungkapkan pertemuan Mūsā dan pembantunya dengan Khidhir:

“Lalu mereka (Mūsā dan pembantunya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Mūsā berkata kepada Khidhir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (al-Khafi: 65-66).

Kita tahu, Mūsā adalah Rasūlullāh s.a.w. dan kalim-Nya. Allah telah berbicara dengan Mūsā. Sungguhpun begitu masih ada seorang hamba Allah yang jauh lebih berilmu dari Mūsā a.s. sehingga Mūsā merasa perlu mengikutinya dan berguru kepadanya. Di sini Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi di hadapan-Nya. Buktinya, Allah s.w.t. menguraikan kepada kita dalam surat al-Kahfi tentang kisah Mūsā dan Khidhir a.s. Khidhir bukan seorang rasul, tapi hanya seorang hamba-Nya. Namun ia telah mencapai derajat yang tinggi di sisi-Nya, dan Allah memberikan berbagai ilmu dan hikmah kepadanya, yang tidak diberikan-Nya kepada Mūsā sehingga Mūsā berguru kepadanya.

Kalau pengabdian kepada Allah ta‘ālā bisa mengangkat ketinggian martabat seseorang di sisi-Nya maka pengabdian terhadap manusia kebalikan dari itu, yakni akan merupakan suatu kehinaan dan kenistaan. Pada umumnya bila manusia menjadi majikan maka dia cenderung memeras hambanya dan menanggalkan semua hak-hak hambanya sebagai manusia, sedangkan pengabdian kepada Allah akan memberikan segala-galanya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah akan memberikan rahmat, karunia dan kemuliaan.

            Allah s.w.t. ingin agar kita mengetahui bahwa martabat yang tinggi dan mulia sudah diberikan juga kepada Muḥammad s.a.w. sebagai hamba-Nya, yakni dengan diisrā’kannya ruh dan jasad beliau. Kalau Isrā’ terjadi dalam bentuk mimpi atau hanya dengan ruhnya saja (seperti yang diyakini sementara orang yang lemah iman) maka tentu kaumnya tidak akan mempermasalahkan dan mengatakan dengan rasa kagum dan tidak percaya. Tentu tidak akan ada kaumnya yang berkata: “Bagaimana anda dapat mengatakan menempuh perjalanan itu dalam semalam saja, sedangkan kami tidak bisa kurang dari sebulan untuk menempuh perjalanan tersebut, dan itupun dengan mengendarai unta?”

Dengan demikian jelaslah, perjalanan Isrā’ dan Mi‘rāj terjadi dengan mu‘jizat, dengan kekuatan Allah ta‘ālā yang berlaku di atas perhitungan akal manusia. Peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj diberikan khusus kepada hamba-Nya (yang terdiri dari ruh dan jasad) sebagai makhluk tertinggi dan terdekat-Nya agar dia dapat melihat ayat-ayat dan kekuasaan-Nya di seluruh kawasan kerajaan-Nya.

Kini timbul pertanyaan, kepada Isrā’ terjadi di malam hari, kenapa tidak di siang hari agar bisa dilihat dan diyakini orang? Kalau mu‘jizat itu terjadi dengan kekuatan Allah, kenapa terjadi dalam semalam, bukan sekejap mata? Bukankah Allah Maha Kuat memperjalankan hamba-Nya dari Makkah ke Bait-ul-Maqdis pergi-pulang dalam sekejap mata? Bukankah peristiwa itu terjadi dengan kekuasaan Allah? Mengapa memakai waktu segala, bukan seketika saja agar lebih kuat kemu‘jizatan-Nya?

 

Biasanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu diajukan oleh para orientalis. Mereka mengira pertanyaan-pertanyaan itu bisa menghancurkan mu‘jizat-Nya, akan tetapi malah sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas justru menambah kekhasan segi-segi mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj. Kalau saja para orientalis tidak membangkitkan kecurigaan orang terhadap Islam, segi-segi tersebut mungkin tidak banyak diperhatikan orang. Akan tetapi, sudah menjadi suratan takdir, terkadang Allah ta‘ālā memperalat orang non-mu’min untuk kepentingan ad-Dīn-Nya agar orang lebih mengenal keagungan dan kebenaran-Nya.

 

Sumber tulisan : https://hatisenang.com/kategori/kumpulan-buku2-ttg-islam-am/tentang-isra-miraj/kisah-isra-miraj-mujizat-terbesar-prof-dr-m-mutawalli-asy-syarawi/