PENDAHULUAN
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(Peristiwa-peristiwa
Ketika Isrā’):
Ketika Nabi s.a.w. sedang
berada di Ḥijr Ismā‘īl yang terletak di dekat Ka‘bah dengan posisi terlentang
di antara sepasang kaki, tiba-tiba Jibrīl dam Mikā’īl yang ditemani oleh satu
malaikat lain mendatangi beliau. Mereka menggotong tubuh beliau. Dan setelah
membawakan air zamzam, mereka meletakkan tubub beliau dalam posisi telentang
dengan punggung di bawah. Jibrīl lalu meminta tolong mereka mengurus beliau.
Dalam suatu riwayatkan
disebutkan, atap rumah Nabi s.a.w. dilubangi. Setelah turun, Jibrīl membedah
lehernya sampai ke perut bagian bawah.
“Ambilkan aku satu baskom
berisi air zamzam untuk membersihkan hatinya, dan melapangkan dadanya”, kata
Jibrīl kepada temannya si Mikā’īl.
Setelah mengeluarkan hati
Nabi s.a.w., Jibrīl kemudian membasuhnya sebanyak tiga kali. Ia membersihkan
semua kotoran yang ada padanya. Setelah ikut membantu Jibrīl membawakan baskom
berisi air zamzam berganti-ganti sebanyak tiga kali, Mikā’īl lalu membawakan
sebuah baskom terbuat dari emas yang berisi penuh dengan hikmah dan iman.
Setelah menuangkan sifat santun, ilmu, keyakinan, dan Islam ke dalam dada Nabi
s.a.w., Jibrīl kemudian mengatupkannya kembali. Dan setelah Jibrīl memasang cap
kenabian pada sepasang lengan Nabi s.a.w, didatangkanlah Burāq lengkap dengan
kendali dan tali kekang, seekor binatang berwarna putih yang tingginya lebih
daripada keledai dan lebih pendek daripada bighal. Ia meletakkan kukunya di
ujung matanya seraya menggoyang-ngoyangkan sepasang telinganya. Ketika
melintasi sebuah gunung, Burāq menaikkan sepasang kakinya, dan ketika turun ia
mengangkat sepasang tangannya. Binatang ini memiliki sepasang sayap pada
pahanya yang digunakan mencengkram oleh kakinya. Jibrīl merasa tidak berkenan terhadap
Burāq. Dan seraya meletakkan tangannya pada bibir binatang ini, Jibrīl berkata:
“Apakah kamu tidak merasa malu, wahai Burāq? Demi Allah, sekarang ini kamu akan
dikendarai oleh seorang makhluk yang paling dimuliakan oleh Allah.”
Mendengar itu Burāq
merasa malu, sehingga sekujur tubuhnya bercucuran keringat. Nabi s.a.w.
kemudian menaikinya, dan para nabi sebelum beliau biasa menaiki Burāq. Kata
Sa‘īd bin al-Musayyab dan lainnya, Burāq adalah binatang yang biasa ditunggangi
oleh nabi Ibrāhīm a.s. ketika ia menuju ke Bait-ul-Ḥaram atau Ka‘bah.
Berangkat Nabi s.a.w.
dengan diapit oleh Jibrīl di sebelah kanan, dan oleh Mikā’īl di sebelah kiri.
Kata Ibnu Sa‘ad, yang membantu Nabi s.a.w. menaiki Burāq adalah Jibrīl, dan
yang memegang kendalinya adalah Mikā’īl. Mereka terus bergerak hingga tiba di sebuah
tanah yang terdapat banyak pohon kurma.
“Turunlah, dan shalatlah
di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
Setelah menunaikan
shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.
“Anda tahu, di mana tadi
anda shalat?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
“Tidak”, jawab beliau.
“Tadi anda shalat di
Thaibah, sebuah tempat yang akan menjadi tujuan hijrah”, kata Jibrīl.
Burāq terus bergerak
dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w. seraya meletakkan kukunya ke
dekat mata.
“Turunlah, dan shalatlah
di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
Setelah menunaikan
shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.
“Anda tahu, di mana tadi
anda shalat?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
“Tidak”, jawab beliau.
“Tadi anda shalat di
Madyān, di dekat pohon Mūsā”, kata Jibrīl menjelaskan.
Burāq terus bergerak
dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w. seraya meletakkan kukunya ke
dekat mata.
“Turunlah, dan shalatlah
di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
Setelah menunaikan
shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.
“Anda tahu, di mana tadi
anda shalat?” tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
“Tidak”, jawab beliau.
“Tadi anda shalat di
bukit Tursina, tempat di mana Allah dahulu pernah berfirman secara langsung
kepada Mūsā”, kata Jibrīl menjelaskan.
Selanjutnya rombongan
tiba di sebuah tanah lapang yang memperlihatkan dengan jelas beberapa bangunan
istana Syiria.
“Turunlah, dan shalatlah
di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
Setelah menunaikan
shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.
Burāq terus bergerak
dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w.
“Anda tahu, di mana tadi
anda shalat?” tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
“Tidak”, jawab beliau.
“Tadi anda shalat di Bait
Lahem, tempat di mana ‘Īsā bin Maryam dilahirkan”, kata Jibrīl menjelaskan.
(Bacaan untuk Menghalau
‘Ifrīt)
Ketika sedang mengendarai
Burāq itulah, Nabi s.a.w. tiba-tiba melihat seekor ‘Ifrīt dari golongan Jinn
yang sedang membawa sebatang obor. Dan begitu menoleh ke belakang, beliau bisa
melihatnya.
“Aku ingin mengajarkan
kepada anda beberapa kalimat yang kalau anda baca, maka obor itu akan padam dan
si ‘Ifrīt akan lari terbirit-birit”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.
“Baiklah”, kata beliau.
“Bacalah: A‘ūdzu bi
wajhillāh-il-karīmi wa bi kalimātillāh-it-tāmmāt-il-latī lā yujawizuhunna
birrun wa lā fāsiqun min syarri mā yunzzalu min-as-samā’i, wa min syarri mā
ya‘ruju fīhā, wa min syarri mā dzara’a fil-ardhi, wa min syarri mā yakhruju
minhā, wa min fitan-il-laili wan-nahāri, wa min thawāriq-il-laili wan-nahāri,
illā tharīqan yathruqu bi khairin, yā Raḥmān.
(Aku berlindung kepada
Allah Yang Maha Dermawan dengan menggunakan kalimat-kalimat Allah yang tidak
mampu dilewati oleh orang yang baik maupun orang yang jahat dari keburukan
sesuatu yang diturunkan dari langit, dari keburukan sesuatu yang naik ke sana, dari
keburukan sesuatu yang tertinggal di muka bumi, dari keburukan sesuatu yang
keluar daripadanya, dari fitnah-fitnah waktu malam maupun siang, dan dari
bencana-bencana malam maupun siang, kecuali bencana yang membawa suatu
kebajikan, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah).”
Begitu Nabi s.a.w.
selesai membacanya, si ‘Ifrīt lari tunggang-langgang sehingga ia jatuh
terjembab (terjerembab/terjerembap), dan obornya pun padam.
(Pahala Para Mujāhid)
Rombongan terus
melanjutkan perjalanan sehingga mereka mendapati beberapa orang yang menanam
dan sekaligus mengetam pada satu hari yang sama. Setiap kali selesai mengetam,
maka tanaman akan kembali lagi untuk siap diketam. Begitu seterusnya.
“Apa itu, wahai Jibrīl?”,
tanya Nabi kepada Jibrīl.
“Mereka adalah
orang-orang yang pernah berjihad pada jalan Allah ta‘ālā, sehingga balasan
untuk satu amal kebajikan mereka dilipat-gandakan menjadi tujuh ratus kali. Dan
harta yang pernah mereka sumbangkan diganti oleh Allah”, jawab Jibrīl.
(Māsyithah – Mu’minah
dari keluarga Fir‘aun)
Mendadak Nabi s.a.w.
mencium aroma yang sangat harum.
“Aroma apa ini, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.
“Ini adalah aroma
Māsyithah binti Fir‘aun dan putra-putranya”, jawab Jibrīl. “Pada suatu hari
ketika sedang menyisiri putri Fir‘aun, tiba-tiba sisirnya terjatuh. “Dengan
menyebut nama Allah, celakalah Fir‘aun”, kata Māsyithah dengan spontan.
“Jadi anda punya Tuhan
selain ayahku, ya?” tanya si kecil putri Fir‘aun.
“Ya”, jawab Māsyithah
berterus terang.
“Kalau begitu, apakah aku
boleh memberitahukan hal ini kepada ayahku?”, tanyanya.
“Boleh”, jawab Māsyithah
dengan jujur.
Anak kecil tersebut
kemudian memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Seketika Māsyithah dipanggil
Fir‘aun.
“Benarkah kamu punya
Tuhan selain aku?”, tanya Fir‘aun.
“Benar”, jawab Masyīthah.
“Tuhanku dan Tuhan anda adalah Allah.”
Māsyithah punya dua orang
anak dan seorang suami. Fir‘aun menyuruh untuk mendatangkan mereka. Ia membujuk
Māsyithah dan suaminya supaya mereka keluar dari agama Islam. Tetapi mereka
menolak.
“Bagaimana kalau aku akan
membunuh kalian berdua?”, tanya Fir‘aun mengancam.
“Baik, silahkan saja
terserah anda. Tetapi tolong nanti kuburkan mayat kami di dalam satu liang
lahat”, jawab Māsyithah.
“Baik, akan aku penuhi
permintaanmu itu”, kata Fir‘aun.
Fir‘aun kemudian menyuruh
untuk membawakan sebuah baskon berukuran sangat besar yang terbuat dari timah.
Dan setelah dipanaskan dengan air yang sangat mendidih, ia menyuruh Māsyithah
dan keluarganya untuk memasukinya. Satu persatu mereka memasuki bejana tersebut.
Dan ketika tiba giliran anak bungsunya yang masih menyusu, tiba-tiba ia
berkata:
“Wahai bunda, ayo
masuklah dan jangan ragu-ragu, karena anda di pihak yang benar.”
Tak pelak Māsyithah
keluarganya pun akhirnya sama masuk ke dalam bejana dari timah berisi air yang
sangat mendidih tersebut.
Kata Ibnu Sa‘īd, ada
empat orang yang sudah bisa berbicara ketika masih berada dalam ayunan: yakni
anak Māsyithah, saksi nabi Yūsuf, anaknya si Juraij, dan ‘Īsā putra Maryam.
(Siksaan bagi Orang yang
Merasa Berat Melaksanakan Shalat Fardhu)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati beberapa orang yang tengah memecahkan kepala sendiri. Dan setelah
memar sampai hancur, keadaannya kembali lagi seperti semula. Hal itu terus
mereka lakukan tanpa bosan-bosan sedikit pun.
“Siapa mereka, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Mereka adalah
orang-orang yang kepalanya terasa berat untuk diajak shalat fardhu”, jawab
Jibrīl.
(Siksaan bagi Orang yang
Tidak Mau Menunaikan Zakat)
Kemudian Nabi s.a.w.
mendapati beberapa orang yang tubuhnya bagian depan maupun bagian belakang
sama-sama tambahan. Mereka sedang digembalakan laksana sekawanan unta dan
domba. Mereka memakan buah dhari‘, buah zaqqum, dan batu-batu dari neraka
Jahannam.
“Siapa mereka, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Mereka adalah
orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya, dan Allah sama sekali
tidak berbuat zalim kepada mereka”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Suami yang
Suka Menggauli Wanita Pelacur)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati beberapa orang yang di depan mereka ada daging matang di dalam sebuah
periuk, dan di dekat mereka juga ada daging busuk, tetapi mereka justru memilih
memakan daging yang busuk dan membiarkan daging yang matang.
“Siapa mereka, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Mereka adalah termasuk
umat anda yang sebenarnya mereka sudah memiliki seorang istri baik-baik dan
halal, tetapi mereka justru lebih suka memilih menggauli wanita pelacur, bahkan
menginap di rumahnya sampai pagi”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Mereka yang
Suka Menghalang-halangi Orang Dari Jalan Allah)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati sebilah papan kayu di tepi jalan yang selalu membuat robek pakaian
setiap orang yang melewatinya.
“Apa itu, wahai Jibrīl?”,
tanya Nabi.
“Itu adalah seperti
perumpamaan beberapa orang dari umat anda yang gemar duduk-duduk iseng di
pinggir jalan untuk mengganggu orang lain yang lewat. Mereka suka
menghalang-halangi dari jalan Allah”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Mereka yang
Suka Memakan Harta Riba)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
melihat seseorang yang sedang berenang di sebuah sungai darah seraya menelan
batu.
“Apa itu, wahai Jibrīl?”,
tanya Nabi.
“Itu adalah seperti
perumpamaan seseorang yang suka memakan harta riba”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Mereka yang
Suka Meminta Amanat Tapi Sudah Tidak Sanggup Mengembannya)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati seseorang yang tengah mengumpulkan setumpuk kayu bakar yang tidak
kuat dipikulnya, tetapi ia justru terus menambahinya.
“Apa itu, wahai Jibrīl?”,
tanya Nabi.
“Itu adalah seseorang
dari umat anda yang mendapat beberapa amanat dari orang lain. Sebenarnya ia
sudah tidak sanggup mengembannya, tetapi masih terus meminta amanat-amanat yang
lain”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Para
Muballigh yang Suka Menebarkan Fitnah)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati beberapa orang yang sedang menggunting bibir dan lidahnya dengan
menggunakan gunting dari besi. Dan setiap kali sudah tergunting bibir dan
lidahnya itu kembali utuh lagi seperti sedia kala tanpa ada bekas luka, dan
begitu seterusnya.
“Siapa mereka, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Itu adalah para
muballigh yang suka menebarkan fitnah. Mereka itu termasuk umat anda yang
pandai mengatakan apa yang tidak mereka lakukan”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Orang-orang
yang Suka Menyerang Kehormatan Orang Lain)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati beberapa orang yang memiliki kuku terbuat dari timah yang mereka
gunakan untuk mencakar-cakar muka dan dada mereka sendiri.
“Siapa mereka, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Mereka adalah
orang-orang yang suka memakan daging orang lain, dan suka menyerang
kehormatan-kehormatannya”, jawab Jibrīl.
(Siksaan bagi Orang-orang
yang Suka Cakap Besar)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
mendapati seonggok batu kecil yang mengeluarkan seekor sapi berukuran sangat
besar. Dan setiap kali si sapi berusaha ingin kembali masuk dari tempat di mana
ia keluar namun tidak mampu.
“Siapa orang itu, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Ia adalah seseorang dari
umat anda yang suka berbicara dengan kata-kata besar. Belakangan ia
menyesalinya, tetapi ia tidak sanggup menariknya kembali”, jawab Jibrīl.
(Godaan Panggilan Orang
Yahudi)
Ketika Nabi s.a.w. tengah
bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggil dari arah kanan:
“Wahai Muḥammad, lihat
aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau tidak mau menjawabinya.
“Siapa orang itu, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Yang memanggil anda tadi
adalah seorang Yahudi. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya
umat anda akan menjadi orang-orang Yahudi”, jawab Jibrīl.
(Godaan Panggilan Orang
Nashrani)
Ketika Nabi s.a.w. tengah
bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggil dari arah kiri:
“Wahai Muḥammad, lihat
aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau tidak mau menjawabinya.
“Siapa orang itu, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Yang memanggil anda tadi
adalah seorang Nashrani. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya
umat anda akan menjadi orang-orang Nashrani”, jawab Jibrīl.
(Godaan Panggilan Dunia)
Ketika Nabi s.a.w. tengah
bergerak meneruskan perjalanan, ada seorang wanita yang tampak sepasang
lengannya terbuka dan ia memiliki segala kecantikan yang diciptakan oleh Allah
ta‘ālā mengatakan kepada beliau:
“Wahai Muḥammad, lihat
aku. Aku ingin bertanya kepadamu. Tetapi beliau tidak menoleh ke arahnya.
“Siapa wanita itu, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Wanita itu tadi adalah
perumpamaan dunia. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat
anda akan lebih memilih dunia daripada akhirat”, jawab Jibrīl.
(Godaan Panggilan Iblīs)
Ketika Nabi s.a.w. tengah
bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada seorang kakek yang memanggil
beliau seraya menjauh dari jalan. Ia mengatakan: “Kemarilah, wahai Muḥammad.”
“Jangan mau, teruslah
berjalan, wahai Muḥammad”, kata Jibrīl.
“Siapa orang itu, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Itu tadi adalah Iblīs
sang musuh Allah yang ingin supaya anda cenderung kepadanya”, jawab Jibrīl.
(Godaan Panggilan Sisa
Umur Dunia)
Ketika Nabi s.a.w. tengah
bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada seorang nenek yang memanggil
beliau dari tepi jalan: “Wahai Muḥammad, tunggu aku. Aku ingin bertanya
kepadamu.” Tetapi beliau sama sekali tidak mau menoleh ke arahnya.
“Siapa wanita itu, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Itu tadi adalah
perumpamaan sisa umur dunia. Jadi sisa umur dunia adalah seperti umur si nenek
yang sudah tua renta tersebut”, jawab Jibrīl.
(Tiba di Bait-ul-Maqdis
dan Menjadi Imam Shalat Para Nabi dan Malaikat)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
bergerak meneruskan perjalanan, hingga akhirnya tiba di Bait-ul-Maqdis. Beliau
memasukinya dari pintu sebelah kanan. Setelah turun dari Burāq, beliau segera
menambatkan binatang ini di dekat pintu masjid, tempat yang dahulu pernah
digunakan oleh para nabi a.s. untuk menambatkan binatang kendaraan mereka.
Disebutkan dalam suatu
riwayat, bahwa sesungguhnya Jibrīl menghampiri seonggok batu besar. Begitu
meletakkan jari-jarinya, seketika batu tersebut hancur-lebur dengan
mengeluarkan suara cukup keras, sehingga membuat terkejut Burāq yang sedang
istirahat.
Nabi s.a.w. memasuki
masjid dari pintu yang terkena sinar matahari. Beliau dan Jibrīl sempat shalat
sendiri-sendiri dua rakaat. Tidak lama kemudian tiba-tiba sudah berkumpul
beberapa orang yang belakangan beliau tahu bahwa mereka itu adalah para nabi.
Mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang ruku‘, dan ada yang sedang
bersujud. Setelah seruan adzan dikumandangkan dan diteruskan dengan seruan
iqamat, mereka pun berdiri dengan membentuk beberapa shaf. Mereka sedang
menunggu yang akan menjadi imam mereka. Tiba-tiba Jibrīl memegang tangan Nabi
s.a.w. seraya memberi isyarat supaya beliau maju ke depan sebagai imam. Dan
beliau pun shalat dua rakaat menjadi imam mereka.
Diriwayatkan dari Ka‘ab,
Jibrīl memberitahu para malaikat. Mereka pun sama turun berbondong-bondong dari
langit. Selanjutnya Allah mengumpulkan semua rasul dan nabi untuk ikut
bergabung. Nabi s.a.w. pun shalat menjadi imam para malaikat serta para rasul.
“Wahai Muḥammad, anda
tahu siapa yang tadi sama shalat di belakang anda?”, tanya Jibrīl kepada Nabi
s.a.w. begitu selesai shalat.
“Tidak”, jawab Nabi.
“Mereka tadi adalah
seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah ta‘ālā”, jawab Jibrīl.
Selanjutnya Nabi
mendengar setiap nabi memuji Tuhannya dengan puji-pujian yang sangat indah.
“Kalian semua memuji
Tuhan kalian, dan aku pun selalu memuji Tuhanku”, kata Nabi.
Selanjutnya Nabi s.a.w.
bersabda: “Segala puji kepunyaan Allah yang telah mengutusku dengan membawa
rahmat bagi seru sekalian alam dan bagi seluruh umat manusia untuk memberi
khabar gembira dan menyampaikan peringatan. Allah-lah yang telah menurunkan al-Qur’ān
kepadaku sebagai penjelasan bagi segala sesuatu. Allah telah menjadikan umatku
sebagai umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia. Allah menjadikan umatku
sebagai umat yang tengah-tengah. Allah juga menjadikan umatku sebagai yang
pertama sekaligus yang terakhir. Allah telah melapangkan dadaku, menghilangkan
noda dosa dariku, mengangkat derajatku, dan menjadikan aku sebagai sang pembuka
yang paripurna.”
Nabi Ibrāhīm a.s. pernah
mengatakan: “Berkat hal itulah Muḥammad telah memuliakan kalian.”
(Nabi Memilih Susu)
Tiba-tiba Nabi s.a.w.
merasa kehausan yang teramat sangat. Jibrīl a.s. segera membawakan untuk beliau
sebuah bejana berisi khamar dan sebuah bejana lagi berisi susu. Dan ternyata
beliau memilih bejana yang berisi susu untuk diminum.
“Anda telah memilih yang
fitrah”, kata Jibrīl kepada Nabi. “Seandainya tadi anda memilih meminum khamar,
niscaya umat anda akan suka melakukan sesuatu yang sia-sia, dan di antara
mereka tidak ada yang akan mengikuti anda kecuali hanya sedikit saja.”
Disebutkan dalam suatu
riwayat, sesungguhnya bejana yang dibawa oleh Jibrīl a.s. ada tiga. Dan bejana
yang ketiga berisi air.
“Seandainya tadi anda
memilih air, niscaya umat anda akan tenggelam.”
Disebutkan dalam suatu
riwayat, bahwa salah satu di antara tiga bejana yang disodorkan kepada Nabi
s.a.w. adalah bejana berisi madu, bukan air. Dan sesungguhnya beliau melihat
beberapa bidadari dari sisi kanan batu besar. Beliau mengucapkan salam, dan mereka
pun menjawabnya. Beliau bertanya, dan mereka pun memberikan jawaban yang
menyenangkan hati.
(Peristiwa-peristiwa
Ketika Mi‘rāj):
(Bertemu Dengan Nabi
Ādam– Di Langit Pertama)
Selanjutnya Nabi dibawa
oleh Jibrīl a.s. menjalani peristiwa mi‘rāj. Ikut dalam perjalanan ini ialah
arwah-arwah anak cucu Ādam. Seluruh makhluk tidak pernah melihat yang lebih
indah daripada peristiwa mi’rāj. Di sana ada perhiasan dari perak dan dari emas
yang berasal dari surga Firdaus. Di sebelah kanan dan kiri, beliau diapit oleh
rombongan malaikat.
Nabi s.a.w. dan Jibrīl
a.s. naik hingga tiba di salah satu pintu langit dunia yang bernama pintu Ḥifzhah.
Di sana ada malaikat yang bernama Ismā‘īl, penjaga langit dunia. Malaikat
penghuni udara ini sama sekali tidak pernah naik ke langit, dan juga sama
sekali tidak pernah turun ke bumi, kecuali hanya pada hari ketika Nabi s.a.w.
wafat. Di hadapannya ada tujuh puluh ribu malaikat yang masing-masing mereka
memiliki serdadu sebanyak tujuh puluh ribu malaikat juga.
Jibrīl a.s. meminta
dibukakan pintu langit tersebut.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam,
ternyata itu adalah nabi Ādam a.s. bapak seluruh umat manusia yang bentuknya
sama seperti bentuk ketika Allah ta‘ālā menciptakannya. Arwah-arwah para nabi berikut
orang-orang mu’min keturunannya diperlihatkan dengan jelas kepada Nabi s.a.w.
Beliau bersabda: “Roh yang baik, dan jiwa yang baik. Tolong jadikan mereka di
surga tertinggi.”
Lalu diperlihatkan dengan
jelas kepada Nabi s.a.w. arwah-arwah anak cucu keturunan nabi Ādam yang kafir.
Beliau bersabda: “Roh yang buruk, dan jiwa yang buruk. Tolong jadikan mereka di
neraka Sijjīn.”
Dari sebelah kiri Nabi
s.a.w. melihat sosok hitam, dan sebuah pintu yang mengeluarkan bau sangat
busuk. Begitu melihat ke sebelah kanan ia tampak tersenyum, tetapi begitu
melihat dari sebelah kiri ia tampak bersedih dan menangis. Nabi s.a.w.
mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah menjawab salam beliau ia mengatakan
dengan penuh semangat: “Selamat datang seorang putra yang saleh, Nabi yang
saleh.”
“Siapa dia?”, tanya Nabi
kepada Jibrīl.
“Dia itu adalah moyang
anda si Ādam, dan sosok hitam tadi adalah jiwa anak cucunya. Golongan kanan di
antara mereka adalah calon penghuni surga, dan golongan kiri di antara mereka
adalah calon penghuni neraka. Begitu memandang ke arah kanan ia tersenyum dan
merasa gembira, dan begitu melihat ke arah kiri ia bersedih dan menangis. Pintu
yang terletak di sebelah kiri adalah pintu Jahannam. Begitu melihat anak
cucunya yang memasukinya, ia menangis dan bersedih.”
Selanjutnya Nabi s.a.w.
berlalu dengan tenang, dan mendapati orang-orang yang suka memakan harta riba
serta harta anak-anak yatim, para pezina, dan yang lain. Bentuk mereka sangat
buruk.
(Bertemu Dengan Nabi ‘Īsā
dan Nabi Yaḥyā – Di Langit Kedua)
Kemudian Nabi s.a.w. naik
ke tingkat langit yang kedua. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam,
ternyata itu adalah kedua putra sang bibi, yakni ‘Īsā bin Maryam dan Yaḥyā bin
Zakariyyā a.s. Pakaian dan rambut keduanya sangat mirip satu sama lain. Bersama
mereka beberapa kaum pengikutnya. Ternyata rambut nabi ‘Īsā keriting, postur
tubuhnya tinggi besar, kulitnya putih ke merah-merahan. Ia mirip dengan ‘Urwah
bin Mas‘ūd ats-Tsaqafī.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada ‘Īsā dan Yaḥyā. Dan setelah menjawabi salam beliau, mereka
mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang
saleh.” Mereka juga mendoakan kebaikan untuk beliau.
(Bertemu Dengan Nabi
Yūsuf– Di Langit Ketiga)
Kemudian Nabi s.a.w. naik
ke tingkat langit yang ketiga. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam,
ternyata itu adalah Yūsuf bersama beberapa orang dari kaumnya.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada Yūsuf. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan:
“Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Ia juga
mendoakan kebaikan untuk beliau. Ternyata Yūsuf diberi separo ketampanan seluruh
umat manusia.
Dalam suatu riwayat
disebutkan, sesungguhnya Yūsuf adalah makhluk Allah yang paling tampan. Ia
laksana bulan di malam purnama di sekeliling bintang-bintang.
“Siapa ini, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Saudara anda si Yūsuf”,
jawab Jibrīl.
(Bertemu Dengan Nabi
Idris– Di Langit Keempat)
Kemudian Nabi s.a.w. naik
ke tingkat langit yang keempat. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam,
ternyata itu adalah Idrīs yang telah dikarunia oleh Allah sebuah kedudukan yang
sangat tinggi.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada Idrīs. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan:
“Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.” Ia juga
mendoakan kebaikan untuk beliau.
(Bertemu Dengan Nabi
Hārūn– Di Langit Kelima)
Kemudian Nabi s.a.w. naik
ke tingkat langit yang kelima. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam,
ternyata itu adalah Hārūn yang separo jenggotnya berwarna putih dan separonya
lagi berwarna hitam. Saking tingginya sampai-sampai ia terkena pukulan lutut Hārūn.
Ia dikelilingi oleh kaumnya orang-orang Bani Isrā’īl.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada Hārūn. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan:
“Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.” Ia juga
mendoakan kebaikan untuk beliau.
“Siapa ini, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Ini adalah orang yang
sangat dicintai oleh kaumnya. Namanya Hārūn bin ‘Imrān”, jawab Jibrīl.
(Bertemu Dengan Nabi
Mūsā– Di Langit Keenam)
Kemudian Nabi s.a.w. naik
ke tingkat langit yang keenam. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Nabi s.a.w. melewati seorang nabi berikut
rombongan nabi yang lain serta beberapa orang, melewati seorang nabi berikut
rombongan nabi yang lain serta suatu kaum, dan juga melewati seorang nabi berikut
rombongan para nabi yang tidak ada siapa pun selain mereka.
Selanjutnya Nabi s.a.w.
melewati rombongan besar yang jumlahnya sangat banyak sehingga menutupi kaki
langit.
“Siapa itu?”, tanya Nabi.
“Itu adalah Mūsā dan
kaumnya”, jawab Jibrīl, “Tetapi coba anda angkat kepala anda.”
Beliau melihat ada
rombongan yang juga sangat besar sehingga menutupi dua ujung kaki langit.
“Siapa mereka?”, tanya
Nabi.
“Mereka adalah umat
anda”, jawab Jibrīl. “Selain mereka, masih ada tujuh puluh ribu orang yang akan
masuk surga tanpa dihisab.”
Begitu Nabi s.a.w. dan
Jibrīl a.s. sudah masuk, ternyata itu adalah Mūsā bin ‘Imrān, seseorang postur
tubuhnya cukup tinggi dengan rambut yang sangat lebat.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada Mūsā. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat
datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Ia juga
mendoakan kebaikan untuk beliau. Mūsā berkata: “Orang-orang mengira aku adalah manusia
yang paling dimuliakan oleh Allah. Ternyata orang ini lebih dimuliakan oleh
Allah.”
Begitu Nabi s.a.w. telah
lewat, Mūsā menangis.
“Kenapa anda menangis?”,
tanya malaikat.
“Aku menangis karena
sepeninggalanku akan ada seorang anak muda yang diutus yang umatnya lebih
banyak masuk surga daripada umatku. Orang-orang Bani Isrā’īl mengira aku adalah
manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Ternyata seorang dari anak cucu Ādam
ini telah menggantikan aku di dunia, dan aku sudah berada di akhirat. Kalau ia
hanya sendirian aku tidak peduli. Tetapi ia bersama umatnya.”
(Bertemu Dengan Nabi
Ibrahim– Di Langit Ketujuh)
Kemudian Nabi s.a.w. naik
ke tingkat langit yang ketujuh. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.
“Siapa ini?”, tanya yang
ada di balik pintu.
“Jibrīl”, jawab Jibrīl.
“Siapa yang bersama
anda?”, tanyanya.
“Muḥammad”, jawab Jibrīl.
“Apakah ia sudah
diutus?”, tanyanya.
“Ya”, jawab Jibrīl.
“Selamat datang, seorang
saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah.
Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.
Ia lalu membukakan pintu
untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam,
ternyata itu adalah Ibrāhīm sang kekasih Allah. Ia sedang duduk di dekat pintu
surga di atas kursi dari emas seraya menyandarkan punggungnya pada Bait-ul-Ma‘mūr.
Ia ditemani beberapa orang.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada Ibrāhīm. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan:
“Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.”
Selanjutnya Ibrāhīm
berkata kepada Nabi s.a.w.: “Suruh umatmu untuk sebanyak mungkin menanam
tanaman surga, karena tanah surga itu sangat subur dan luas.”
“Apa itu tanaman surga?”,
tanya Nabi.
“Yaitu ucapan: Lā ḥaula
wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm (Tidak ada daya serta kekuatan
sama sekali tanpa pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)”, jawab
Ibrāhīm.
Dalam riwayat lain
disebutkan, Ibrāhīm berkata kepada Nabi s.a.w.: “Sampaikan salamku kepada
umatmu, dan beritahu mereka bahwa tanah surga itu indah, airnya tawar, dan
tanamannya ialah kalimat: Subḥānallāhi wal-ḥamdulillāhi wa lā ilāha illallāhu
wallāhu akbar (Maha Suci Allah, segala puji kepunyaan Allah, tidak ada Tuhan
selain Allah, dan Allah Maha Besar).”
Di dekat Ibrāhīm ada
serombongan orang yang tengah duduk dengan wajah putih bersih laksana kertas,
dan juga ada serombongan orang yang ada sesuatu pada warna wajah mereka.
Rombongan orang yang akhir ini berdiri lalu memasuki sebuah sungai. Setelah
mandi di sana, mereka keluar dan dengan muka yang agak bersih. Lalu mereka
memasuki sebuah sungai yang lain. Setelah mandi di sana, mereka keluar dengan
muka yang sudah sama sekali bersih. Kemudian mereka memasuki sebuah sungai yang
ketiga. Dan setelah mandi di sana, mereka keluar dengan penampilan wajah
seperti wajah rombongan yang pertama tadi. Mereka lalu duduk bergabung
bersama-sama dengan teman-temannya tersebut.
“Wahai Jibrīl, siapa
orang-orang yang wajahnya putih bersih laksana kertas, dan juga siapa
orang-orang yang warna wajah mereka ada sesuatu tadi? Lalu bagaimana dengan
sungai-sungai yang mereka masuki lalu mereka di sana?”, tanya Nabi.
“Orang-orang yang
wajahnya putih bersih laksana kertas adalah suatu kaum yang iman mereka tidak
dicampuri dengan kezhaliman. Orang-orang yang warna wajahnya ada sesuatu itu
adalah suatu kaum yang biasa mencampur amal saleh dengan amal buruk. Mereka mau
bertaubat, dan Allah pun berkenan menerima taubat mereka. Adapun sungai-sungai
tadi, yang pertama adalah lambang rahmat Allah, yang kedua lambang nikmat
Allah, dan yang ketiga Allah memberi minum mereka dengan air minum yang suci
mensucikan. Ada yang mengatakan, itulah tempat anda dan tempat umat anda
kelak”, jawab Jibrīl.
Sesungguhnya umat Nabi
s.a.w. terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian dari mereka mengenakan pakaian
putih bersih laksana kertas, dan satu bagian lagi mengenakan pakaian berwarna
abu-abu.
(Memasuki Bait-ul-Ma‘mur)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
memasuki Bait-ul-Ma‘mūr. Ikut masuk bersama beliau adalah orang-orang yang
mengenakan pakaian putih. Sementara orang-orang yang mengenakan pakaian abu-abu
tidak bisa ikut masuk. Tetapi mereka tetap dalam keadaan baik-baik saja. Beliau
dan orang-orang mu’min yang bersama beliau melakukan shalat di Bait-ul-Ma‘mūr.
Setiap harinya tempat ini dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat yang tidak
akan kembali lagi sampai hari kiamat nanti. Beliau mengambil posisi tepat di
belakang Ka‘bah.
Dalam riwayat lain
disebutkan, ada tiga bejana yang diperlihatkan kepada Nabi s.a.w. Ketika beliau
memilih bejana yang berisi susu. Jibrīl a.s. membenarkannya, sebagaimana yang
telah dikemukakan sebelumnya. Jibrīl berkata: “Itulah fitrah yang anda dan umat
anda ada padanya.”
(Naik ke
Sidrat-ul-Muntahā)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
naik ke Sidrat-ul-Muntahā, sebagai tempat terakhir perjalanan mi‘rāj beliau
yang dimulai dari bumi. Di sana ada sebatang pohon yang dari akarnya keluar
beberapa sungai dari air yang berubah-ubah, beberapa sungai yang rasanya tidak
akan pernah berubah, beberapa sungai khamar yang rasanya lezat bagi orang-orang
yang meminumnya, dan beberapa sungai madu murni. Orang berkendara yang berjalan
mengelilingi naungan pohon tersebut membutuhkannya waktu selama tujuh puluh
tahun, dan belum juga selesai karena saking besarnya pohon tersebut. Selembar
daunnya saja lebarnya seperti beberapa telinga gajah betina. Daunnya
hampir-hampir menutupi umat ini. Menurut suatu riwayat, daun-daun pohon inilah
yang menaungi seluruh makhluk, dan setiap lembarnya ada malaikat yang
menutupinya sehingga tidak tahu apa warnanya.
Disebutkan dalam riwayat
lain, selembar daunnya bisa berubah menjadi permata, dan tidak ada seorang pun
yang sanggup melukiskan keindahannya. Di dekat pohon tersebut terdapat hamparan
dari emas. Dan pada akarnya terdapat empat buah sungai; dua sungai dalam, dan
dua sungai luar.
“Sungai-sungai apa saja
itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Dua sungai dalam ialah
sepasang sungai yang ada di surga, dan dua sungai luar ialah sungai Nil dan
sungai ‘Ifrat”, jawab Jibrīl.
Dalam riwayat lain
disebutkan, sesungguhnya Nabi s.a.w. melihat Jibrīl di Sidrat-ul-Muntahā
memiliki enam ratus sayap yang masing-masing sayap menutupi kaki langit, dari
dalam sayap-sayap Jibrīl inilah bertaburan butir-butir mutiara serta permata
yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah ta‘ālā.
(Memasuki Surga)
Kemudian Nabi s.a.w.
memasuki surga. Di dalamnya terdapat nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat
oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam
hati manusia. Di pintu surga beliau melihat tulisan: “Pahala Sedekah Itu Dilipatgandakan
Sepuluh Kali, Dan Pahala Menghutangi Dilipatgandakan Delapan Belas Kali.”
“Kenapa menghutangi itu
lebih utama daripada bersedekah, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Karena orang yang
meminta itu terkadang ia masih punya sesuatu. Sementara orang yang hutang itu
pasti karena terpaksa oleh kebutuhan”, jawab Jibrīl.
(Sungai-sungai di Surga –
al-Kautsar)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
terus berjalan, dan mendapati beberapa sungai susu yang rasanya tidak akan
berubah, beberapa sungai khamar yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya,
dan beberapa sungai madu murni. Di sungai-sungai ini terdapat untaian-untaian mutiara
yang sangat elok dan mempesona. Di dekat sungai-sungai ini juga terdapat buah
delima yang laksana kulit unta yang biasa digunakan untuk mengangkut barang,
serta burung-burung yang menawan.
Abū Bakar pernah bertanya
kepada Nabi s.a.w.: “Wahai utusan Allah, itu adalah seekor ternak.”
“Aku telah memakannya
dengan rasa yang jauh lebih nikmat. Dan aku pun berharap kamu pun kelak akan
memakannya”, jawab Nabi.
Nabi s.a.w. melihat
sungai al-Kautsar yang pada kedua tepinya terdapat untaian-untaian mutiara
berlobang. Tanahnya menebarkan aroma kasturi.
(Diperlihatkan Neraka)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
diperlihatkan neraka. Di dalamnya terdapat murka, siksa, dan hukuman Allah
ta‘ālā yang kalau misalnya seonggok batu atau sebatang besi dilemparkan ke sana
akan langsung dilalapnya. Di dalam neraka terdapa beberapa orang yang memakan
bangkai,
“Siapa mereka, wahai
Jibrīl?”, tanya Nabi.
“Mereka adalah
orang-orang yang suka makan daging orang lain”, jawab Jibrīl.
Nabi s.a.w. melihat
malaikat penjaga neraka yang bermuka masam, selalu cemberut, dan terus-menerus
marah. Beliau memulai dengan mengucapkan salam kepadanya. Setelah menjawab
salam beliau, ia segera mengunci pintu mereka sehingga tidak bisa dilihat dan
dimasuki oleh beliau.
(Di Sidrat-ul-Muntahā)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
dibawa naik ke Sidrat-ul-Muntahā. Beliau diliputi oleh awan yang mengandung
segala macam warna. Jibrīl sempat tertinggal. Tetapi kemudian ia segera ikut
naik bersama beliau ke tempat di mana ia bisa mendengar goresan-goresan qalam.
Beliau melihat ada yang bersembunyi dalam cahaya ‘Arasy.
“Siapa itu? Apakah ia
malaikat?” tanya Nabi.
“Bukan”, jawab Jibrīl.
“Atau seorang nabi?”
tanya beliau.
“Juga bukan”, jawab
Jibrīl. “Ini adalah seseorang yang sewaktu di dunia lidanya selalu basah karena
digunakan rajin berdzikir menyebut nama Allah ta‘ālā, hatinya selalu bergantung
pada masjid, dan sama sekali tidak pernah mencaci-maki kedua orang tuanya.”
Nabi s.a.w. melihat
Tuhannya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Seketika beliau sujud bersungkur.
Pada saat itulah beliau diajak bercakap-cakap oleh Tuhannya, “Wahai Muḥammad!”
“Baik, Tuhanku”, jawab
beliau.
“Mohonlah”, kata-Nya.
“Sesungguhnya Engkau
telah menjadikan Ibrāhīm sebagai kekasih, dan telah Engkau beri ia kekuasaan
yang cukup besar. Engkau telah bercakap-cakap dengan Mūsā secara langsung.
Engkau telah memberi kekuasaan yang cukup besar kepada Dāūd, dan Engkau juga
memberinya kekuatan sehingga ia sanggup melunakkan besi, serta gunung-gunung
bersujud kepadanya. Engkau telah memberi kekuasaan yang cukup besar kepada
Sulaimān sehingga jinn, manusia, dan syaithan tunduk kepadanya. Bahkan angin
pun tunduk kepadanya. Engkau telah memberinya suatu kekuasaan yang tidak
diberikan kepada siapapun sepeninggalannya. Engkau telah mengajarkan Taurat dan
Injil kepada ‘Īsā. Engkau jadikan ia bisa menyembuhkan kebutaan, menyembuhkan
penyakit kusta, dan menghidupkan kembali orang yang telah mati dengan izin
Engkau. Engkau lindungi ‘Īsā dan ibunya dari syaithan yang terkutuk, sehingga
syaithan tidak memiliki cara untuk menggoda mereka berdua.”
Allah ta‘ālā berfirman:
“Aku telah menjadikan kamu sebagai kekasih. Aku akan mengutusmu kepada seluruh
manusia untuk memberi khabar gembira kepada orang-orang yang beriman, dan
menyampaikan peringatan kepada orang-orang yang kafir. Aku akan melapangkan dadamu,
menghilangkan noda dosa dari hatimu, dan mengangkat tinggi-tinggi derajatmu.
Setiap kali ingat Aku, maka kamu pasti akan ingat kematian. Aku jadikan umatmu
sebagai umat yang tengah-tengah. Aku jadikan mereka sebagai golongan yang
pertama sekaligus yang terakhir. Aku jadikan mereka tidak boleh berbicara
panjang lebar sebelum mereka memberikan kesaksian bahwa sesungguhnya kamu
adalah hamba sekaligus seorang rasul utusan-Ku. Dan Aku jadikan mereka
kaum-kaum yang hati mereka lembut. Aku jadikan kamu yang pertama kali
diciptakan di antara para nabi, yang terakhir kali diutus di antara mereka, dan
yang paling awal untuk diputusi di akhirat nanti. Aku memberikan kepadamu surat
al-Fātiḥah yang tidak pernah Aku berikan kepada seorang nabi pun sebelum kamu.
Aku memberikan kepadamu bagian-bagian akhir dari surat al-Baqarah sebagai
simpanan di bawah ‘Arasy yang tidak pernah Aku berikan kepada seorang nabi pun
sebelum kamu. Aku memberikan kepadamu telaga al-Kautsar. Aku memberikan
kepadamu delapan yang sangat penting dari Islam, hijrah, jihad, kejujuran,
puasa Ramadhān, amar ma‘ruf dan nahi mungkar.(dan ?????) Pada waktu menciptakan
langit dan bumi, sesungguhnya Aku telah mewajibkan kepadamu dan umatmu shalat
lima puluh waktu. Oleh karena itu kalian laksanakan kewajiban tersebut. Aku
telah mengampuni siapa saja di antara umatmu yang tidak mempersekutukan Aku
dengan sesuatu pun.”
(Peristiwa Shalat Lima
Waktu)
Kemudian awan pun
tersibak dari Nabi s.a.w. Jibrīl memegang tangan beliau, dan segera berlalu
untuk menemui Ibrāhīm. Tetapi Ibrāhīm tidak mengatakan sesuatu apapun. Jibrīl
lalu menemui Mūsā, seseorang yang mau peduli dan bersedia diajak berbicara
untuk menolong mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang terjadi.
“Apa yang telah kamu
lakukan, wahai Muḥammad?”, tanya Mūsā. “Kewajiban apa yang dibebankan oleh
Tuhanmu kepadamu dan kepada umatmu?”
“Dia mewajibkan kepadaku
dan umatku shalat lima puluh waktu sehari semalam”, jawab Nabi.
“Kembalilah temui
Tuhanmu”, kata Mūsā. “Mohonlah keringan kepada-Nya, supaya kamu dan umatmu
tidak merasa keberatan. Soalnya mereka tidak akan sanggup melakukannya. Sebelum
kamu, aku telah memberitahukan hal itu kepada manusia. Bahkan aku telah
mencobanya terhadap orang-orang Bani Isrā’īl dengan beban kewajiban yang
relatif sangat ringan. Itu saja mereka tidak sanggup. Mereka sama
meninggalkannya. Padahal dari segi fisik umatmu lebih lemah daripada mereka.”
Nabi s.a.w. menoleh ke
arah Jibrīl dengan maksud untuk meminta pertimbangan kepadanya. Dan Jibrīl
memberi isyarat supaya menuruti saran Mūsā supaya ia kembali menemui Tuhannya
guna meminta keringanan. Beliau pun segera beranjak menemui Allah. Ketika tiba
di dekat sebatang pohon, ia diselimuti oleh awan. Dengan posisi bersimpuh
setelah bersujud beliau berkata: “Wahai Tuhan, tolong beri keringanan umatku,
karena mereka adalah umat yang sangat lemah.”
Allah ta‘ālā berfirman:
“Aku beri mereka keringanan sebanyak lima waktu.”
Kemudian awan pun
tersibak, lalu Nabi s.a.w. kembali menemui Mūsā dan berkata: “Allah telah
memberikan keringanan shalat lima waktu bagi umatku.”
“Temui Tuhanmu, dan
mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka tidak akan sanggup
melaksanakannya”, kata Mūsā.
Beberapa kali Nabi s.a.w.
harus bolak-balik naik turun menemui Tuhannya dan Mūsā, sehingga akhirnya umat
beliau hanya diberi kewajiban menjalankan shalat sebanyak lima waktu saja.
Terakhir Allah ta‘ala berfirman: “Wahai Muhammad!”
“Baik, wahai Tuhanku”,
jawab beliau.
Allah ta‘ālā berfirman:
“Kamu dan umatmu wajib menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Dan pahala
setiap shalat dilipatgandakan sepuluh kali. Jadi jumlahnya sama dengan lima
puluh kali. Ketetapan-Ku ini sudah tidak bisa diganti dan dirubah. Barang siapa
yang bermaksud hendak melakukan suatu amal kebajikan namun ia membatalkannya,
niscaya di catat untuknya satu kebajikan. Dan jika ia jadi melakukannya,
niscaya dicatat untuknya sepuluh kali kebajikan. Sebaliknya barang siapa yang
bermaksud hendak melakukan suatu amal keburukan namun batal, niscaya tidak
dicatat untuknya apa pun. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat
untuknya hanya satu keburukan saja.”
Tiba-tiba suasana menjadi
sangat terang benderang. Nabi s.a.w. pun turun menemui Mūsā untuk
memberitahukan hal itu kepadanya.
“Temui Tuhanmu, dan
mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka masih tidak akan sanggup
melaksanakannya”, kata Mūsā.
“Sudah beberapa kali aku
naik turun menemui Tuhanku untuk memohon keringanan. Aku merasa malu
kepada-Nya. Aku sudah setuju dan pasrah atas ketetapan-Nya itu”, jawab Nabi.
Tiba-tiba ada penyeru
yang menyeru: “Sesungguhnya kamu harus menunaikan kewajiban-Ku, dan Aku telah
memberikan keringanan buat hamba-hambaKu!”
“Sekarang turunlah dengan
menyebut nama Allah”, kata Mūsā kepada Nabi.
Dan setiap kali melewati
rombongan malaikat, mereka pasti mengucapkan salam kepada beliau. Beliau
mendekati Jibrīl dan berkata: “Kenapa para malaikat penghuni langit sama
mengucapkan selamat datang kepadaku? Dan kenapa mereka juga tertawa padaku?
Kecuali hanya satu malaikat. Aku mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah
menjawab salamku, ia mengucapkan selamat datang serta mendoakan aku. Tetapi ia
sama sekali tidak mau tersenyum.”
“Dia itu adalah malaikat
penghuni neraka”, jawab Jibrīl. “Semenjak diciptakan oleh Allah ta‘ālā ia
memang tidak pernah tersenyum. Seandainya ia pernah tersenyum kepada siapa pun,
tentu tadi ia juga tersenyum kepada anda.”
(Peristiwa Turun ke
Langit Dunia)
Ketika sedang dalam
perjalanan turun ke langit dunia, Nabi s.a.w. memperhatikan ke bawah, dan
beliau melihat asap dan suara-suara gaduh.
“Apa itu, wahai Jibrīl?”,
tanya beliau.
“Itu adalah rombongan
syaithan yang menghalangi mata manusia supaya mereka tidak sempat memikirkan
tentang kerajaan langit dan bumi. Seandainya tidak dihalang-halangi syaithan
seperti itu, tentu mereka akan bisa menyaksikan keajaiban-keajaiban”, jawab Jibrīl.
(Melewati Kafilah Unta
Kaum Quraisy)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
terus beranjak turun. Beliau melewati serombongan kafilah unta kaum Quraisy di
sebuah tempat. Ketika posisi beliau sudah sangat dekat, tiba-tiba kawanan unta
tersebut sama berlarian sambil berputar-putar. Pada kafilah itu terdapat seekor
unta yang membawa dua karung yang satu berwarna hitam dan yang satu lagi
berwarna putih. Lalu unta itu meringkik dan lari terpencar. Padahal sebelumnya
mereka telah mengumpulkannya.
Nabi s.a.w. mengucapkan
salam kepada mereka. Bukannya menjawab salam beliau, sebagian mereka malah
mengatakan kepada temannya: “Itu suara Muḥammad.”
(Peristiwa Ketika Kembali
ke Makkah)
Selanjutnya Nabi s.a.w.
berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya di Makkah menjelang shubuh.
Pagi-pagi sekali beliau sudah begitu yakin bahwa orang-orang pasti akan
menuduhnya berdusta. Beliau tampak sedang duduk dengan perasaan sedih.
Tiba-tiba muncul musuh Allah si Abū Jahal, lalu ia segera menghampiri beliau.
“Tampaknya ada sesuatu
yang tengah terjadi?” tanya Abū Jahal kepada beliau dengan nada mengejek.
“Benar”, jawab beliau
terus-terang.
“Apa itu?”, tanya Abū
Jahal.
“Semalam aku menjalani
peristiwa isrā’”, jawab beliau.
“Ke mana?”, tanya Abū
Jahal.
“Ke Bait-ul-Maqdis”,
jawab beliau.
“Kemudian pagi-pagi
seperti sekarang ini kamu mengaku sudah sampai berada di tengah-tengah kami
begitu ya?”, tanya Abū Jahal dengan sinis.
“Ya”, jawab beliau.
Nabi s.a.w. merasa yakin
bahwa Abū Jahal pasti akan memperolok-oloknya dan mendustakannya. Ia pasti akan
tetap keras kepala menentangnya.
“Bagaimana menurutmu
kalau kamu panggil kaummu lalu kamu ceritakan hal ini kepada mereka?”, tanya
Abū Jahal.
“Baiklah”, jawab Nabi.
“Wahai golongan Bani
Ka‘ab bin Lu’ayyi, kemarilah berkumpul di sini!”, teriak Abū Jahal
berkali-kali.
Dan tidak lama kemudian
banyak orang datang berbondong-bondong. Mereka duduk di majlis di hadapan Nabi
s.a.w. dan Abū Jahal.
“Sekarang kamu ceritakan
kepada kaummu ini apa yang tadi kamu ceritakan kepadaku”, kata Abū Jahal.
“Semalam aku menjalani
peristiwa isrā’”, kata Nabi.
“Ke mana?”, tanya mereka.
Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab
beliau.
“Dan pagi-pagi sekarang
ini anda sudah berada kembali di tengah-tengah kami?”, tanya mereka.
“Benar”, jawab beliau.
Mendengar jawaban Nabi
s.a.w. tersebut, sebagian mereka ada yang langsung percaya, dan sebagian lagi
ada yang tangannya memegang kepala seraya berteriak heran. Mereka menganggap
cerita beliau itu aneh dan berlebihan. Tiba-tiba seseorang bernama Muth‘im bin
‘Ady berdiri dan mengatakan: “Semua yang kamu katakan sebelum hari ini memang
benar. Tetapi apa yang kamu ceritakan sekarang ini, aku bersaksi bahwa kamu
adalah seorang pendusta. Kami biasa pergi ke Bait-ul-Maqdis dengan naik unta
terbaik. Dalam perjalanan ini kami membutuhkan waktu selama sebulan untuk naik,
dan juga selama sebulan untuk turun. Tetapi tadi kamu mengaku pergi ke sana dan
kembali pulang ke sini hanya membutuhkan waktu semalam saja, Demi Lāta dan
‘Uzzā, aku tidak percaya padamu.”
“Wahai Muth‘im, buruk
sekali yang kamu katakan kepada saudara sepupuku ini”, sergah Abū Bakar sambil
berdiri. “Beraninya kamu menganggap beliau telah berdusta. Berbeda dengan kami,
aku justru bersaksi bahwa beliau adalah orang yang jujur.”
“Wahai Muḥammad, coba
kamu jelaskan kepada kami tentang bagaimana keadaan bangunan Bait-ul-Maqdis,
bagaimana bentuknya, bagaimana letaknya dari gunung”, kata salah seorang
mereka.
Sesungguhnya di antara
mereka ada sebagian yang sudah pernah ke tempat suci tersebut, sehingga mereka
tahu data-data tersebut. Sepontan Nabi s.a.w. menjelaskan semuanya satu
persatu. Karena saking bersemangatnya, tiba-tiba ingatan beliau menjadi kabur.
Akibatnya, beliau merasa sangat sedih. Pada saat itulah masjid di
Bait-ul-Maqdis didatangkan dan diperlihatkan oleh malaikat kepada beliau
dengang jelas, sehingga beliau bisa menerangkannya secara jelas dan detail.
Bahkan pertanyaan salah seorang mereka tentang jumlah pintu yang ada dalam
masji tersebut, bisa beliau jawab dengan tepat.
“Anda benar, anda benar”,
kata Abū Bakar sepontan. “Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah.”
“Apa yang dikatakannya
tentang data-data masjid Bait-ul-Maqdis, demi Allah memang benar”, kata salah
seorang mereka.
“Tetapi apakah kamu juga
percaya kalau ia hanya membutuhkan waktu semalam untuk perjalanan pulang pergi
ke Bait-ul-Maqdis?”, tanya yang lain kepada Abū Bakar.
“Ya”, jawab Abū Bakar.
“Aku bahkan tetap percaya kepada beliau untuk sesuatu yang lebih aneh dari
cerita ini. Sampai kapan pun aku akan tetap percaya khabar berita yang turun
dari langit.”
Itulah sebabnya
belakangan Abū Bakar diberi gelar Ash-Shiddīq yang berarti orang yang jujur.
“Wahai Muḥammad, coba
ceritakan kepada kami tentang keadaan kafilah kami”, kata salah seorang mereka
kepada Nabi.
“Aku melewati sebuah
kafilah Bani fulan di Rauha. Karena ada seekor unta yang tersesat, mereka pun
berusaha mencarinya. Aku sampai di tempat istirahat mereka, tetapi di sana aku
tidak menemukan seorang pun di antara mereka. Aku melihat sebuah gelas berisi
air, lalu aku meminumnya. Selanjutnya aku meneruskan perjalan dan melewati
sebuah kafilah lain di sebuah tempat. Di antara kafilah ini ada seekor unta
berwarna merah yang mengangkut sebuah karung berwaruna hitam dan sebuah karung
berwarna putih. Begitu posisiku sudah sangat dekat dengan rombongan kafilah
ini, mendadak mereka semua sama lari dan ada seekor unta yang karena kaget ia
jatuh terjembab dan mati. Aku meneruskan perjalanan, dan melewati rombongan
kafilah yang lain lagi di daerah Tan‘īm. Di barisan depan mereka adalah seekor
unta yang mengangkut kain permadani berwarna hitam dan dua buah karung yang
juga berwarna hitam. Mereka akan muncul kepada kalian dari arah sebuah bukit.”
“Kapan mereka akan
datang?”, tanya salah seorang dari mereka.
“Hari Rabu”, jawab Nabi
sepontan.
Tepat pada hari Rabu
orang-orang Quraisy sama berkumpul untuk menunggu kedatangan rombongan kafilah
mereka. Ketika waktu siang telah beranjak dan rombongan kafilah belum juga
datang Nabi s.a.w. berdoa kepada Allah ta‘ālā. Oleh malaikat, waktu siang ditambah
satu jam dengan cara menahan laju beredarnya matahari, sampai akhirnya dari
jauh tampak rombongan kafilah muncul. Dengan suka cita orang-orang Quraisy
menyambut rombongan kafilahnya.
“Apakah ada seekor unta
kalian yang tersesat?”, tanya salah seorang tokoh Quraisy kepada pemimpin
rombongan.
“Benar”, jawabnya.
Mereka juga menanyakan
tentang rombongan kafilah yang terakhir.
“Apakah unta kalian yang
berwarna merah mati?”, tanya si tokoh Quraisy.
“Ya”, jawabnya.
“Apakah di antara kalian
ada yang membawa gelas?”, tanya si tokoh Quraisy.
“Ada. Aku yang
membawanya”, jawab salah seorang anggota rombongan kafilah. “Demi Allah, aku
sendiri yang meletakkan gelas berisi air itu, tanpa ada seorang pun di antara
kami yang meminumnya maupun yang menuangkannya ke tanah”.
Kendatipun demikian
orang-orang Quraisy tetap tidak mau percaya. Mereka bahkan menuduh Nabi s.a.w.
sebagai tukang sihir. Mereka mengatakan: “Benar apa yang pernah dikatakan oleh
al-Walīd.”
Allah ta‘ālā kemudian
menurunkan ayat:
وَ مَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا
الَّتِيْ أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ.
“Dan Kami tidak
menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian
bagi manusia.” (Qs. al-Isrā’: 60).
Hanya taufiq dan hidayah
Allah s.w.t. lah yang kami mohonkan.
Sumber tulisan: https://hatisenang.com/0-1-pendahuluan-kisah-isra-miraj-rasulullah-saw/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar