Sumber: Tulisan Muhammad Tarobin
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta
email: tarobin1212@gmail.com
Berbeda dengan Syekh Ahmad Yunus, ulama Lingga yang aktifitas rintelektualnya dilakukan di Masjidil Haram. Terdapat tokoh ulama Lingga yang aktifitas intelektualnya sebagian besar dilakukan di Pulau Lingga, dia adalah Tengku Muhammad Saleh (selanjutnya ditulis TMS).
Selain menulis berbagai macam ilustrasi dan silsilah keagamaan, ia juga menulis beberapa karya, diantaranya yang telah dicetak ialah: Tafsîr al-Fatihah dan Nuur al-Shalah. Kitab yang terakhir disebut merupakan kitab yang membahas tuntunan salat baik secara teosofis maupun fikih.
Menurut catatan Syahri dkk. TMS juga merupakan sejarawan yang menulis Keringkasan Sejarah Melayu dan Jadwal Silsilahnya (1930). Berbeda dengan kebanyakan sejarawan yang menulis menurut perspektif Pulau Penyengat, ia menulis dalam perspektif Lingga.
Kajian terhadap karya dan perjuangan TMS penting dilakukan karena beberapa hal, pertama: TMS memenuhi kualifikasi sebagai tokoh perjuangan, baik sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia maupun tokoh pejuang agama. Sebagai pejuang, ia pernah ditangkap oleh Belanda dan hendak dibawa ke Batavia karena dianggap sebagai matamata Jepang. Saat itu, ia berhasil melarikan diri dan kemudian menjadi buronan Belanda selama beberapa bulan, bahkan ia pernah melarikan diri ke Singapura. Sebagai pejuang agama, ia pernah menjadi ketua Mahkamah Syariah di Kepulauan Lingga dan Singkep.
Selain sebagai tokoh agama di masyarakat, ia juga penyalin naskah-naskah keagamaan masa lalu yang menjadi penghubung antara masa-masa kerajaan Melayu di Nusantara -sebelum dan sesudah datangnya kolonialisme- dengan era kemerdekaan Indonesia.
Kedua, ada beberapa karyanya, khususnya dalam bidang keagamaan yang masih hidup dan digunakan hingga kini, salah satunya adalah kitab Nuur al-Shalaah. Kitab ini, hingga saat ini masih digunakan di masyarakat Pulau Lingga. Menurut penuturan Tengku Husein (salah seorang anak dari TMS), kitab ini menjadi bahan kajian bulanan yang diasuh oleh Ketua Majelis Ulama Kabupaten Lingga di Masjid “bersejarah” Sultan Lingga.
Tengku Muhammad Saleh merupakan anak dari Tengku Abu Bakar (w. 2 Oktober 1929) dengan Tengku Aluwiah. Menurut penuturan Tengku Husein (anak TMS), Tengku Abu Bakar sebetulnya memiliki 11 atau 12 anak, namun anak yang hidup sampai dewasa dan memiliki keturunan hanya 6 orang. Enam anak tersebut adalah TMS, Tengku Hafsah, Tengku Ainun, Tengku Fitri, Tengku Ahmad, dan Tengku Kalsum.
Tengku Muhammad Saleh dilahirkan pada akhir malam Jumat, 5 Syawal 1318 H atau bertepatan dengan 25 Januari 1901 M di Kota Damnah, Daik, Lingga. Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Setelah berumur 7 tahun, ia diambil oleh Sultan “Raja” Abd al-Rahmân Mu’azzham Syah II (berkuasa: 1885-1911 M), Sultan Kerajaan Riau-Lingga terakhir, untuk tinggal di istananya di Pulau Penyengat. TMS dijadikan kawan sejawat
bagi cucunya, Tengku Mahmud, putera dari Tengku Umar (Tengku Besar Riau). Masa-masa pendidikan TMS ditempuh dengan berpindah-pindah tempat. Dua tahun setelah tinggal di Pulau Penyengat (± umur 9 tahun), ia disekolahkan oleh Sultan Abdurrahman II di Sekolah Arabiyah yang didirikan oleh Sultan. Namun hanya setahun ia berhenti sekolah karena guru Sekolah Arabiyah tersebut mengalami gangguan jiwa. Berikut ini penulis ringkaskan riwayat pendidikan dan aktifitas TMS:
Pendidikan formal TMS hanya ditempuh di Sekolah Rakyat (SR) yakni Sekolah Kelas Dua (Tweede Inlandsche School) yang bisa ditempuh selama 3 tahun. Namun karena TMS berpindah-pindah maka diduga kuat sekolah ini ditempuh lebih dari tiga tahun. Setelah lulus dari sekolah rakyat, barulah TMS diarahkan oleh orang tuanya untuk belajar dasardasar ilmu agama kepada Imam Kampung yang ada di Daik. Sementara menurut penuturan Tengku Husein, TMS juga belajar agama ke Patani, Sapat, dan Gaung Anak Serka (sebuah kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir). Pernyataan Tengku Husein tentang “Sapat dan Gaung Anak Serka” tersebut nampaknya sesuai dengan riwayat singkat yang dibuat oleh TMS. TMS setidaknya pernah dua kali tinggal di daerah Indragiri, yakni: pertama, selama ± 1 bulan pada sekitar tahun 1913 ketika ayahnya menjadi Districtshoofd di Gaoeng-Mandah. Kedua, sekitar 3 tahun tinggal di Sapat pada tahun 1935-1938. Pada saat ini TMS menikah, kemungkinan dengan istri pertama, kemudian dilanjutkan dengan istri kedua, karena istri pertama wafat.
Gaung Anak Serka dan Sapat merupakan dua daerah yang berada di Kabupaten Indragiri Hilir, di daerah ini dikenal seorang tokoh ulama yang cukup berpengaruh yakni Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari. Syekh Abdurrahman Shiddiq dilahirkan pada tahun 1284 H (1867 M)di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan. Nama lengkapnya Syekh Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif bin Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari. Sepulang dari belajar di Makkah dan Madinah, Syekh Abdurrahman sempat menetap di Mentok (Bangka) dan melakukan beberapa kali perjalanan sebelum akhirnya menetap di Sapat (sebuah desa di Kecamatan Kuala Indragiri, Kab. Indragiri Hilir) setelah tahun 1907. Pada tahun 1919 Syekh Abdurrahman resmi menjadi mufti Kerajaan Indragiri Hilir sampai beliau meninggal pada tanggal 10 Maret 1939.
Data pada tabel I di atas, menyebut bahwa TMS pernah tinggal di Sapat pada tahun 1935-1938, maka ada kemungkinan kuat bahwa TMS pernah bertemu atau belajar secara langsung dengan Syekh Abdurrahman Shiddiq di Sapat. Meski demikian dalam kitab Nûr al-Shalâh, tidak disebut sekali pun nama Abdurrahman Shiddiq. Demikian juga dalam naskah-naskah eks koleksi TMS tidak terdapat naskah yang ditulis oleh Abdurrahman Shiddiq. Sebaliknya, terdapat satu salinan naskah fikih yang disusun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yakni Kitâb Majmû’ yang ditulis di Banjar pada 30 Muharram 1233 H (10 Desember 1817 M). Kolofon kitab tersebut menyebut bahwa naskah tersebut disalin di Malaka pada 25 Zulhijjah 1263 H (4 Desember 1847 M)
Selama hidupnya, menurut Tengku Husein TMS menikah empat kali, namun hanya istri keempat yang melahirkan banyak keturunan dan masih ada hingga sekarang. Istri pertama dan kedua berasal dari Mandah (Tengku Husein menyebut “Mande”), yakni: Jariyah dan Bontol (bukan nama sebenarnya). Istri pertama dan kedua ini adalah kakakberadik. TMS menikah dengan istri kedua, yang merupakan adik dari istri pertama, karena istri pertama meninggal dunia. TMS menikah dengan istri keempat, Rafeah binti Muhammad Nur pada tahun 1951. Saat itu TMS berumur 50 tahun dan Tengku Rafeah berumur 18 tahun. Dari pernikahan ini, TMS dikaruniai 7 anak, yakni:
Tengku Husein (L. 1952), Tengku Hasna (L. 1953), Tengku Saodah (L. 1955), Tengku Salme (L. 1957), Tengku Salman (wafat 3 tahun), Tengku Salim (1960-1997), dan Tengku Hasiah (L. 1964). TMS termasuk ulama yang cukup produktif dalam menulis. Karyakaryanya berupa ringkasan pelajaran untuk disampaikan kepada muridmuridnya, maupun untuk dicetak. Ada beberapa karya beliau yang sudah dicetak diantaranya adalah Kitab Nûr al-Shalâh dan Risālah Tajwîd al-Fâtihah. Risâlah Tajwîd al-Fâtihah diselesaikan melalui tulis tangan pada 3 Sya’ban 1371 H (28 April 1952 M). Hal ini berarti Risâlah Tajwîd alFâtihah selesai dan dicetak dua tahun sebelum Kitab Nûr al-Shalâh.
TMS juga menyalin beberapa naskah karangan para ulama terdahulu. Beberapa contoh salinan naskah, ringkasan, atau naskah yang disusun oleh TMS di bidang fikih adalah: Risalah Pada Menyatakan Hakikat Orang Sembahyang, Masalah Dua Puluh Dua Puasa, Mukhtasar Fatwa Mahkamah Riau-Lingga, Buku Nukil Pelajaran Agama, dan Kitab al-Faraid. Ada dua Kitab al-Faraid yang mencantumkan nama TMS sebagai pengarang, salah satu diantaranya mencantumkan tanggal penyusunan, yakni pada 2 Muharram 1363 H (29 Desember 1943 M) dan 30 Rabiulawwal 1365 H (4 Maret 1946 M).
Sementara itu versi tulisan tangan dari Kitab Nûr al-Shalâh diselesaikan pada tahun 1373 H (1954 M) dan dicetak oleh Al-Ahmadiyah Press, Singapura pada tahun yang sama. Versi tulisan tangan tersebut terdiri dari 45 halaman, sedangkan versi cetaknya terdiri dari 93 halaman isi dan beberapa halaman fihrasah (daftar isi) di bagian belakang. Fihrasah ini terdiri atas 97 poin isi buku, tidak terlebih dulu dibagi dalam beberapa “bab” kemudian masing-masing bab dibagi dalam beberapa “sub bab”, juga tidak dibagi menjadi beberapa “pasal” dan “sub pasal”. Demikian pula “judul” yang tertulis dalam 97 poin tersebut bukan tertulis sebagai “judul” dalam halaman yang tersebut di dalamnya. Misalnya poin nomor 2, 3, dan 4 tertulis judul dalam fihrasahadalah “Khutbah kitab, Asal sembahyang, dan Arti sembahyang pada lughat”, ketiganya terletak di halaman 4. Ternyata “judul” poin tersebut tidak ditemukan pada halaman 4. Tiga poin tersebut ditemukan sebagai “isi pembahasan” di halaman 4, tidak tertulis sebagai judul bab atau sub bab pada halaman 4.
Diantara 97 poin tersebut ada beberapa poin yang tertulis dengan judul “Pasal ..... dst”, namun pada halaman yang ada, hanya tertulis “Pasal”, tidak tertulis “isi pasal” secara lengkap sesuai fihrasah-nya, kecuali “pasal” paling awal pada halaman 9. Beberapa pasal tersebut adalah: poin nomor 18 “Pasal niat dan Hadisnya” (halaman 9), poin nomor 32 “Pasal waktu kita tidur” (halaman 28), poin nomor 42 “Pasal istihdhâr dan muqâranah (halaman 33), poin nomor 65 “Pasal mewajibkan sembahyang” (halaman 51), poin nomor 91 “Pasal hukum berjamaah” (halaman 85), dan poin nomor 97 “Pasal pada menyatakan aurat” (halaman 91). Sementara itu pada halaman 9 tertulis judul “Pasal pada menyatakan segala syarat-syarat daripada rukun sembahyang”. Judul pasal ini berbeda dengan yang tertera dalam fihrasah yakni “Pasal niat dan Hadisnya”. Mengingat mulai halaman 9-28 membicarakan 13 rukun sembahyang, maka judul poin yang tepat adalah “Pasal rukun sembahyang”. Adapun jika judul poin tersebut dimaksudkan untuk menyebut isi pada halaman 9 maka cukup ditulis “Niat dan hadisnya.” Sebaliknya, ada dua “pasal” yang dalam fihrasahtidak disebut sebagai pasal, yakni tentang: “Sunnah-sunnah dalam sembahyang” (halaman 63-71) dan “Makna zahir dan batin sembahyang” (halaman 72-78).
Merujuk pada isinya, kitab Nûr al-Shalâh setidaknya berisi sebelas pokok bahasan: pertama, khutbah kitab: makna sembahyang (halaman 4-9). Kedua, rukun sembahyang (halaman 9-28). Ketiga, makna dan tahapan niat (halaman 28-33). Keempat, istihdhâr dan muqâranah (halaman 33-43). Kelima, makna gerakan dan bacaan dalam sembahyang (halaman 44-51). Keenam, hal yang mewajibkan sembahyang, syarat sah sembahyang, hal yang membatalkan sembahyang, hal yang makruh dalam sembahyang, dan uzur dalam sembahyang (halaman 51-63). Ketujuh, sunnah sembahyang dan sujud sahwi (halaman 63-72). Kedelapan, makna lahir dan batin sembahyang (halaman 72-78). Kesembilan, bacaan sembahyang dan artinya dalam bahasa Melayu (halaman 78-84). Kesepuluh, sembahyang berjamaah (halaman 85-91). Kesebelas, aurat pada saat sembahyang (91-93).
Tulisan lain tentang Tengku Muhammas Saleh dapat dibaca di link ini:
https://jantungmelayu.co/2017/03/tengku-muhammad-saleh-1909-1966/
Tulisan terjemah kitab nur ash shalah dapat dibaca di link berikut: http://syamsulhendry.blogspot.com/2016/?m=0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar