Selasa, 02 Januari 2024

Kisah Isra’ Mi‘raj Rasulullah s.a.w. (Terjemah dari Kitab Dardir Bainama Qishshat-ul-Mi‘raj) Oleh: Asy-Syeikh Najmuddin al-Ghaithi



PENDAHULUAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

 

(Peristiwa-peristiwa Ketika Isrā’):

Ketika Nabi s.a.w. sedang berada di Ḥijr Ismā‘īl yang terletak di dekat Ka‘bah dengan posisi terlentang di antara sepasang kaki, tiba-tiba Jibrīl dam Mikā’īl yang ditemani oleh satu malaikat lain mendatangi beliau. Mereka menggotong tubuh beliau. Dan setelah membawakan air zamzam, mereka meletakkan tubub beliau dalam posisi telentang dengan punggung di bawah. Jibrīl lalu meminta tolong mereka mengurus beliau.

Dalam suatu riwayatkan disebutkan, atap rumah Nabi s.a.w. dilubangi. Setelah turun, Jibrīl membedah lehernya sampai ke perut bagian bawah.

“Ambilkan aku satu baskom berisi air zamzam untuk membersihkan hatinya, dan melapangkan dadanya”, kata Jibrīl kepada temannya si Mikā’īl.

 

Setelah mengeluarkan hati Nabi s.a.w., Jibrīl kemudian membasuhnya sebanyak tiga kali. Ia membersihkan semua kotoran yang ada padanya. Setelah ikut membantu Jibrīl membawakan baskom berisi air zamzam berganti-ganti sebanyak tiga kali, Mikā’īl lalu membawakan sebuah baskom terbuat dari emas yang berisi penuh dengan hikmah dan iman. Setelah menuangkan sifat santun, ilmu, keyakinan, dan Islam ke dalam dada Nabi s.a.w., Jibrīl kemudian mengatupkannya kembali. Dan setelah Jibrīl memasang cap kenabian pada sepasang lengan Nabi s.a.w, didatangkanlah Burāq lengkap dengan kendali dan tali kekang, seekor binatang berwarna putih yang tingginya lebih daripada keledai dan lebih pendek daripada bighal. Ia meletakkan kukunya di ujung matanya seraya menggoyang-ngoyangkan sepasang telinganya. Ketika melintasi sebuah gunung, Burāq menaikkan sepasang kakinya, dan ketika turun ia mengangkat sepasang tangannya. Binatang ini memiliki sepasang sayap pada pahanya yang digunakan mencengkram oleh kakinya. Jibrīl merasa tidak berkenan terhadap Burāq. Dan seraya meletakkan tangannya pada bibir binatang ini, Jibrīl berkata: “Apakah kamu tidak merasa malu, wahai Burāq? Demi Allah, sekarang ini kamu akan dikendarai oleh seorang makhluk yang paling dimuliakan oleh Allah.”

 

Mendengar itu Burāq merasa malu, sehingga sekujur tubuhnya bercucuran keringat. Nabi s.a.w. kemudian menaikinya, dan para nabi sebelum beliau biasa menaiki Burāq. Kata Sa‘īd bin al-Musayyab dan lainnya, Burāq adalah binatang yang biasa ditunggangi oleh nabi Ibrāhīm a.s. ketika ia menuju ke Bait-ul-Ḥaram atau Ka‘bah.

Berangkat Nabi s.a.w. dengan diapit oleh Jibrīl di sebelah kanan, dan oleh Mikā’īl di sebelah kiri. Kata Ibnu Sa‘ad, yang membantu Nabi s.a.w. menaiki Burāq adalah Jibrīl, dan yang memegang kendalinya adalah Mikā’īl. Mereka terus bergerak hingga tiba di sebuah tanah yang terdapat banyak pohon kurma.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

“Tadi anda shalat di Thaibah, sebuah tempat yang akan menjadi tujuan hijrah”, kata Jibrīl.

Burāq terus bergerak dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w. seraya meletakkan kukunya ke dekat mata.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

“Tadi anda shalat di Madyān, di dekat pohon Mūsā”, kata Jibrīl menjelaskan.

Burāq terus bergerak dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w. seraya meletakkan kukunya ke dekat mata.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?” tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

 

“Tadi anda shalat di bukit Tursina, tempat di mana Allah dahulu pernah berfirman secara langsung kepada Mūsā”, kata Jibrīl menjelaskan.

Selanjutnya rombongan tiba di sebuah tanah lapang yang memperlihatkan dengan jelas beberapa bangunan istana Syiria.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

Burāq terus bergerak dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?” tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

“Tadi anda shalat di Bait Lahem, tempat di mana ‘Īsā bin Maryam dilahirkan”, kata Jibrīl menjelaskan.

 

(Bacaan untuk Menghalau ‘Ifrīt)

Ketika sedang mengendarai Burāq itulah, Nabi s.a.w. tiba-tiba melihat seekor ‘Ifrīt dari golongan Jinn yang sedang membawa sebatang obor. Dan begitu menoleh ke belakang, beliau bisa melihatnya.

“Aku ingin mengajarkan kepada anda beberapa kalimat yang kalau anda baca, maka obor itu akan padam dan si ‘Ifrīt akan lari terbirit-birit”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Baiklah”, kata beliau.

“Bacalah: A‘ūdzu bi wajhillāh-il-karīmi wa bi kalimātillāh-it-tāmmāt-il-latī lā yujawizuhunna birrun wa lā fāsiqun min syarri mā yunzzalu min-as-samā’i, wa min syarri mā ya‘ruju fīhā, wa min syarri mā dzara’a fil-ardhi, wa min syarri mā yakhruju minhā, wa min fitan-il-laili wan-nahāri, wa min thawāriq-il-laili wan-nahāri, illā tharīqan yathruqu bi khairin, yā Raḥmān.

(Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Dermawan dengan menggunakan kalimat-kalimat Allah yang tidak mampu dilewati oleh orang yang baik maupun orang yang jahat dari keburukan sesuatu yang diturunkan dari langit, dari keburukan sesuatu yang naik ke sana, dari keburukan sesuatu yang tertinggal di muka bumi, dari keburukan sesuatu yang keluar daripadanya, dari fitnah-fitnah waktu malam maupun siang, dan dari bencana-bencana malam maupun siang, kecuali bencana yang membawa suatu kebajikan, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah).”

Begitu Nabi s.a.w. selesai membacanya, si ‘Ifrīt lari tunggang-langgang sehingga ia jatuh terjembab (terjerembab/terjerembap), dan obornya pun padam.

(Pahala Para Mujāhid)

Rombongan terus melanjutkan perjalanan sehingga mereka mendapati beberapa orang yang menanam dan sekaligus mengetam pada satu hari yang sama. Setiap kali selesai mengetam, maka tanaman akan kembali lagi untuk siap diketam. Begitu seterusnya.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.

“Mereka adalah orang-orang yang pernah berjihad pada jalan Allah ta‘ālā, sehingga balasan untuk satu amal kebajikan mereka dilipat-gandakan menjadi tujuh ratus kali. Dan harta yang pernah mereka sumbangkan diganti oleh Allah”, jawab Jibrīl.

 

(Māsyithah – Mu’minah dari keluarga Fir‘aun)

Mendadak Nabi s.a.w. mencium aroma yang sangat harum.

“Aroma apa ini, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.

“Ini adalah aroma Māsyithah binti Fir‘aun dan putra-putranya”, jawab Jibrīl. “Pada suatu hari ketika sedang menyisiri putri Fir‘aun, tiba-tiba sisirnya terjatuh. “Dengan menyebut nama Allah, celakalah Fir‘aun”, kata Māsyithah dengan spontan.

“Jadi anda punya Tuhan selain ayahku, ya?” tanya si kecil putri Fir‘aun.

“Ya”, jawab Māsyithah berterus terang.

“Kalau begitu, apakah aku boleh memberitahukan hal ini kepada ayahku?”, tanyanya.

“Boleh”, jawab Māsyithah dengan jujur.

Anak kecil tersebut kemudian memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Seketika Māsyithah dipanggil Fir‘aun.

“Benarkah kamu punya Tuhan selain aku?”, tanya Fir‘aun.

“Benar”, jawab Masyīthah. “Tuhanku dan Tuhan anda adalah Allah.”

Māsyithah punya dua orang anak dan seorang suami. Fir‘aun menyuruh untuk mendatangkan mereka. Ia membujuk Māsyithah dan suaminya supaya mereka keluar dari agama Islam. Tetapi mereka menolak.

“Bagaimana kalau aku akan membunuh kalian berdua?”, tanya Fir‘aun mengancam.

“Baik, silahkan saja terserah anda. Tetapi tolong nanti kuburkan mayat kami di dalam satu liang lahat”, jawab Māsyithah.

“Baik, akan aku penuhi permintaanmu itu”, kata Fir‘aun.

Fir‘aun kemudian menyuruh untuk membawakan sebuah baskon berukuran sangat besar yang terbuat dari timah. Dan setelah dipanaskan dengan air yang sangat mendidih, ia menyuruh Māsyithah dan keluarganya untuk memasukinya. Satu persatu mereka memasuki bejana tersebut. Dan ketika tiba giliran anak bungsunya yang masih menyusu, tiba-tiba ia berkata:

“Wahai bunda, ayo masuklah dan jangan ragu-ragu, karena anda di pihak yang benar.”

Tak pelak Māsyithah keluarganya pun akhirnya sama masuk ke dalam bejana dari timah berisi air yang sangat mendidih tersebut.

Kata Ibnu Sa‘īd, ada empat orang yang sudah bisa berbicara ketika masih berada dalam ayunan: yakni anak Māsyithah, saksi nabi Yūsuf, anaknya si Juraij, dan ‘Īsā putra Maryam.

 

(Siksaan bagi Orang yang Merasa Berat Melaksanakan Shalat Fardhu)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang tengah memecahkan kepala sendiri. Dan setelah memar sampai hancur, keadaannya kembali lagi seperti semula. Hal itu terus mereka lakukan tanpa bosan-bosan sedikit pun.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang kepalanya terasa berat untuk diajak shalat fardhu”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Orang yang Tidak Mau Menunaikan Zakat)

Kemudian Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang tubuhnya bagian depan maupun bagian belakang sama-sama tambahan. Mereka sedang digembalakan laksana sekawanan unta dan domba. Mereka memakan buah dhari‘, buah zaqqum, dan batu-batu dari neraka Jahannam.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya, dan Allah sama sekali tidak berbuat zalim kepada mereka”, jawab Jibrīl.

 

 

 

(Siksaan bagi Suami yang Suka Menggauli Wanita Pelacur)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang di depan mereka ada daging matang di dalam sebuah periuk, dan di dekat mereka juga ada daging busuk, tetapi mereka justru memilih memakan daging yang busuk dan membiarkan daging yang matang.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah termasuk umat anda yang sebenarnya mereka sudah memiliki seorang istri baik-baik dan halal, tetapi mereka justru lebih suka memilih menggauli wanita pelacur, bahkan menginap di rumahnya sampai pagi”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Mereka yang Suka Menghalang-halangi Orang Dari Jalan Allah)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati sebilah papan kayu di tepi jalan yang selalu membuat robek pakaian setiap orang yang melewatinya.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu adalah seperti perumpamaan beberapa orang dari umat anda yang gemar duduk-duduk iseng di pinggir jalan untuk mengganggu orang lain yang lewat. Mereka suka menghalang-halangi dari jalan Allah”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Mereka yang Suka Memakan Harta Riba)

Selanjutnya Nabi s.a.w. melihat seseorang yang sedang berenang di sebuah sungai darah seraya menelan batu.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu adalah seperti perumpamaan seseorang yang suka memakan harta riba”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Mereka yang Suka Meminta Amanat Tapi Sudah Tidak Sanggup Mengembannya)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati seseorang yang tengah mengumpulkan setumpuk kayu bakar yang tidak kuat dipikulnya, tetapi ia justru terus menambahinya.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

 

“Itu adalah seseorang dari umat anda yang mendapat beberapa amanat dari orang lain. Sebenarnya ia sudah tidak sanggup mengembannya, tetapi masih terus meminta amanat-amanat yang lain”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Para Muballigh yang Suka Menebarkan Fitnah)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang sedang menggunting bibir dan lidahnya dengan menggunakan gunting dari besi. Dan setiap kali sudah tergunting bibir dan lidahnya itu kembali utuh lagi seperti sedia kala tanpa ada bekas luka, dan begitu seterusnya.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu adalah para muballigh yang suka menebarkan fitnah. Mereka itu termasuk umat anda yang pandai mengatakan apa yang tidak mereka lakukan”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Orang-orang yang Suka Menyerang Kehormatan Orang Lain)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang memiliki kuku terbuat dari timah yang mereka gunakan untuk mencakar-cakar muka dan dada mereka sendiri.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging orang lain, dan suka menyerang kehormatan-kehormatannya”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Orang-orang yang Suka Cakap Besar)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati seonggok batu kecil yang mengeluarkan seekor sapi berukuran sangat besar. Dan setiap kali si sapi berusaha ingin kembali masuk dari tempat di mana ia keluar namun tidak mampu.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Ia adalah seseorang dari umat anda yang suka berbicara dengan kata-kata besar. Belakangan ia menyesalinya, tetapi ia tidak sanggup menariknya kembali”, jawab Jibrīl.

 

 

 

(Godaan Panggilan Orang Yahudi)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggil dari arah kanan:

“Wahai Muḥammad, lihat aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau tidak mau menjawabinya.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Yang memanggil anda tadi adalah seorang Yahudi. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat anda akan menjadi orang-orang Yahudi”, jawab Jibrīl.

 

(Godaan Panggilan Orang Nashrani)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggil dari arah kiri:

“Wahai Muḥammad, lihat aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau tidak mau menjawabinya.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Yang memanggil anda tadi adalah seorang Nashrani. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat anda akan menjadi orang-orang Nashrani”, jawab Jibrīl.

 

(Godaan Panggilan Dunia)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, ada seorang wanita yang tampak sepasang lengannya terbuka dan ia memiliki segala kecantikan yang diciptakan oleh Allah ta‘ālā mengatakan kepada beliau:

“Wahai Muḥammad, lihat aku. Aku ingin bertanya kepadamu. Tetapi beliau tidak menoleh ke arahnya.

“Siapa wanita itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Wanita itu tadi adalah perumpamaan dunia. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat anda akan lebih memilih dunia daripada akhirat”, jawab Jibrīl.

 

 

(Godaan Panggilan Iblīs)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada seorang kakek yang memanggil beliau seraya menjauh dari jalan. Ia mengatakan: “Kemarilah, wahai Muḥammad.”

“Jangan mau, teruslah berjalan, wahai Muḥammad”, kata Jibrīl.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu tadi adalah Iblīs sang musuh Allah yang ingin supaya anda cenderung kepadanya”, jawab Jibrīl.

 

(Godaan Panggilan Sisa Umur Dunia)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada seorang nenek yang memanggil beliau dari tepi jalan: “Wahai Muḥammad, tunggu aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau sama sekali tidak mau menoleh ke arahnya.

“Siapa wanita itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu tadi adalah perumpamaan sisa umur dunia. Jadi sisa umur dunia adalah seperti umur si nenek yang sudah tua renta tersebut”, jawab Jibrīl.

 

(Tiba di Bait-ul-Maqdis dan Menjadi Imam Shalat Para Nabi dan Malaikat)

Selanjutnya Nabi s.a.w. bergerak meneruskan perjalanan, hingga akhirnya tiba di Bait-ul-Maqdis. Beliau memasukinya dari pintu sebelah kanan. Setelah turun dari Burāq, beliau segera menambatkan binatang ini di dekat pintu masjid, tempat yang dahulu pernah digunakan oleh para nabi a.s. untuk menambatkan binatang kendaraan mereka.

Disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sesungguhnya Jibrīl menghampiri seonggok batu besar. Begitu meletakkan jari-jarinya, seketika batu tersebut hancur-lebur dengan mengeluarkan suara cukup keras, sehingga membuat terkejut Burāq yang sedang istirahat.

Nabi s.a.w. memasuki masjid dari pintu yang terkena sinar matahari. Beliau dan Jibrīl sempat shalat sendiri-sendiri dua rakaat. Tidak lama kemudian tiba-tiba sudah berkumpul beberapa orang yang belakangan beliau tahu bahwa mereka itu adalah para nabi. Mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang ruku‘, dan ada yang sedang bersujud. Setelah seruan adzan dikumandangkan dan diteruskan dengan seruan iqamat, mereka pun berdiri dengan membentuk beberapa shaf. Mereka sedang menunggu yang akan menjadi imam mereka. Tiba-tiba Jibrīl memegang tangan Nabi s.a.w. seraya memberi isyarat supaya beliau maju ke depan sebagai imam. Dan beliau pun shalat dua rakaat menjadi imam mereka.

Diriwayatkan dari Ka‘ab, Jibrīl memberitahu para malaikat. Mereka pun sama turun berbondong-bondong dari langit. Selanjutnya Allah mengumpulkan semua rasul dan nabi untuk ikut bergabung. Nabi s.a.w. pun shalat menjadi imam para malaikat serta para rasul.

“Wahai Muḥammad, anda tahu siapa yang tadi sama shalat di belakang anda?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w. begitu selesai shalat.

“Tidak”, jawab Nabi.

“Mereka tadi adalah seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah ta‘ālā”, jawab Jibrīl.

Selanjutnya Nabi mendengar setiap nabi memuji Tuhannya dengan puji-pujian yang sangat indah.

“Kalian semua memuji Tuhan kalian, dan aku pun selalu memuji Tuhanku”, kata Nabi.

Selanjutnya Nabi s.a.w. bersabda: “Segala puji kepunyaan Allah yang telah mengutusku dengan membawa rahmat bagi seru sekalian alam dan bagi seluruh umat manusia untuk memberi khabar gembira dan menyampaikan peringatan. Allah-lah yang telah menurunkan al-Qur’ān kepadaku sebagai penjelasan bagi segala sesuatu. Allah telah menjadikan umatku sebagai umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia. Allah menjadikan umatku sebagai umat yang tengah-tengah. Allah juga menjadikan umatku sebagai yang pertama sekaligus yang terakhir. Allah telah melapangkan dadaku, menghilangkan noda dosa dariku, mengangkat derajatku, dan menjadikan aku sebagai sang pembuka yang paripurna.”

Nabi Ibrāhīm a.s. pernah mengatakan: “Berkat hal itulah Muḥammad telah memuliakan kalian.”

 

(Nabi Memilih Susu)

Tiba-tiba Nabi s.a.w. merasa kehausan yang teramat sangat. Jibrīl a.s. segera membawakan untuk beliau sebuah bejana berisi khamar dan sebuah bejana lagi berisi susu. Dan ternyata beliau memilih bejana yang berisi susu untuk diminum.

“Anda telah memilih yang fitrah”, kata Jibrīl kepada Nabi. “Seandainya tadi anda memilih meminum khamar, niscaya umat anda akan suka melakukan sesuatu yang sia-sia, dan di antara mereka tidak ada yang akan mengikuti anda kecuali hanya sedikit saja.”

Disebutkan dalam suatu riwayat, sesungguhnya bejana yang dibawa oleh Jibrīl a.s. ada tiga. Dan bejana yang ketiga berisi air.

“Seandainya tadi anda memilih air, niscaya umat anda akan tenggelam.”

Disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa salah satu di antara tiga bejana yang disodorkan kepada Nabi s.a.w. adalah bejana berisi madu, bukan air. Dan sesungguhnya beliau melihat beberapa bidadari dari sisi kanan batu besar. Beliau mengucapkan salam, dan mereka pun menjawabnya. Beliau bertanya, dan mereka pun memberikan jawaban yang menyenangkan hati.

 

(Peristiwa-peristiwa Ketika Mi‘rāj):

(Bertemu Dengan Nabi Ādam– Di Langit Pertama)

Selanjutnya Nabi dibawa oleh Jibrīl a.s. menjalani peristiwa mi‘rāj. Ikut dalam perjalanan ini ialah arwah-arwah anak cucu Ādam. Seluruh makhluk tidak pernah melihat yang lebih indah daripada peristiwa mi’rāj. Di sana ada perhiasan dari perak dan dari emas yang berasal dari surga Firdaus. Di sebelah kanan dan kiri, beliau diapit oleh rombongan malaikat.

Nabi s.a.w. dan Jibrīl a.s. naik hingga tiba di salah satu pintu langit dunia yang bernama pintu Ḥifzhah. Di sana ada malaikat yang bernama Ismā‘īl, penjaga langit dunia. Malaikat penghuni udara ini sama sekali tidak pernah naik ke langit, dan juga sama sekali tidak pernah turun ke bumi, kecuali hanya pada hari ketika Nabi s.a.w. wafat. Di hadapannya ada tujuh puluh ribu malaikat yang masing-masing mereka memiliki serdadu sebanyak tujuh puluh ribu malaikat juga.

Jibrīl a.s. meminta dibukakan pintu langit tersebut.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah nabi Ādam a.s. bapak seluruh umat manusia yang bentuknya sama seperti bentuk ketika Allah ta‘ālā menciptakannya. Arwah-arwah para nabi berikut orang-orang mu’min keturunannya diperlihatkan dengan jelas kepada Nabi s.a.w. Beliau bersabda: “Roh yang baik, dan jiwa yang baik. Tolong jadikan mereka di surga tertinggi.”

 

Lalu diperlihatkan dengan jelas kepada Nabi s.a.w. arwah-arwah anak cucu keturunan nabi Ādam yang kafir. Beliau bersabda: “Roh yang buruk, dan jiwa yang buruk. Tolong jadikan mereka di neraka Sijjīn.”

Dari sebelah kiri Nabi s.a.w. melihat sosok hitam, dan sebuah pintu yang mengeluarkan bau sangat busuk. Begitu melihat ke sebelah kanan ia tampak tersenyum, tetapi begitu melihat dari sebelah kiri ia tampak bersedih dan menangis. Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah menjawab salam beliau ia mengatakan dengan penuh semangat: “Selamat datang seorang putra yang saleh, Nabi yang saleh.”

“Siapa dia?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.

“Dia itu adalah moyang anda si Ādam, dan sosok hitam tadi adalah jiwa anak cucunya. Golongan kanan di antara mereka adalah calon penghuni surga, dan golongan kiri di antara mereka adalah calon penghuni neraka. Begitu memandang ke arah kanan ia tersenyum dan merasa gembira, dan begitu melihat ke arah kiri ia bersedih dan menangis. Pintu yang terletak di sebelah kiri adalah pintu Jahannam. Begitu melihat anak cucunya yang memasukinya, ia menangis dan bersedih.”

Selanjutnya Nabi s.a.w. berlalu dengan tenang, dan mendapati orang-orang yang suka memakan harta riba serta harta anak-anak yatim, para pezina, dan yang lain. Bentuk mereka sangat buruk.

 

(Bertemu Dengan Nabi ‘Īsā dan Nabi Yaḥyā – Di Langit Kedua)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang kedua. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah kedua putra sang bibi, yakni ‘Īsā bin Maryam dan Yaḥyā bin Zakariyyā a.s. Pakaian dan rambut keduanya sangat mirip satu sama lain. Bersama mereka beberapa kaum pengikutnya. Ternyata rambut nabi ‘Īsā keriting, postur tubuhnya tinggi besar, kulitnya putih ke merah-merahan. Ia mirip dengan ‘Urwah bin Mas‘ūd ats-Tsaqafī.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada ‘Īsā dan Yaḥyā. Dan setelah menjawabi salam beliau, mereka mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Mereka juga mendoakan kebaikan untuk beliau.

 

(Bertemu Dengan Nabi Yūsuf– Di Langit Ketiga)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang ketiga. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Yūsuf bersama beberapa orang dari kaumnya.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Yūsuf. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau. Ternyata Yūsuf diberi separo ketampanan seluruh umat manusia.

Dalam suatu riwayat disebutkan, sesungguhnya Yūsuf adalah makhluk Allah yang paling tampan. Ia laksana bulan di malam purnama di sekeliling bintang-bintang.

“Siapa ini, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Saudara anda si Yūsuf”, jawab Jibrīl.

 

 

(Bertemu Dengan Nabi Idris– Di Langit Keempat)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang keempat. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Idrīs yang telah dikarunia oleh Allah sebuah kedudukan yang sangat tinggi.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Idrīs. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau.

 

(Bertemu Dengan Nabi Hārūn– Di Langit Kelima)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang kelima. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Hārūn yang separo jenggotnya berwarna putih dan separonya lagi berwarna hitam. Saking tingginya sampai-sampai ia terkena pukulan lutut Hārūn. Ia dikelilingi oleh kaumnya orang-orang Bani Isrā’īl.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Hārūn. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau.

“Siapa ini, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Ini adalah orang yang sangat dicintai oleh kaumnya. Namanya Hārūn bin ‘Imrān”, jawab Jibrīl.

 

(Bertemu Dengan Nabi Mūsā– Di Langit Keenam)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang keenam. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Nabi s.a.w. melewati seorang nabi berikut rombongan nabi yang lain serta beberapa orang, melewati seorang nabi berikut rombongan nabi yang lain serta suatu kaum, dan juga melewati seorang nabi berikut rombongan para nabi yang tidak ada siapa pun selain mereka.

Selanjutnya Nabi s.a.w. melewati rombongan besar yang jumlahnya sangat banyak sehingga menutupi kaki langit.

“Siapa itu?”, tanya Nabi.

“Itu adalah Mūsā dan kaumnya”, jawab Jibrīl, “Tetapi coba anda angkat kepala anda.”

Beliau melihat ada rombongan yang juga sangat besar sehingga menutupi dua ujung kaki langit.

 

“Siapa mereka?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah umat anda”, jawab Jibrīl. “Selain mereka, masih ada tujuh puluh ribu orang yang akan masuk surga tanpa dihisab.”

Begitu Nabi s.a.w. dan Jibrīl a.s. sudah masuk, ternyata itu adalah Mūsā bin ‘Imrān, seseorang postur tubuhnya cukup tinggi dengan rambut yang sangat lebat.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Mūsā. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau. Mūsā berkata: “Orang-orang mengira aku adalah manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Ternyata orang ini lebih dimuliakan oleh Allah.”

Begitu Nabi s.a.w. telah lewat, Mūsā menangis.

“Kenapa anda menangis?”, tanya malaikat.

“Aku menangis karena sepeninggalanku akan ada seorang anak muda yang diutus yang umatnya lebih banyak masuk surga daripada umatku. Orang-orang Bani Isrā’īl mengira aku adalah manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Ternyata seorang dari anak cucu Ādam ini telah menggantikan aku di dunia, dan aku sudah berada di akhirat. Kalau ia hanya sendirian aku tidak peduli. Tetapi ia bersama umatnya.”

 

(Bertemu Dengan Nabi Ibrahim– Di Langit Ketujuh)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang ketujuh. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Ibrāhīm sang kekasih Allah. Ia sedang duduk di dekat pintu surga di atas kursi dari emas seraya menyandarkan punggungnya pada Bait-ul-Ma‘mūr. Ia ditemani beberapa orang.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Ibrāhīm. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.”

Selanjutnya Ibrāhīm berkata kepada Nabi s.a.w.: “Suruh umatmu untuk sebanyak mungkin menanam tanaman surga, karena tanah surga itu sangat subur dan luas.”

“Apa itu tanaman surga?”, tanya Nabi.

“Yaitu ucapan: Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm (Tidak ada daya serta kekuatan sama sekali tanpa pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)”, jawab Ibrāhīm.

Dalam riwayat lain disebutkan, Ibrāhīm berkata kepada Nabi s.a.w.: “Sampaikan salamku kepada umatmu, dan beritahu mereka bahwa tanah surga itu indah, airnya tawar, dan tanamannya ialah kalimat: Subḥānallāhi wal-ḥamdulillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar (Maha Suci Allah, segala puji kepunyaan Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar).”

Di dekat Ibrāhīm ada serombongan orang yang tengah duduk dengan wajah putih bersih laksana kertas, dan juga ada serombongan orang yang ada sesuatu pada warna wajah mereka. Rombongan orang yang akhir ini berdiri lalu memasuki sebuah sungai. Setelah mandi di sana, mereka keluar dan dengan muka yang agak bersih. Lalu mereka memasuki sebuah sungai yang lain. Setelah mandi di sana, mereka keluar dengan muka yang sudah sama sekali bersih. Kemudian mereka memasuki sebuah sungai yang ketiga. Dan setelah mandi di sana, mereka keluar dengan penampilan wajah seperti wajah rombongan yang pertama tadi. Mereka lalu duduk bergabung bersama-sama dengan teman-temannya tersebut.

“Wahai Jibrīl, siapa orang-orang yang wajahnya putih bersih laksana kertas, dan juga siapa orang-orang yang warna wajah mereka ada sesuatu tadi? Lalu bagaimana dengan sungai-sungai yang mereka masuki lalu mereka di sana?”, tanya Nabi.

“Orang-orang yang wajahnya putih bersih laksana kertas adalah suatu kaum yang iman mereka tidak dicampuri dengan kezhaliman. Orang-orang yang warna wajahnya ada sesuatu itu adalah suatu kaum yang biasa mencampur amal saleh dengan amal buruk. Mereka mau bertaubat, dan Allah pun berkenan menerima taubat mereka. Adapun sungai-sungai tadi, yang pertama adalah lambang rahmat Allah, yang kedua lambang nikmat Allah, dan yang ketiga Allah memberi minum mereka dengan air minum yang suci mensucikan. Ada yang mengatakan, itulah tempat anda dan tempat umat anda kelak”, jawab Jibrīl.

 

Sesungguhnya umat Nabi s.a.w. terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian dari mereka mengenakan pakaian putih bersih laksana kertas, dan satu bagian lagi mengenakan pakaian berwarna abu-abu.

 

(Memasuki Bait-ul-Ma‘mur)

Selanjutnya Nabi s.a.w. memasuki Bait-ul-Ma‘mūr. Ikut masuk bersama beliau adalah orang-orang yang mengenakan pakaian putih. Sementara orang-orang yang mengenakan pakaian abu-abu tidak bisa ikut masuk. Tetapi mereka tetap dalam keadaan baik-baik saja. Beliau dan orang-orang mu’min yang bersama beliau melakukan shalat di Bait-ul-Ma‘mūr. Setiap harinya tempat ini dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat yang tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat nanti. Beliau mengambil posisi tepat di belakang Ka‘bah.

Dalam riwayat lain disebutkan, ada tiga bejana yang diperlihatkan kepada Nabi s.a.w. Ketika beliau memilih bejana yang berisi susu. Jibrīl a.s. membenarkannya, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Jibrīl berkata: “Itulah fitrah yang anda dan umat anda ada padanya.”

 

(Naik ke Sidrat-ul-Muntahā)

Selanjutnya Nabi s.a.w. naik ke Sidrat-ul-Muntahā, sebagai tempat terakhir perjalanan mi‘rāj beliau yang dimulai dari bumi. Di sana ada sebatang pohon yang dari akarnya keluar beberapa sungai dari air yang berubah-ubah, beberapa sungai yang rasanya tidak akan pernah berubah, beberapa sungai khamar yang rasanya lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan beberapa sungai madu murni. Orang berkendara yang berjalan mengelilingi naungan pohon tersebut membutuhkannya waktu selama tujuh puluh tahun, dan belum juga selesai karena saking besarnya pohon tersebut. Selembar daunnya saja lebarnya seperti beberapa telinga gajah betina. Daunnya hampir-hampir menutupi umat ini. Menurut suatu riwayat, daun-daun pohon inilah yang menaungi seluruh makhluk, dan setiap lembarnya ada malaikat yang menutupinya sehingga tidak tahu apa warnanya.

Disebutkan dalam riwayat lain, selembar daunnya bisa berubah menjadi permata, dan tidak ada seorang pun yang sanggup melukiskan keindahannya. Di dekat pohon tersebut terdapat hamparan dari emas. Dan pada akarnya terdapat empat buah sungai; dua sungai dalam, dan dua sungai luar.

“Sungai-sungai apa saja itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Dua sungai dalam ialah sepasang sungai yang ada di surga, dan dua sungai luar ialah sungai Nil dan sungai ‘Ifrat”, jawab Jibrīl.

 

Dalam riwayat lain disebutkan, sesungguhnya Nabi s.a.w. melihat Jibrīl di Sidrat-ul-Muntahā memiliki enam ratus sayap yang masing-masing sayap menutupi kaki langit, dari dalam sayap-sayap Jibrīl inilah bertaburan butir-butir mutiara serta permata yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah ta‘ālā.

 

(Memasuki Surga)

Kemudian Nabi s.a.w. memasuki surga. Di dalamnya terdapat nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Di pintu surga beliau melihat tulisan: “Pahala Sedekah Itu Dilipatgandakan Sepuluh Kali, Dan Pahala Menghutangi Dilipatgandakan Delapan Belas Kali.”

“Kenapa menghutangi itu lebih utama daripada bersedekah, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Karena orang yang meminta itu terkadang ia masih punya sesuatu. Sementara orang yang hutang itu pasti karena terpaksa oleh kebutuhan”, jawab Jibrīl.

 

(Sungai-sungai di Surga – al-Kautsar)

Selanjutnya Nabi s.a.w. terus berjalan, dan mendapati beberapa sungai susu yang rasanya tidak akan berubah, beberapa sungai khamar yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan beberapa sungai madu murni. Di sungai-sungai ini terdapat untaian-untaian mutiara yang sangat elok dan mempesona. Di dekat sungai-sungai ini juga terdapat buah delima yang laksana kulit unta yang biasa digunakan untuk mengangkut barang, serta burung-burung yang menawan.

Abū Bakar pernah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai utusan Allah, itu adalah seekor ternak.”

“Aku telah memakannya dengan rasa yang jauh lebih nikmat. Dan aku pun berharap kamu pun kelak akan memakannya”, jawab Nabi.

Nabi s.a.w. melihat sungai al-Kautsar yang pada kedua tepinya terdapat untaian-untaian mutiara berlobang. Tanahnya menebarkan aroma kasturi.

 

(Diperlihatkan Neraka)

Selanjutnya Nabi s.a.w. diperlihatkan neraka. Di dalamnya terdapat murka, siksa, dan hukuman Allah ta‘ālā yang kalau misalnya seonggok batu atau sebatang besi dilemparkan ke sana akan langsung dilalapnya. Di dalam neraka terdapa beberapa orang yang memakan bangkai,

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang suka makan daging orang lain”, jawab Jibrīl.

Nabi s.a.w. melihat malaikat penjaga neraka yang bermuka masam, selalu cemberut, dan terus-menerus marah. Beliau memulai dengan mengucapkan salam kepadanya. Setelah menjawab salam beliau, ia segera mengunci pintu mereka sehingga tidak bisa dilihat dan dimasuki oleh beliau.

 

(Di Sidrat-ul-Muntahā)

Selanjutnya Nabi s.a.w. dibawa naik ke Sidrat-ul-Muntahā. Beliau diliputi oleh awan yang mengandung segala macam warna. Jibrīl sempat tertinggal. Tetapi kemudian ia segera ikut naik bersama beliau ke tempat di mana ia bisa mendengar goresan-goresan qalam. Beliau melihat ada yang bersembunyi dalam cahaya ‘Arasy.

“Siapa itu? Apakah ia malaikat?” tanya Nabi.

“Bukan”, jawab Jibrīl.

“Atau seorang nabi?” tanya beliau.

“Juga bukan”, jawab Jibrīl. “Ini adalah seseorang yang sewaktu di dunia lidanya selalu basah karena digunakan rajin berdzikir menyebut nama Allah ta‘ālā, hatinya selalu bergantung pada masjid, dan sama sekali tidak pernah mencaci-maki kedua orang tuanya.”

Nabi s.a.w. melihat Tuhannya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Seketika beliau sujud bersungkur. Pada saat itulah beliau diajak bercakap-cakap oleh Tuhannya, “Wahai Muḥammad!”

“Baik, Tuhanku”, jawab beliau.

“Mohonlah”, kata-Nya.

“Sesungguhnya Engkau telah menjadikan Ibrāhīm sebagai kekasih, dan telah Engkau beri ia kekuasaan yang cukup besar. Engkau telah bercakap-cakap dengan Mūsā secara langsung. Engkau telah memberi kekuasaan yang cukup besar kepada Dāūd, dan Engkau juga memberinya kekuatan sehingga ia sanggup melunakkan besi, serta gunung-gunung bersujud kepadanya. Engkau telah memberi kekuasaan yang cukup besar kepada Sulaimān sehingga jinn, manusia, dan syaithan tunduk kepadanya. Bahkan angin pun tunduk kepadanya. Engkau telah memberinya suatu kekuasaan yang tidak diberikan kepada siapapun sepeninggalannya. Engkau telah mengajarkan Taurat dan Injil kepada ‘Īsā. Engkau jadikan ia bisa menyembuhkan kebutaan, menyembuhkan penyakit kusta, dan menghidupkan kembali orang yang telah mati dengan izin Engkau. Engkau lindungi ‘Īsā dan ibunya dari syaithan yang terkutuk, sehingga syaithan tidak memiliki cara untuk menggoda mereka berdua.”

Allah ta‘ālā berfirman: “Aku telah menjadikan kamu sebagai kekasih. Aku akan mengutusmu kepada seluruh manusia untuk memberi khabar gembira kepada orang-orang yang beriman, dan menyampaikan peringatan kepada orang-orang yang kafir. Aku akan melapangkan dadamu, menghilangkan noda dosa dari hatimu, dan mengangkat tinggi-tinggi derajatmu. Setiap kali ingat Aku, maka kamu pasti akan ingat kematian. Aku jadikan umatmu sebagai umat yang tengah-tengah. Aku jadikan mereka sebagai golongan yang pertama sekaligus yang terakhir. Aku jadikan mereka tidak boleh berbicara panjang lebar sebelum mereka memberikan kesaksian bahwa sesungguhnya kamu adalah hamba sekaligus seorang rasul utusan-Ku. Dan Aku jadikan mereka kaum-kaum yang hati mereka lembut. Aku jadikan kamu yang pertama kali diciptakan di antara para nabi, yang terakhir kali diutus di antara mereka, dan yang paling awal untuk diputusi di akhirat nanti. Aku memberikan kepadamu surat al-Fātiḥah yang tidak pernah Aku berikan kepada seorang nabi pun sebelum kamu. Aku memberikan kepadamu bagian-bagian akhir dari surat al-Baqarah sebagai simpanan di bawah ‘Arasy yang tidak pernah Aku berikan kepada seorang nabi pun sebelum kamu. Aku memberikan kepadamu telaga al-Kautsar. Aku memberikan kepadamu delapan yang sangat penting dari Islam, hijrah, jihad, kejujuran, puasa Ramadhān, amar ma‘ruf dan nahi mungkar.(dan ?????) Pada waktu menciptakan langit dan bumi, sesungguhnya Aku telah mewajibkan kepadamu dan umatmu shalat lima puluh waktu. Oleh karena itu kalian laksanakan kewajiban tersebut. Aku telah mengampuni siapa saja di antara umatmu yang tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun.”

 

(Peristiwa Shalat Lima Waktu)

Kemudian awan pun tersibak dari Nabi s.a.w. Jibrīl memegang tangan beliau, dan segera berlalu untuk menemui Ibrāhīm. Tetapi Ibrāhīm tidak mengatakan sesuatu apapun. Jibrīl lalu menemui Mūsā, seseorang yang mau peduli dan bersedia diajak berbicara untuk menolong mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang terjadi.

“Apa yang telah kamu lakukan, wahai Muḥammad?”, tanya Mūsā. “Kewajiban apa yang dibebankan oleh Tuhanmu kepadamu dan kepada umatmu?”

“Dia mewajibkan kepadaku dan umatku shalat lima puluh waktu sehari semalam”, jawab Nabi.

“Kembalilah temui Tuhanmu”, kata Mūsā. “Mohonlah keringan kepada-Nya, supaya kamu dan umatmu tidak merasa keberatan. Soalnya mereka tidak akan sanggup melakukannya. Sebelum kamu, aku telah memberitahukan hal itu kepada manusia. Bahkan aku telah mencobanya terhadap orang-orang Bani Isrā’īl dengan beban kewajiban yang relatif sangat ringan. Itu saja mereka tidak sanggup. Mereka sama meninggalkannya. Padahal dari segi fisik umatmu lebih lemah daripada mereka.”

Nabi s.a.w. menoleh ke arah Jibrīl dengan maksud untuk meminta pertimbangan kepadanya. Dan Jibrīl memberi isyarat supaya menuruti saran Mūsā supaya ia kembali menemui Tuhannya guna meminta keringanan. Beliau pun segera beranjak menemui Allah. Ketika tiba di dekat sebatang pohon, ia diselimuti oleh awan. Dengan posisi bersimpuh setelah bersujud beliau berkata: “Wahai Tuhan, tolong beri keringanan umatku, karena mereka adalah umat yang sangat lemah.”

Allah ta‘ālā berfirman: “Aku beri mereka keringanan sebanyak lima waktu.”

Kemudian awan pun tersibak, lalu Nabi s.a.w. kembali menemui Mūsā dan berkata: “Allah telah memberikan keringanan shalat lima waktu bagi umatku.”

“Temui Tuhanmu, dan mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka tidak akan sanggup melaksanakannya”, kata Mūsā.

Beberapa kali Nabi s.a.w. harus bolak-balik naik turun menemui Tuhannya dan Mūsā, sehingga akhirnya umat beliau hanya diberi kewajiban menjalankan shalat sebanyak lima waktu saja. Terakhir Allah ta‘ala berfirman: “Wahai Muhammad!”

“Baik, wahai Tuhanku”, jawab beliau.

Allah ta‘ālā berfirman: “Kamu dan umatmu wajib menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Dan pahala setiap shalat dilipatgandakan sepuluh kali. Jadi jumlahnya sama dengan lima puluh kali. Ketetapan-Ku ini sudah tidak bisa diganti dan dirubah. Barang siapa yang bermaksud hendak melakukan suatu amal kebajikan namun ia membatalkannya, niscaya di catat untuknya satu kebajikan. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat untuknya sepuluh kali kebajikan. Sebaliknya barang siapa yang bermaksud hendak melakukan suatu amal keburukan namun batal, niscaya tidak dicatat untuknya apa pun. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat untuknya hanya satu keburukan saja.”

Tiba-tiba suasana menjadi sangat terang benderang. Nabi s.a.w. pun turun menemui Mūsā untuk memberitahukan hal itu kepadanya.

“Temui Tuhanmu, dan mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka masih tidak akan sanggup melaksanakannya”, kata Mūsā.

“Sudah beberapa kali aku naik turun menemui Tuhanku untuk memohon keringanan. Aku merasa malu kepada-Nya. Aku sudah setuju dan pasrah atas ketetapan-Nya itu”, jawab Nabi.

Tiba-tiba ada penyeru yang menyeru: “Sesungguhnya kamu harus menunaikan kewajiban-Ku, dan Aku telah memberikan keringanan buat hamba-hambaKu!”

“Sekarang turunlah dengan menyebut nama Allah”, kata Mūsā kepada Nabi.

Dan setiap kali melewati rombongan malaikat, mereka pasti mengucapkan salam kepada beliau. Beliau mendekati Jibrīl dan berkata: “Kenapa para malaikat penghuni langit sama mengucapkan selamat datang kepadaku? Dan kenapa mereka juga tertawa padaku? Kecuali hanya satu malaikat. Aku mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah menjawab salamku, ia mengucapkan selamat datang serta mendoakan aku. Tetapi ia sama sekali tidak mau tersenyum.”

“Dia itu adalah malaikat penghuni neraka”, jawab Jibrīl. “Semenjak diciptakan oleh Allah ta‘ālā ia memang tidak pernah tersenyum. Seandainya ia pernah tersenyum kepada siapa pun, tentu tadi ia juga tersenyum kepada anda.”

 

(Peristiwa Turun ke Langit Dunia)

Ketika sedang dalam perjalanan turun ke langit dunia, Nabi s.a.w. memperhatikan ke bawah, dan beliau melihat asap dan suara-suara gaduh.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya beliau.

“Itu adalah rombongan syaithan yang menghalangi mata manusia supaya mereka tidak sempat memikirkan tentang kerajaan langit dan bumi. Seandainya tidak dihalang-halangi syaithan seperti itu, tentu mereka akan bisa menyaksikan keajaiban-keajaiban”, jawab Jibrīl.

 

(Melewati Kafilah Unta Kaum Quraisy)

Selanjutnya Nabi s.a.w. terus beranjak turun. Beliau melewati serombongan kafilah unta kaum Quraisy di sebuah tempat. Ketika posisi beliau sudah sangat dekat, tiba-tiba kawanan unta tersebut sama berlarian sambil berputar-putar. Pada kafilah itu terdapat seekor unta yang membawa dua karung yang satu berwarna hitam dan yang satu lagi berwarna putih. Lalu unta itu meringkik dan lari terpencar. Padahal sebelumnya mereka telah mengumpulkannya.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada mereka. Bukannya menjawab salam beliau, sebagian mereka malah mengatakan kepada temannya: “Itu suara Muḥammad.”

 

(Peristiwa Ketika Kembali ke Makkah)

Selanjutnya Nabi s.a.w. berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya di Makkah menjelang shubuh. Pagi-pagi sekali beliau sudah begitu yakin bahwa orang-orang pasti akan menuduhnya berdusta. Beliau tampak sedang duduk dengan perasaan sedih. Tiba-tiba muncul musuh Allah si Abū Jahal, lalu ia segera menghampiri beliau.

“Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi?” tanya Abū Jahal kepada beliau dengan nada mengejek.

 

“Benar”, jawab beliau terus-terang.

“Apa itu?”, tanya Abū Jahal.

“Semalam aku menjalani peristiwa isrā’”, jawab beliau.

“Ke mana?”, tanya Abū Jahal.

“Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab beliau.

“Kemudian pagi-pagi seperti sekarang ini kamu mengaku sudah sampai berada di tengah-tengah kami begitu ya?”, tanya Abū Jahal dengan sinis.

“Ya”, jawab beliau.

Nabi s.a.w. merasa yakin bahwa Abū Jahal pasti akan memperolok-oloknya dan mendustakannya. Ia pasti akan tetap keras kepala menentangnya.

“Bagaimana menurutmu kalau kamu panggil kaummu lalu kamu ceritakan hal ini kepada mereka?”, tanya Abū Jahal.

“Baiklah”, jawab Nabi.

“Wahai golongan Bani Ka‘ab bin Lu’ayyi, kemarilah berkumpul di sini!”, teriak Abū Jahal berkali-kali.

Dan tidak lama kemudian banyak orang datang berbondong-bondong. Mereka duduk di majlis di hadapan Nabi s.a.w. dan Abū Jahal.

“Sekarang kamu ceritakan kepada kaummu ini apa yang tadi kamu ceritakan kepadaku”, kata Abū Jahal.

“Semalam aku menjalani peristiwa isrā’”, kata Nabi.

“Ke mana?”, tanya mereka.

Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab beliau.

“Dan pagi-pagi sekarang ini anda sudah berada kembali di tengah-tengah kami?”, tanya mereka.

“Benar”, jawab beliau.

Mendengar jawaban Nabi s.a.w. tersebut, sebagian mereka ada yang langsung percaya, dan sebagian lagi ada yang tangannya memegang kepala seraya berteriak heran. Mereka menganggap cerita beliau itu aneh dan berlebihan. Tiba-tiba seseorang bernama Muth‘im bin ‘Ady berdiri dan mengatakan: “Semua yang kamu katakan sebelum hari ini memang benar. Tetapi apa yang kamu ceritakan sekarang ini, aku bersaksi bahwa kamu adalah seorang pendusta. Kami biasa pergi ke Bait-ul-Maqdis dengan naik unta terbaik. Dalam perjalanan ini kami membutuhkan waktu selama sebulan untuk naik, dan juga selama sebulan untuk turun. Tetapi tadi kamu mengaku pergi ke sana dan kembali pulang ke sini hanya membutuhkan waktu semalam saja, Demi Lāta dan ‘Uzzā, aku tidak percaya padamu.”

“Wahai Muth‘im, buruk sekali yang kamu katakan kepada saudara sepupuku ini”, sergah Abū Bakar sambil berdiri. “Beraninya kamu menganggap beliau telah berdusta. Berbeda dengan kami, aku justru bersaksi bahwa beliau adalah orang yang jujur.”

“Wahai Muḥammad, coba kamu jelaskan kepada kami tentang bagaimana keadaan bangunan Bait-ul-Maqdis, bagaimana bentuknya, bagaimana letaknya dari gunung”, kata salah seorang mereka.

Sesungguhnya di antara mereka ada sebagian yang sudah pernah ke tempat suci tersebut, sehingga mereka tahu data-data tersebut. Sepontan Nabi s.a.w. menjelaskan semuanya satu persatu. Karena saking bersemangatnya, tiba-tiba ingatan beliau menjadi kabur. Akibatnya, beliau merasa sangat sedih. Pada saat itulah masjid di Bait-ul-Maqdis didatangkan dan diperlihatkan oleh malaikat kepada beliau dengang jelas, sehingga beliau bisa menerangkannya secara jelas dan detail. Bahkan pertanyaan salah seorang mereka tentang jumlah pintu yang ada dalam masji tersebut, bisa beliau jawab dengan tepat.

“Anda benar, anda benar”, kata Abū Bakar sepontan. “Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah.”

“Apa yang dikatakannya tentang data-data masjid Bait-ul-Maqdis, demi Allah memang benar”, kata salah seorang mereka.

“Tetapi apakah kamu juga percaya kalau ia hanya membutuhkan waktu semalam untuk perjalanan pulang pergi ke Bait-ul-Maqdis?”, tanya yang lain kepada Abū Bakar.

“Ya”, jawab Abū Bakar. “Aku bahkan tetap percaya kepada beliau untuk sesuatu yang lebih aneh dari cerita ini. Sampai kapan pun aku akan tetap percaya khabar berita yang turun dari langit.”

Itulah sebabnya belakangan Abū Bakar diberi gelar Ash-Shiddīq yang berarti orang yang jujur.

“Wahai Muḥammad, coba ceritakan kepada kami tentang keadaan kafilah kami”, kata salah seorang mereka kepada Nabi.

“Aku melewati sebuah kafilah Bani fulan di Rauha. Karena ada seekor unta yang tersesat, mereka pun berusaha mencarinya. Aku sampai di tempat istirahat mereka, tetapi di sana aku tidak menemukan seorang pun di antara mereka. Aku melihat sebuah gelas berisi air, lalu aku meminumnya. Selanjutnya aku meneruskan perjalan dan melewati sebuah kafilah lain di sebuah tempat. Di antara kafilah ini ada seekor unta berwarna merah yang mengangkut sebuah karung berwaruna hitam dan sebuah karung berwarna putih. Begitu posisiku sudah sangat dekat dengan rombongan kafilah ini, mendadak mereka semua sama lari dan ada seekor unta yang karena kaget ia jatuh terjembab dan mati. Aku meneruskan perjalanan, dan melewati rombongan kafilah yang lain lagi di daerah Tan‘īm. Di barisan depan mereka adalah seekor unta yang mengangkut kain permadani berwarna hitam dan dua buah karung yang juga berwarna hitam. Mereka akan muncul kepada kalian dari arah sebuah bukit.”

“Kapan mereka akan datang?”, tanya salah seorang dari mereka.

“Hari Rabu”, jawab Nabi sepontan.

Tepat pada hari Rabu orang-orang Quraisy sama berkumpul untuk menunggu kedatangan rombongan kafilah mereka. Ketika waktu siang telah beranjak dan rombongan kafilah belum juga datang Nabi s.a.w. berdoa kepada Allah ta‘ālā. Oleh malaikat, waktu siang ditambah satu jam dengan cara menahan laju beredarnya matahari, sampai akhirnya dari jauh tampak rombongan kafilah muncul. Dengan suka cita orang-orang Quraisy menyambut rombongan kafilahnya.

“Apakah ada seekor unta kalian yang tersesat?”, tanya salah seorang tokoh Quraisy kepada pemimpin rombongan.

“Benar”, jawabnya.

Mereka juga menanyakan tentang rombongan kafilah yang terakhir.

“Apakah unta kalian yang berwarna merah mati?”, tanya si tokoh Quraisy.

“Ya”, jawabnya.

“Apakah di antara kalian ada yang membawa gelas?”, tanya si tokoh Quraisy.

“Ada. Aku yang membawanya”, jawab salah seorang anggota rombongan kafilah. “Demi Allah, aku sendiri yang meletakkan gelas berisi air itu, tanpa ada seorang pun di antara kami yang meminumnya maupun yang menuangkannya ke tanah”.

Kendatipun demikian orang-orang Quraisy tetap tidak mau percaya. Mereka bahkan menuduh Nabi s.a.w. sebagai tukang sihir. Mereka mengatakan: “Benar apa yang pernah dikatakan oleh al-Walīd.”

Allah ta‘ālā kemudian menurunkan ayat:

وَ مَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْ أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ.

“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.” (Qs. al-Isrā’: 60).

Hanya taufiq dan hidayah Allah s.w.t. lah yang kami mohonkan.


Sumber tulisan: https://hatisenang.com/0-1-pendahuluan-kisah-isra-miraj-rasulullah-saw/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar