Selasa, 02 Januari 2024

ISRA’ MI’RAJ MUKJIZAT TERBESAR KARYA SYEIKH MUTAWALLI ASY-SYA’RAWI



BAB I

LATAR BELAKANG DIBERIKANNYA MU‘JIZAT ISRĀ’ MI‘RĀJ KEPADA RASŪLULLĀH S.A.W.

Allah s.w.t. mendukung Rasūl-Nya, Muḥammad s.a.w. dengan berbagai mu‘jizat. Mu‘jizat itu sebagian besar bersifat materi, yang bisa dilihat oleh semua orang, seperti memancarnya air dari sela-sela jari Rasūlullāh, datangnya awan yang berarak memayungi perjalanannya di siang hari yang terik, retaknya bulan, dan lain-lain. Akan tetapi ada mu‘jizat terbesar yang belum pernah diberikan dan diperlihatkan kepada siapapun namun hanya diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu kepergian Rasūlullāh s.a.w. ke Sidrat-ul-Muntahā (langit tertinggi). Bahkan Rasūlullāh telah melampauinya untuk melihat ayat-ayat Allah di seluruh langit-Nya. Malaikat Jibrīl a.s. saja yang merupakan malaikat terbesar dan terdekat dengan Allah ta‘ālā tidak berani memasuki tempat itu. Hingga di Sidrat-ul-Muntahā, malaikat Jibrīl berhenti dan menyuruh Rasūlullāh s.a.w. maju seorang diri. Jibrīl berkata kepada beliau: “Majulah, ya Rasūlullāh! Kalau aku melampaui perbatasan ini dan maju bersamamu, aku akan terbakar hangus!”

Buku ini berbicara tentang mu‘jizat terbesar yang khusus diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu Isrā’ dan Mi‘raj. Tidak seorang nabi pun yang mendapatkan mu‘jizat ini. Belum pernah ada seorang nabi pun yang naik ke atas langit hingga mencapai Sidrat-ul-Muntahā (bahkan melampauinya), kemudian kembali ke bumi pada malam itu juga untuk meneruskan kehidupan rutinnya di muka bumi, selain Muḥammad Rasūlullāh s.a.w.

Sebelum kami berbicara tentang mu‘jizat besar ini, kami akan mengisahkan kepada anda peristiwa-peristiwa yang mendahului mu‘jizat tersebut yang menyebabkan mu‘jizat itu terjadi.

Rasūlullāh s.a.w. sebagai nabi dan rasul terakhir Allah s.w.t. telah dipersiapkan secara Ilāhiyyah oleh Allah ta‘ālā untuk mengemban risalah yang besar yakni risalah terakhir langit untuk bumi. Allah menjadikan Muḥammad s.a.w. seorang yang ummi, tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak ada orang yang bisa menuduh bahwa beliau “meniru dan mengutip” mu‘jizat itu dari peradaban umat-uamt yang lalu, atau dia belajar ilmu dari seorang guru. Allah s.w.t. menginginkan hanya Dialah satu-satunya yang menjadi guru Muḥammad s.a.w. Allah ingin ilmu yang diperoleh rasul-Nya itu langsung dari sisi-Nya, tanpa campur tangan peradaban bumi. Hal ini saja sudah merupakan suatu mu‘jizat.

Demikianlah, Muḥammad s.a.w. dibesarkan tanpa belajar dan tanpa seorang guru. Ini tidak seperti halnya anak-anak sebayanya. Muḥammad s.a.w. tidak tahu perihal dunia sedikitpun. Selama hidupnya beliau tidak pernah membaca satu huruf pun. Karena itulah, ketika malaikat Jibrīl datang menyuruhnya “Iqrā’ (bacalah!)”, Muḥammad langsung menjawab: “Mā ana bi-qāri’ (aku tidak pandai membaca)!” Beliau menjawab dengang tulus dan polos. Tetapi Jibrīl memeluknya erat-erat seraya berkata lagi, “Iqrā’”, dan Rasūlullāh mengulangi kembali jawabannya: “Mā ana bi-qāri’!”. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang hingga tiga kali.

Timbul pertanyaan di sini, apakah Allah ta‘ālā yang mengirim malaikat Jibrīl tidak tahu bahwa Muḥammad s.a.w. tidak pandai membaca dan menulis? Mengapa Muḥammad masih disuruh membaca? Bukankah Dia juga yang memilihnya menjadi seorang nabi yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Bahkan ciri-cirinya sudah diumumkan dalam kitab Taurāt dan Injīl, sejak Nabi Mūsā dan ‘Īsā a.s., jauh sebelum Muḥammad hidup di muka bumi.

Perhatikanlah firman-Nya dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:

الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلً النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْجِيْلِ.

“Mereka yang mengikut Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurāt dan Injīl…..” (al-A‘rāf: 157).

Ayat itu melukiskan kisah bangsa Yahudi yang menyembah anak lembu (sapi) dan bagaiman Mūsā a.s. telah memilih tujuh orang dari kaumnya. Kata Ikhtāra (bahwa yang dilakukan Mūsā itu adalah suatu kerja pilihan) artinya: “harus menggunakan akal pikiran”. Mūsā memilih “ikhtāra” tujuh puluh oleh lelaki yang diambil satu persatu dari setiap suku bangsa Yahudi sehingga semua suku Yahudi terwakili. Pada waktu yang ditetapkan, Mūsā a.s. akan memenuhi undangan Allah ta‘ālā. Allah ingin mengingatkan nabi-Nya, Mūsā a.s. tentang besarnya dosa kaumnya yang menyembah anak lembu (sapi). Karena itulah mereka dihukum dengan suatu gempa bumi yang dahsyat hingga menggocangkan seluruh persendian tubuh mereka, seolah-olah nyawa telah meninggalkan tubuh mereka masing-masing. Gempa yang ditimpakan Allah itu merupakan hukuman kepada orang yang menyembah dan menontoni keberkahan kepada anak lembu (sapi). Juga bencana dan adzab yang ditimpakan kepada orang yang tidak berusaha mencegah.

Pada waktu itulah Mūsā a.s. memohon kepada Rabbnya. Katanya: “Ya Rabbi, wahai Pengasih dan Penyayang! Apakah kami akan ditewaskan karena perbuatan sesat orang-orang bodoh itu? Ya Rabbi, berilah kami karunia rahmat-Mu di dunia dan di akhirat.”

Maka pada saat itu Allah s.w.t. memberitahukan kepada Mūsā a.s. tentang rahmat-Nya yang telah diberikan kepada orang yang mengikuti dan mematuhi Rasūl dan Nabi-Nya yang ummi. Allah memerintahkan agar “pemberitahuan” itu disampaikan kepada umatnya.

Dari kisah tersebut tahulah kita bahwa Allah ta‘ālā sejak azali telah memilih Rasūl-Nya yang ummi. Inipun merupakan salah satu mu‘jizat Rasūlullāh s.a.w. lainnya yang mengandung hikmah agar jangan ada orang yang menuduhnya telah mendapat ilmu dari Ahli Kitab atau membacanya dari kitab orang-orang terdahulu.

Yang dikatakan Jibrīl kepada Muḥammad s.a.w. pada pertemuan yang pertama kali itu tidak terlepas dari wahyu Jibrīl dikirim Allah untuk menyampaikan firman-Nya:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5).

Dengan mu‘jizat-Nya itu Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa Rasūl-Nya yang ummi, Muḥammad s.a.w. akan diajari-Nya sendiri supaya dapat menjadi guru seluruh umat manusia hingga akhir jaman.

 

1. Tantangan Awal yang Dihadapi Muḥammad S.A.W.

Allah ta‘ala memilih Muḥammad s.a.w. yang sudah terkenal akan kejujurannya di kalangan kaumnya sebagai Rasūl-Nya. Muḥammad hidup di tengah-tengah kaumnya selama empat puluh tahun sebelum diutus sebagai Rasūl dan sebelum dibebani amanat membawa risalah. Selama itu kaumnya belum pernah mendengar atau menyaksikan beliau berbohong, sampai-sampai beliau diberi gelar oleh kaumnya dengan gelar al-Amin.

Akan tetapi setelah beliau dibebani amanat oleh Allah untuk membawa risalah, dan agar menyeru kaumnya dengan teran-terangan, tokoh-tokoh Quraisy merintanginya. Ini disebabkan karena mereka melihat dakwah Islam yang disebarkan Muḥammad dari hari ke hari semakin mencuat. Tentu saja cepat atau lambat ini akan mengakhiri pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka karena itulah sejak awal mereka mati-matian merintangi dakwah Muḥammad. Bagaimana mereka tidak khawatir, Islam menyamakan kedudukan budak dengan majikan dan menyamaratakan manusia. Islam tidak memandang derajat manusia dari warna kulit, keturunan dan darahnya tapi dari ketaqwaannya. Islam memberikan hak yang sama kepada semua orang, entah itu kepada bangsawan maupun harijan (Salah satu suku di India yang dianggap paling rendah bahkan tidak boleh disentuh oleh kasta lain.).

Pekik-pekik Islam yang senantiasa didengungkan Muḥammad kepada kaumnya terdengar keras dan memekakkan telinga tokoh-tokoh Quraisy. Mereka panik dan kalap. Karena itulah mereka berusaha menumpas ajaran yang dibawa Muḥammad s.a.w. dengan segala cara. Setelah dengan cara kompromi melalui perundingan tidak berhasil, mereka melakukan kekerasan dan memerangi kaum muslimin. Namun al-ḥamdulillāh, pada awal dakwahnya Rasūlullāh memiliki dua orang pelindung yang mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan kaumnya sehingga tokoh-tokoh Quraisy tidak gegabah “menindak”nya. Kedua orang yang amat menyayangi dan amat melindungi beliau itu adalah pamannya, Abū Thālib dan istri yang sangat mencintai dan membelanya, Khadījah binti Khuwailid r.a.

Khadījah adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang pandai memberikan ketenangan kepada suaminya tatkala suaminya gundah-gulana. Ia memberikan semangat dengan ucapan, cinta dan hartanya agar suaminya terus berjuang menegakkan al-ḥaqq. Apabila Rasūlullāh kembali ke rumah dengan hati galau dan pikiran kacau karena sikap dan tindakan kaum Quraisy, maka Khadījah segera menyambutnya dengan senyum dan wajah cerah seperti menyambut seorang ksatria yang baru pulang dari medan laga sehingga derita yang dialami Rasūlullāh lenyap sebelum senyuman istrinya berakhir.

Kaum Quraisy dan tokoh-tokohnya terus mencari jalan keluar dalam menghadapi agama yang dibawa Muḥammad, yang tampak jelas kedatangannya hendak merampas kekuasaan dan pengaruh duniawi mereka. Pikiran pertama yang muncul dalam benak mereka adalah menyuap Muḥammad dengan harta, tahta dan wanita dengan syarat beliau mau meninggalkan dakwahnya. Sebagai penyembah dunia, mereka mengukur Muḥammad s.a.w. dengan materi. Mereka mengira Muḥammad dapat ditaklukkan dengan dunia pula. Untuk itu mereka berunding dan berunding terus dalam mempersiapkan bujuk-rayu yang ampuh. Setelah usai berunding, maka mereka pun pergilah menemui Abū Thālib guna menyampaikan tawaran tersebut. Kata mereka: “Kalau anda membawa kisah itu untuk mendapatkan harta, kami akan mengumpulkan harta kami untuk anda sehingga anda akan menjadi orang terkaya di antara kami. Kalau anda meminta kekuasaan dan wibawa, kami pun akan mengangkat anda menjadi raja kami, dan kalau yang datang kepada anda itu (maksudnya: wahyu yang dibawa malaikat Jibrīl) suatu kekuatan jinn, maka kami akan mencarikan seorang tabib yang mahir untuk menyembuhkan anda dari gangguan jinn ‘Ifrit yang jahat itu.”

Namun ternyata, bujuk-rayu mereka tidak mengenai sasaran. Muḥammad sama sekali tidak terpengaruh oleh dunia yang ditawarkan mereka karena memang beliau datang untuk mengundang orang agar memperbanyak bekal perjalanan ke akhirat. Ini terbukti bahwa Muḥammad datang dan menyeru bukan untuk menggalakkan kaumnya agar memburu harta dan kesenangan duniawi karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki bagi manusia. Di sanalah manusia kekal abadi.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ، لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ.

“Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabūt: 64).

 

Ketika pamannya, Abū Thālib menyampaikan amanat kaumnya itu, Muḥammad s.a.w. menjawab dengan tegas: “Ya ‘Ammi! Wallāhi, kalau sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak akan menghentikan dakwahku ini hingga akhir hayatku.”

 

2. Upaya dan Siksaan yang Dilakukan Kafir Quraisy.

Dari hari ke hari pengikut Muḥammad semakin bertambah dengan pesat sehingga kaum Quraisy semakin geram kepadanya. Karenanya mereka terus berusaha mencari jalan lain untuk membendung arus dakwah Rasūlullāh s.a.w. Akhirnya mereka mendapat jalan hendak membuat para pengikut Muḥammad ragu dan tidak percaya dengan risalahnya. Kalau para pengikut Muḥammad sudah termakan hasutannya para tokoh Quraisy berharap mereka meninggalkan ajaran Muḥammad. Dengan begitu otomatis dakwah Muḥammad mengalami kegagalan. Peristiwa ini direkam Allah dalam al-Qur’ān-ul-Karīm yang tertuang dalam surat ar-Ra‘d ayat 43:

“Berkatalah orang-orang kafir: “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasūl.” Katakanlah (Muḥammad): “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu al-Kitāb.”

Demikianlah firman Allah dalam menjawab kebohongan orang-orang kafir. Karena itulah upaya pertama mereka masih belum berhasil, dan setelah itu mereka mencari upaya lain. Setelah cara membujuk dengan kenikmatan duniawi dan tipu-daya meragukan hati pengikutnya gagal, mereka akhirnya melakukan jalan pintas dengan kekerasan. Mereka berharap kekerasan ini bisa membuat Muḥammad dan pengikutnya jera. Maka mulailah tindakan kejam dan keji mereka lakukan terhadap para budak dan pengikut Muḥammad s.a.w. yang tidak mempunyai kabilah yang melindungi keselamatan mereka di wilayahnya sehingga banyak budak dan kaum mustadh‘afīn (kaum lemah) yang menjadi sasaran tindak kekerasan. Mereka tidak memiliki daya untuk melepaskan diri selain bersabar menghadapi ujian tersebut.

Sudah menjadi suratan takdir, para mustadh‘afīn itulah yang menjadi syuhada’ Islam pertama dalam mempertahankan aqidah. Keluarga Yasir yang baru datang dari negeri Yaman dan masuk Islam di Makkah merupakan korban pertama kekerasan yang dilakukan kaum kafir Quraisy. Abū Jahal berusaha keras memaksa keluarga Yāsir untuk kembali pada kemurtadan sebelum menyiksa dan membunuh mereka. Tapi ternyata, Yāsir, istrinya, Sumayyah dan putranya, ‘Ammār memilih lebih baik mati di jalan Allah daripada murtad dari Islam.

Mereka (Yāsir sekeluarga) dibawa ke gurun pasir di luar kota Makkah. Di situ mereka disiksa dengan berbagai teknik penyiksaan jahiliyyah. Pada saat dilakukan penyiksaan kebetulan Rasūlullāh s.a.w. melewati tempat itu. Betapa pilu hatinya karena pada saat itu beliau belum bisa melepaskan mereka dari cengkeraman kaum kafir yang keji. Tetapi Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada mereka:

صَبْرًا آلَ يَاسِرٍ، إِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ.

“Wahai keluarga Yasir, bersabarlah! Allah telah menjanjikan surga untuk kalian.”

Penyiksaan biadab itu berjalan terus dengan berbagai teknik jahiliyyah sehingga Yāsir dan Sumayyah menghembuskan nafas terakhirnya. Itulah keluarga syuhada’ yang pertama menumpahkan darahnya dan mempersembahkan nyawanya fī sabīlillāh, radhiyallāhu ‘anhum wa radhū ‘anhu.

 

3. Mengapa Tindak Kekejaman Kaum Kafir Terus Berlanjut?

Tindakan penyiksaan kepada semua orang yang beriman dengan risalah Muḥammad s.a.w. berjalan terus, tetapi tidak seorang mu’min pun yang mau murtad dari keimanannya. Bahkan keimanan mereka semakin kuat dan membaja. Mereka yang disiksa bahkan tidak gentar untuk terus mengulang-ulang kalimat tauhid: “Ahad…. Ahad…. Ahad. Allah Maha Satu, Allah Maha Satu!” Bahkan kalimat itu menjadikan goyah iman orang-orang kafir dari keberhalaannya.

Karena tindak kekerasan dan penyiksaan tidak berhasil membungkam mulut kaum mu’min maka mereka semakin bertindak keras dan ganas. Namun sementara itu, mata langit mengintai dengan cermat apa yang terjadi terhadap orang-orangnya yang tiada berdaya dan berdosa. Karena itulah Allah memberitahukan janji-Nya kepada Muḥammad s.a.w.

“Golongan (orang kafir/musyrik) itu akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar”: 45).

Rasūlullāh s.a.w. membacakan ayat itu di depan para sahabatnya. Lalu ‘Umar bertanya: “Golongan yang mana, ya Rasūlullāh? Bukankah jumlah kami masih sedikit, lemah dan terhina?” Tetapi beberapa tahun kemudian, dalam perang Badar melawan kaum kafir, pasukan kaum muslimin dapat mengalahkan mereka padahal jumlah personil dan perlengkapan senjata kaum kafir jauh lebih besar dan lebih canggih dibanding yang dimiliki kaum muslimin. Pada perang Badar lebih dari tujuh puluh orang tokoh kaum kafir Quraisy tewas dan sebanyak itu pula jumlah pasukan kafir yang dapat ditawan kaum muslimin.

Mendapatkan kenyataan ini ‘Umar bin Khaththāb r.a. berdiri tertegun. Dia teringat akan janji Allah ta‘ālā yang pernah disampaikan Rasūlullāh kepadanya. Tiba-tiba dia berkata: “Nanti gerombolan kaum kafir akan dikalahkan dan mereka akan melarikan diri. Maha Benar Engkau, Ya Rabbku!”

Dari uraian peristiwa-peristiwa di atas, kini timbul pertanyaan, apakah Allah s.w.t. tidak mampu memenangkan agama dan rasul-Nya sejak awal dakwah? Apakah Allah tidak berkuasa menjadikan tokoh-tokoh Quraisy sebagai orang pertama yang memeluk Islam?

Sesungguhnya Allah s.w.t. ingin menunjukkan bahwa orang-orang muslim yang pertama adalah orang-orang teladan dalam keimanannya. Mereka tidak mudah tergoda dunia, tidak tergiur oleh harta dan wanita, tidak terbujuk kuasa dan mahkota, serta tidak menyerah selain kepada kehendak Allah s.w.t. Karena itulah Allah membuat mereka sedikit jumlahnya, sedikit harta-bendanya dibandingkan dengan yang dimiliki lawan-lawannya. Dalam masyarakat mereka tergolong rendah dan lemah. Dengan adanya ujian dari Allah tersebut maka otomatis orang-orang yang mau masuk ke dalam ad-Dīn-ul-Ḥaqq tersaring ketat. Yang masuk ke dalamnya hanyalah orang-orang yang benar-benar ikhlas dan jujur, yang siap mengorbankan harta dan sanak-keluarganya, bahkan rela mati demi menegakkan kalimat-Nya. Karena itulah, kaum muslimin generasi pertama mendapat amanat dari Allah untuk membawa dan menyebarkan ajaran-Nya ke seluruh pelosok dalam keadaan bersih dan murni. Ad-Dīn-ul-Ḥaqq tidak boleh tercemar dengan ambisi dan pamrih duniawi. Karenanya, pikiran dan qalbu kaum muslimin generasi pertama harus dibersihkan dari kepentingan-kepentingan duniawi meskipun hanya sebesar dzarrah. Merekalah yang membuka pintu negara dunia dan mempersembakan warisan Rasūlullāh s.a.w. kepada seluruh umat manusia. Merekalah yang akan membuka pintu negara dan istananya. Kalau saja pikiran dan qalbunya sudah terkotori oleh ambisi dan kecintaan pada dunia tentu dakwah sudah berakhir pada awal langkah mereka.

Kalau panji Islam dikibarkan pertama-tama oleh seorang tokoh dunia, oleh seorang hartawan, atau seorang pejabat, tentu banyak orang yang menyambutnya dengan antusias tapi dengan berbagai cara nifaq dan riya’. Tentu orang akan menyambut seruan mereka karena ingin “mengambil hati”nya, seperti yang dilakukan kaum munafiq yang mengipas-ngipas dan meniup-niup para penguasa dunia lainnya. Mereka memasuki agama ini karena ada kepentingannya, tapi juga akan segera meninggalkannya bila ada ujian menghadang.

Karena itulah, maka Allah membebankan medan dakwah ad-Dīn-Nya pada orang-orang yang Dia benar-benar Maha Tahu akan keikhlasan dan keteguhannya. Allah ta‘ālā amat sangat tidak ingin ad-Dīn-Nya dibawa oleh orang-orang munafiq. Tentu mereka akan menjadikan ad-Dīn itu sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Tentu mereka akan melakukan transaksi kepada siapa yang sanggup membayar lebih tinggi. Tidak! Allah sama sekali tidak menginginkan hal itu. Allah hanya ingin yang membawa ad-Dīn-Nya adalah orang-orang yang benar-benar beriman, yang tidak mau memperjual-belikan ad-Dīn-Nya dan menukarnya dengan dunia. Allah menghendaki orang-orang yang lebih takut kepada-Nya daripada kepada orang lain. Mereka yang dengan gagah-berani memaklumkan kalimat kebenaran tanpa rasa takut dan ngeri kepada siapapun selain kepada Allah. Yang tidak mudah tergelincir dan tertipu oleh kesenangan duniawi yang sementara.

 

Karena itulah, tahun-tahun pertama pengembangan Islam dapat disebut juga sebagai tahun-tahun penyaringan dan pembersihan keimanan yang jujur. Pada waktu itu orang yang memeluk Islam tidak memperoleh kesenangan dunia sedikitpun, bahkan mereka memperoleh sebaliknya. Mereka dikejar-kejar dan disiksa dengan perbagai siksaan baik fisik, moral dan mentalnya. Namun karena iman yang mendekam dalam lubuk hatinya bukan iman orang-orang munafiq, maka mereka menerima semua resiko itu dengan sabar dan tawakkal. Itulah kiranya yang dikehendaki Allah s.w.t.

Aqidah yang jujur tidak hanya diucapkan dengan kata-kata, akan tetapi dibuktikan dengan amaliyah yang ikhlas. Ujian praktek merupakan bukti hakiki dari apa yang terpendam dalam lubuk jiwa manusia. Karena itulah, Allah ta‘ālā senantiasa meminta bukti dari orang yang telah menyatakan keislamannya dan menjadi prajurit ad-Dīn-Nya lewat firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوْا وَ لَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَ لَمْ يَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَ لَا رَسُوْلِهِ وَ لَا الْمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً وَ اللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (at-Taubah: 16).

Demikianlah kisah awal bergerak dan berkembangnya Islam, dan begitulah kaum muslimin generasi pertama menghadapi ujian berat berupa penyiksaan, peperangan dan bahkan pembunuhan sebagai konsekuensi logis dari keimanannya. Itulah salah satu bukti yang harus mereka perlihatkan sebagai jundullāh, sebagai penyandang amanat dakwah yang harus mengumandangkannya ke seluruh penjuru. Itulah juga yang diinginkan Allah ta‘ālā dari kaum muslimin untuk ad-Dīn-Nya supaya tetap bersih dari tangan orang-orang munafiq yang imannya rapuh sehingga penyandang ad-Dīn ini hanya terdiri dari orang-orang yang imannya kuat dan keikhlasannya tinggi, yang tahan bantingan dan ujian seperti yang dikehendaki-Nya.

Rasūlullāh s.a.w. dan kaum muslimin (generasi pertama) yang menyertainya sudah cukup berat menerima ujian. Ketabahan mereka sudah cukup tinggi. Maka pantaslah bila Allah ta‘ālā menyatakan mereka Radhiyallāhu ‘anhum wa radhū ‘anhu. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun telah menyatakan ridha kepada Allah. Setiap kali menghadapi gangguan dan rintangan berat dari musuh-musuhNya, setiap itu pula keimanannya kepada Allah dan kepada janji-janjiNya semakin kuat dan keras. Dari tangan merekalah kita menerima warisan itu dalam keadaan putih-bersih karena qalbu mereka yang suci-murni.

 

 

 

3. Kaum Kafir Quraisy Semakin Kalap.

Dari hari ke hari kaum kafir Quraisy semakin kalap dan menggila. Mereka pergi ke Abū Thālib, paman Muḥammad s.a.w., memohon dengan sangat agar Muḥammad meninggalkan dakwahnya. Maka terjadilah dialog antara Muḥammad s.a.w. dengan pamannya. Rasūlullāh bersikeras tidak mau berkompromi dalam menyebarkan dakwah, apapun resiko yang dihadapinya. Ini merupakan puncak keimanan yang tidak mungkin digeser dan digoyahkan sedikitpun. Akhirnya pamannya menyerahkan masalah itu sepenuhnya kepada beliau. Katanya: “Kalau begitu terserah apa kehendakmu, wahai putra saudaraku. Demi Allah, aku tidak akan menekanmu untuk tunduk kepada apa yang tidak engkau kehendaki!”

Abū Thālib kemudian meminta kepada keluarga Bani Hāsyim dan keluarga Bani ‘Abd-ul-Muththalib supaya mereka bersedia melindungi Muḥammad dari tindakan jahat Quraisy. Ternyata seruannya itu mendapat sambutan spontan, kecuali dari Abū Lahab, paman Rasūlullāh yang memusuhi Islam dengan amat sangat.

Demikianlah, dalam menghadapi tindakan keji dan ancaman jahat dari kaum Quraisy, Rasūlullāh mendapat perlindungan dari kedua keluarga dekatnya (dari satu pihak), dan dari pihak lain pun, yakni dari istri tersayangnya, Khadījah, beliau mendapat dukungan dan perlindungan yang tiada duanya. Khadījah berhasil memberikan ketenangan di rumah. Tidak itu saja. Dia juga mendorong dan menunjang perjuangan Rasūlullāh dengan harta, dengan ucapan yang menentramkan dan membangkitkan semangat, dan tentu saja dengan segenap cintanya.

Sementara itu, tentu baiknya. Abū Bakar yang termasuk hartawan berusaha keras membeli hamba sahaya yang masuk Islam agar mereka terlepas dari tindakan kejam dan keji majikan-majikannya.

Rasūlullāh s.a.w. yang mendapat perlindungan dari Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib tidak terlepas dari tindakan brutal kaumnya. Kadang-kadang di jalanan yang dilewatinya, kaum Quraisy meletakkan kotoran hewan atau rintangan berduri untuk melukai beliau. Bahkan ketika sedang shalat di Ka‘bah terkadang Rasūlullāh disirami kotoran hewan dari belakang. Tetapi semua makar itu dihadapi beliau dengan penuh kesabaran dan dengan akhlak luhur.

Ketika gangguan kaum kafir Quraisy sudah tidak tertahankan lagi, Rasūlullāh memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Ḥabasyah guna melarikan diri dari kezaliman dan menyelematkan agamanya dari kebuasan orang-orang jahil. Namun pada saat itulah Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib masuk Islam, dan tak lama kemudian menyusul ‘Umar bin-ul-Khaththāb. Di kota Makkah kedua tokoh itu termasuk orang yang disegani dan ditakuti karena kekuatannya, kegagahannya, dan keberaniannya dalam medan pertempuran. ‘Umar bin Khaththāb pulalah yang pertama berani shalat di serambi Makkah. Sebelumnya kaum muslimin bila melakukan shalat hanya di Syi‘ab Makkah karena takut dari tindakan jahat kafir Quraisy. Maka pada waktu itu juga Rasūlullāh s.a.w. mulai menyeru, memperkenalkan dan mengajak para kabilah yang datang ke Makkah (baik yang bertujuan hendak berhaji, ber‘umrah atau berdagang) untuk menganut dan memeluk Islam.

Kaum kafir Quraisy semakin takut melihat perkembangan Islam yang sudah mulai dikenal oleh orang luar kota Makkah. Mereka mulai kalap dan menuduh Muḥammad s.a.w. dengan berbagai tuduhan murah. Mereka menuding Muḥammad sebagai seorang penyihir, penyair, peramal ulung dan bermacam-macam tuduhan palsu yang justru menjatuhkan nama mereka sendiri.

Kalau Rasūlullāh s.a.w. memang seorang penyihir, tentu ia mampu menyihir tokoh-tokoh Quraisy sebab bukankah orang yang disihir tidak punya kemampuan melawan si penyihir? Kalau Rasūlullāh memang seorang penyair, tentu sejak mudanya dia sudah terkenal sebagai penyair, tidak menunggu sesudah usianya mencapai empat puluh tahun untuk mendendangkan syair-syairnya. Dan kalau dia seorang peramal yang bisa menyusun Qur’ān tentu susunan yang dilakukannya selama dua puluh tiga tahun itu akan banyak berselisih satu dengan yang lainnya. Karena itulah Allah menjelaskan lewat firman-Nya:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ān? Kalau sekiranya al-Qur’ān itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisā’: 82).

 

4. Datangnya Dukungan dari Allah ta‘ālā.

Segala upaya kaum kafir dan musyrikin untuk mematahkan dan mengendorkan semangat dakwah tidak berhasil. Dakwah Rasūlullāh s.a.w. berjalan terus mengembangkan sayap dan memperluas jaringannya. Seluruh anggota keluarga Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib (kecuali Abū Lahab) kompak membela dan melindungi Muḥammad dari gangguan kaum Quraisy. Lantas bagaimana dan upaya apa yang dilakukan kaum kafir Quraisy?

Kaum kafir Quraisy tidak mau terpaku diam menyaksikan perkembangan dakwah Muḥammad s.a.w. Bahkan kebencian di hati mereka semakin menjadi-jadi. Mereka berunding kembali dan akhirnya memutuskan untuk mengadakan pemboikotan terhadap keluarga Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib beberapa tahun lamanya sehingga Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya, termasuk para pelindungnya menderita kelaparan yang tiada tara, sampai-sampai mereka memakan daun-daunan.

Dalam sidang perundingan yang diputuskan secara formal dalam bentuk tertulis, mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka akan memboikot secara ketat Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Maththalib. Mereka tidak mengadakan hubungan jual-beli, kawin-mengawini, dan transaksi lain dengan kedua Bani tersebut. Surat pernyataan itu mereka gantung di dalam Ka‘bah.

Setelah tiga tahun pemboikotan dan pengepungan berjalan kaum muslimin tetap bertahan dengan keprihatinan mereka, padahal semula kaum Quraisy mengira dengan adanya pemboikotan kedua Bani tersebut akan meninggalkan Muḥammad dan Islam. Tetapi ternyata tidak. Bahkan surat keputusan rapat yang digantungkan mereka di dalam Ka‘bah telah habis dimakan rayap, tinggal tulisan yang berbunyi: Bismika Allāhumma (Dengan nama-Mu, Ya Allah) saja yang masih utuh.

Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan wahyu Rabb-ul-‘Ālamīn kepada pamannya, Abū Thālib bahwa Allah ta‘ālā telah mengirim pasukan rayap untuk memusnahkan surat pernyataan persekongkolan jahat itu, kecuali yang bertuliskan nama Allah saja yang tidak dimusnahkan-Nya. Abū Thālib menyampaikan keterangan keponakannya kepada kaum kafir Quraisy bahwa naskah (shaḥīfah) persekongkolan jahat itu tidak mendapat restu Allah, dan kini sudah dimusnahkan-Nya. Setelah kaum kafir Quraisy membuktikan hal itu maka akhirnya pemboikotan itupun dihentikan.

Namun penghentian pemboikotan itu bukan berarti pikiran jahat mereka sudah pulih. Beberapa bulan kemudian Rasūlullāh s.a.w. dikagetkan dengan terjadinya dua musibah besar dalam tahun itu yaitu wafatnya paman yang disayangi dan menyayanginya (Abū Thālib) dan istri tercintanya yang selalu siap melindungi dan mendukungnya, Khadījah. Rasūlullāh s.a.w. amat berduka dengan kepergian kedua orang itu sampai-sampai beliau menyebutkan tahun tersebut sebagai ‘Ām-ul-ḥazn (tahun kesedihan). Kini yang benar-benar dapat beliau harapkan baik di luar maupun di dalam rumah, hanyalah perlindungan dan kasih sayang Allah semata.

Setelah beliau kehilangan perlindungan paman dan istrinya, kaum Quraisy semakin berani dan brutal menghadang dirinya dan para sahabatnya. Gangguan Quraisy seakan tak pernah henti, bahkan semakin menjadi-jadi. Tetapi semua itu masih beliau hadapi dengan keteguhan, ketabahan, dan kesabaran. Namun akhirnya, sebagai manusia biasa, Rasūlullāh s.a.w. tidak tahan lagi dengan kekejaman Quraisy. Maka kemudian beliau keluar seorang diri ke negeri Thā’if dengan harapan di sana beliau bisa membujuk kabilah Bani Tsaqīf untuk memberikan perlindungan dan pembelaan dari keganasan kafir Quraisy. Tetapi sesampai di sana malah Rasūlullāh s.a.w. mendapatkan caci-maki dan lemparan batu dari orang-orang jahil sehingga kedua kaki beliau luka-luka. Untuk menghindari lemparan batu Rasūlullāh s.a.w. berlari hingga sampailah ia di sebuah kebun kepunyaan tiga orang bersaudara tokoh Thā’if, yakni ‘Utbah dan Syaibah bin Rabī‘ah. Nabi s.a.w. duduk berteduh di bawah pohon. Rasūlullāh s.a.w. sedih sekali memikirkan bagaimana kejam dan bodohnya hamba Allah menyambut dakwahnya padahal justru seruannya itu hendak menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.

            Rasūlullāh s.a.w. sudah berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin mengumandangkan dakwahnya, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Beliau telah berusaha meningkatkan kesabaran dan ketabahan. Sejak awal diberikan tugas tersebut beliau sudah menyatakan siap dan rela mati. Amanat penyampaian sudah dilakukan beliau dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Semua daya sudah ditempuh untuk mensukseskannya tanpa mengindahkan beratnya gangguan dan angkernya medan. Akan tetapi apa daya, sebagai seorang manusia yang dha‘if menghadapi angkara murkanya jahiliyyah. Tidak ada jalan lain di hadapannya selain mengangkat kedua tangan ke atas, menyerahkan diri dan kedha‘ifannya kepada Allah Maha Kuasa. Hanya kepada-Nya beliau mengeluhkan kezhaliman dan kejahilan penduduk bumi. Beliau mengadu kepada Allah.

            “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengeluhkan lemahnya kekuatanku, kurangnya dayaku, dan kehinaanku di mata orang-orang jahil. Ya Allah, ya arḥam-ar-Rāḥimīn, Engkaulah Pemelihara orang-orang mustadh‘afīn, dan Engkaulah Pemeliharaku. Kepada siapa gerangan Engkau telah melepaskan daku? Apakah kepada orang jauh yang memandangku dengan muka masam, atau kepada musuh yang sudah berhasil menguasai keadaanku? Namun, jika Engkau tidak gusar kepadaku, aku tidak peduli. Akan tetapi ampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan nur cahaya wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan dan mengendalikan masalah dunia dan akhirat. Jangan sampai aku terkena marah-Mu atau tertimpa murka-Mu. Hanya kepada-Mu aku mengeluhkan diri sehingga Engkau ridha. Wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.”

Kiranya dukungan langit memang sangat dibutuhkan Muḥammad s.a.w. untuk membuktikan kepadanya bahwa apabila penduduk bumi meninggalkannya, maka Allah ta‘ālā dan seluruh penghuni langit akan menyambutnya dengan mesra dan meriah. Allah telah berjanji kepadanya bahwa Dia tidak akan membiarkan rasul-Nya menderita duka-nestapa terus-menerus. Karena itulah Allah berfirman kepada beliau:

وَ اصْبِرْ وَ مَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللهِ وَ لَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَ لَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ. إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّ الَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ.

“Bersabarlah (hai Muḥammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Naml: 127-128).

            Setelah di Thā‘if, Rasūlullāh s.a.w. kembali lagi ke Makkah seorang diri seperti pada waktu ia keluar meninggalkan kota itu. Berita tentang adanya Rasūlullāh s.a.w. di Thā‘if sudah sampai terlebih dahulu kepada kaum Quraisy sebelum beliau tiba di Makkah. Gangguan mereka terhadap Rasūlullāh s.a.w. semakin meningkat.

 

Isra’ Mi’raj Malam Yang Berkeberkahan

Pada malam yang berkeberkahan dukungan langit pun datanglah, dan waktu itulah sebuah mu‘jizat besar terjadi pada diri Rasūlullāh, yaitu Mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj.

 

Sebelum memulai pembicaraan tentang Isrā’ dan Mi‘rāj Rasūlullāh, terlebih dahulu perlu memaparkan ayat pertama dari surat al-Isrā’ untuk anda renungkan:

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا.

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada malam hari Masjid-il-Ḥarām (di Makkah) ke Masjid-il-Aqshā (di Bait-ul-Maqdis).” (QS. al-Isrā’: 1).

Surat tersebut dimulai dengan kata Subḥāna, yang artinya Maha Suci Allah. Ini suatu ucapan pemujaan terhadap kemahaan Allah yang tiada bandingnya dalam berbagai sifat dan perbuatan-Nya. Suatu pemujaan terhadap pemujaan-Nya yang mutlak dari kekurangan dan ketidakberdayaan melakukan apapun. Allah s.w.t. ada, anda pun ada kini. Tetapi apakah keberadaan anda sama dengan keberadaan Allah ‘azza wa jalla?

Allah s.w.t. mendengar, dan anda pun mendengar. Tetapi apakah pendengaran anda sama dengan pendengaran Allah ta‘ala? Allah memiliki dzat, dan anda pun memiliki. Namun, mungkinkah kedua dzat itu diperbandingkan?

 

1. Pelakunya Allah SWT.

Dari hal tersebut, di atas itulah titik tolak terjadinya mu‘jizat ini. Kalau pelakunya Allah ta‘ālā, maka tidak mungkin memperbandingkannya dengan apa yang dilakukan manusia. Segala yang dilakukan Allah ada di luar daya kekuatan manusia dan di atas daya jangkau akal manusia. Karena itulah, kalau Allah ta‘ālā melakukan apapun jangan anda bertanya karena daya jangkau akal anda tidak akan dapat menjangkau berbagai rahasia perbuatan-Nya. Allah s.w.t. melakukan apa yang dikehendaki-Nya tanpa dibatasi oleh berbagai hukum karena Dialah yang menciptakan hukum. Allah tidak membutuhkan hukum kausalitas karena Dia sendirilah yang menciptakan sebab dan akibat.

Allah ta‘ālā tiada tara dan tidak ada yang menyamai-Nya. Semua makhluk-Nya tunduk kepada kehendak-Nya. Akan tetapi Dia tidak tunduk kepada kehendak makhluk-Nya karena dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya dia atas semuanya. Karena itulah semua ayat-ayat Allah tidak tunduk kepada berbagai hukum alam.

Allah ta‘ālā telah memberikan contoh yang banyak sekali tentang itu. Dia telah membatalkan berbagai hukum yang berlaku terhadap para rasul dan nabi-Nya sebagai mu‘jizat untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawa mereka.

Api memiliki sifat membakar. Namun, ketika orang kafir menangkap dan melempar Ibrāhīm a.s. ke dalam api ternyata api berubah sifat menjadi dingin, khusus untuk Ibrāhīm. Allah ta‘ālā tidak menyuruh Ibrāhīm bersembunyi atau lari dari kaumnya atau diturunkan hujan lebat ketika mereka hendak membakarnya. Kalau Allah ta‘ālā melakukan demikian tentu kaum kafir akan mengolok-olok Ibrahim dengan ucapan: “Kalau Ibrāhīm tidak bersembunyi atau tidak ada hujan tentu sudah hangus terbakar.” Akan tetapi Allah tidak melakukan demikian. Allah membiarkan Nabi Ibrāhīm tertangkap dan dibakar. Di balik peristiwa ini tentu ada hikmah mahatinggi yang hendak diperlihatkan-Nya kepada umat-Nya yang ingkar. Api yang berkobar-kobar tidak mampu membakar tubuh Ibrāhīm a.s. Ini disebabkan karena pada waktu itu Allah, Pencipta api memerintahkan kepada api-Nya seperti yang tertulis dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:

يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَ سَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ.

“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrāhīm.” (QS. al-Anbiyā’: 69).

Demikianlah Allah ta‘ālā mengangkat sifat api yang membakar itu bagi rasul-Nya, Ibrāhīm. Tentun tidak ada seorangpun, yang bisa bertanya bagaimana hak tersebut dapat terjadi karena semua di luar jangkauan daya pikir manusia. Namun ada pula orang yang memaksakan diri menanyakan dan menganalisa hal tersebut. Kami yakin, pasti dia tidak akan menemukan jawaban yang diinginkannya karena mu‘jizat itu perbuatan Allah ta‘ālā. Mu‘jizat diciptakan Allah di atas tingkat akal dan pikiran manusia. Walaupun sampai hari kiamat, manusia tetap tidak akan bisa menemukan jawaban sesuai yang diinginkan dan dijangkaunya. Begitu pula halnya dengan mu‘jizat yang diberikan Allah kepada Mūsā a.s. ketika ia dan pengikutnya melarikan diri dari pasukan Fir‘aun. Fir‘aun dan pasukannya berada di belakang (mengejar Nabi Mūsā). Lautan membentang di hadapan Mūsā dan kaumnya. Ketika berjalan mereka melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan barisannya sehingga kaum Nabi Mūsā menggigil ketakutan.

            Di dalam al-Qur’ān-ul-Karīm Allah ta‘ala menuangkan riwayat abadi ini lewat untaian firman-Nya:

فَلَمَّا تَرَاءَا الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوْسَى إِنَّا لَمُدْرَكُوْنَ.

“Maka tatkala kedua belah pihak (pasukan Fir‘aun dan kaum Nabi Mūsā) saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Mūsā: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (QS. asy-Syu‘arā’: 61).

Sebagai manusia perkataan kaum Nabi Mūsā itu tidak salah karena mereka hanya menggunakan akal dan logika. Akan tetapi, Mūsā sebagai Nabi Allah yang diutus oleh-Nya yakin dengan sepenuh keyakinan bahwa hukum kausal tidak berlaku sendiri, pasti ada yang memberlakukannya. Karena itulah ketika kaumnya cemas dan ketakutan melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan mereka. Mūsā menjawab dengan tegas:

قَالَ كَلَّا، إِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ.

“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. asy-Syu‘arā’: 62).

Mūsā begitu yakin kalau Allah tidak akan membiarkan dia berjuang sendirian tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Dan ternyata, pada saat-saat seperti itu datanglah dukungan dari Allah yang mewahyukan agar dia memukul tongkatnya ke lautan.

فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوْسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ، فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ.

“Lalu Kami wahyukan kepada Mūsā: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. asy-Syu‘arā’: 63).

Mūsā yakin, bila ikhtiyar bumi sudah menemui jalan buntu, maka Pencipta ikhtiyar akan datang dengan mu‘jizat yang mempesona. Tidak seorang pun yang bisa memukul laut dengan tongkat lalu laut itu terbelah dan bagaikan dua buah gunung yang menjulang tinggi.

Begitu pula dengan mu‘jizat ‘Īsā a.s. ketika dia menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang berpenyakit kulit (belang), memulihkan orang buta, menurunkan hidangan dari langit, dan sebagainya. Semua dilakukan dengan mu‘jizat Allah ta‘ālā. Pencipta sebab akibat. Anda tidak akan menemukan orang yang bisa yang menghidupkan orang mati atau menyembuhkan orang sakit seperti itu hanya dengan isyarat saja. Semua pekerjaan tersebut tidak ada penjelasan analisanya karena memang bukan orangnya yang melakukan dan menciptakan pekerjaan itu, tetapi atas kemahakuasaan Allah ta‘ālā semua pekerjaan itu terjadi. Karena itu dalam al-Qur’ān-ul-Karīm kita sering kali menemukan kata Subḥāna dalam melukiskan kemahakuasaan Allah. Akal manusia tidak mampu memikirkan dan menjangkaunya sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya.

سُبْحَانَ الَّذِيْ خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ مِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ.

“Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yāsīn: 36).

            Mustahil manusia dapat mengetahui rahasia penciptaan, baik penciptaan langsung dari Allah maupun melakukan hukum kausalitas lelaki dan perempuan. Yang pasti, rahasia kehidupan itu hanya diketahui oleh Allah ta‘ālā. Karena itulah adakalanya Allah membukakan ilmu-Nya kepada manusia sehingga kita bisa menciptakan berbagai hal di dalam alam ini, seperti membuat pesawat luar angkasa yang bisa membawa manusia ke bulan, membuat otak elektronik atau komputer yang bisa menggerakkan suatu unit perusahaan, dan sebagainya. Namun yang jelas segala sesuatu tetap pada tingkat penciptaannya, tidak berubah, bentuknya tidak berbeda. Manusia manapun tidak akan mampu membuat sesuatu yang namanya berpasang-pasangan dalam arti yang sebenarnya, yang produknya berkembang dan membesar terus. Karena itulah, dengan kata Subḥāna dalam firman-Nya seolah-olah Allah hendak mengatakan kepada kita bahwa akal manusia akan terhenti hanya sampai di situ, tidak akan mampu melampauinya!

 

2. Arti “Subḥāna”.

Dalam al-Qur’ān-ul-Karīm kata Subḥāna acapkali dipakai ketika menyebutkan sesuatu yang mempesona, luar biasa, dan merupakan kemu‘jizatan. Karena itulah ketika anda mendengarkan firman Allah s.w.t. hendaknya mengetahui bahwa ini merupakan pensucian terhadap Allah. Kerja yang telah dikerjakan-Nya tidak mungkin dikerjakan siapapun, selain oleh Allah ‘azza wa jalla.

Subḥāna adalah kata nama dan semua nama Allah. Subḥāna menandakan pada ketetapan yang berkesinambungan, seolah-olah Allah Maha Suci sebelum Dia menciptakan makhluk yang akan mensucikan-Nya.

Firman Allah s.w.t.:

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا.

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada suatu malam…..” (QS. al-Isrā’: 1).

Dalam firman-Nya di atas, Allah benar-benar menginginkan kita mengetahui bahwa mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj tidak terjadi oleh kekuatan Muḥammad s.a.w. yang manusia. Karenanya surat tersebut dimulai dengan firman-Nya: Subḥānalladzī asrā…., yang artinya: “apapun yang akan terjadi sesudah itu dikaitkan pada kekuatan-Nya semata.”

Apabila saya mengatakan kepada anda bahwa saya hendak pergi dari Mesir ke Iskandaria dengan kereta api, dan tentu saya juga hendak pergi ke sana dengan pasawat terbang, dan teman saya lainnya juga hendak pergi ke sana dengan pesawat jet tentu hal ini ada perbedaannya. Perbuatan yang dilakukan saya dan kedua teman saya memang sama, hendak pergi ke Iskandaria. Akan tetapi kekuatannya berbeda-beda. Perjalanan saya dengan kereta api tentu memakan waktu berjam-jam, sedangkan teman saya bisa mencapainya hanya dalam waktu setengah jam karena menggunakan pesawat terbang. Terlebih-lebih teman saya yang satunya lagi. Dia pasti lebih cepat sampai ke Iskandaria karena menggunakan pesawat jet yang dapat mengantarkannya ke Iskandaria hanya dalam beberapa menit.

Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa perbuatan senantiasa sesuai dengan kekuatan pelakunya. Dengan demikian, jika Allah ta‘ālā berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, ini berarti perjalanan Isrā’ dan Mi‘rāj merupakan perbuatan Allah ta‘ālā yang berada di atas kekuatan akal untuk dipikirkan.

Karena itu seorang ‘Arab yang mempertanyakan dengan nada mengolok-olok dan penuh tanda hanya besar kepada Rasūlullāh s.a.w. setelah beliau menceritakan kisah Isrā’ dan Mi‘rāj, hal itu menandakan bahwa dia tidak memahami mu‘jizat.

 

Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah berkata: “Aku telah pergi ke sana”, akan tetapi beliau selalu mengatakan: “Aku telah diperjalankan ke sana.” Siapa yang memperjalankannya ke sana? Tentu saja Allah ta‘ālā yang melakukan semua itu. Karenanya, ketika kaum kafir Quraisy menasabkan mu‘jizat ‘Isrā’ pada kekuatan manusia, mereka lupa pada kekuatan Allah ta‘ālā. Mereka lupa bahwa Muḥammad tidak pernah mengatakan: “Saya telah Isrā’ ke Bait-ul-Maqdis.” Beliau selalu mengatakan bahwa dirinya di-isrā’-kan ke Bait-ul-Maqdis. Maka dari itulah, seyogianya kita memperhatikan benar kekuatan Pelaku dan kelakuan-Nya. Jangan membandingkan mu‘jizat dengan perbuatan dan kekuatan manusiawi kita.

 

3. Hakikat Penggunaan Kata “‘Abdihi” dalam Surat al-Isrā’.

Dalam surat al-Isrā’ ayat satu Allah ta‘ala berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. Allah tidak mengatakan rasul-Nya karena memang semua yang selain dari Allah, yang ada di dalam alam-Nya adalah hamba-Nya. Kita semua adalah hamba-Nya, baik yang taat maupun yang tidak taat, yang mu’min maupun yang kafir. Namun dalam ayat-ayatNya biasanya yang Allah katakan hamba-Nya adalah hamba-Nya yang ikhlas, pilihan dan yang senantiasa menyatu dengan metode Ilahi. Segala sesuatu yang diperintahkan Allah segera dilaksanakan dan segala yang dilarang-Nya dijauhi dan dihindari, sami‘nā wa atha‘nā! Karena itulah dalam al-Qur’ān yang ikhlas dan berakhlak, Allah tidak menamakannya “‘abīd”, tetapi ‘ibād, seperti dalam firman-Nya:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Namun dalam surat al-Isrā’ Allah menggunakan kata ‘abdihi (yang sepadan dengan kata ‘ibād). Ini dimaksudkan untuk menarik perhatian kita pada dua hakikat penting yaitu:

PERTAMA. Peritstiwa Isrā’ terjadi dengan rohani dan jasmani, bukan sekedar suatu mimpi dalam tidur. Isrā’ merupakan suatu peristiwa hakiki yang dialami Rasūlullāh s.a.w. dalam keadaan sadar, terjaga, dan dapat diinderanya. Kata ‘abdun dalam istilah bahasa hanya digunakan pada rohani dan jasmani secara bersamaan.

Telah terjadi perdebatan sengit antara orang-orang yang mendengarkan kisah Rasūlullāh s.a.w. Namun justru hal ini lebih memperkuat lagi. Ini menandakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. perjalanan Isra’ dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur atau bermimpi. Kalau perjalanan itu suatu mimpi, siapa yang akan memperdebatkannya? Apa ada orang yang memperdebatkan mimpi orang tidur? Jelas tidak ada!

 

Kalau anda berkata: “Saya pergi ke Amerika dan kembali ke Mesir dalam 20X semalam”, apakah ada orang yang akan mendustakan mimpi anda itu? Jelas tidak juga! Apa yang terjadi dalam mimpi tidak bisa ditundukkan oleh akal dan disesuaikan dengan hukum logika, seperti mimpi raja di zaman Nabi Yūsuf a.s. yang diuraikan dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:

“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dari tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka, terangkan kepadaku tentang ta‘bir mimpiku itu jika kamu dapat mena‘birkan mimpi.” (Yūsuf: 43).

Apakah mimpi yang diucapkan raja itu sesuai dengan akal dan logika? Adakah sapi makan sapi? Siapa di antara kita yang pernah melihat sapi memakan sapi lainnya? Jelas tidak ada! Kalau sekiranya memang ada, mungkinkah sapi yang kurus memakan sapi yang gemuk, atau sebaliknya yang lebih sesuai dengan logika?

Tidak seorang pun yang pernah melihat sapi makan sapi. Akan tetapi, ketika Raja (dalam ayat di atas) menceritakan mimpinya kepada para wazir dan hulubalangnya, dan ketika dia meminta untuk menta’wilkan mimpinya itu, apakah orang yang mendebatnya? Tidak ada, karena mimpi tidak bisa didebat dengan akal dan logika. Lagi pula mimpi tidak tunduk pada hukum kausalitas manusia. Karenanya para wazir dan hulubalang hanya berkata: “(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta‘birkan mimpi itu.” (Yūsuf: 44).

Mereka sama sekali tidak mendebat mimpi raja tersebut. Begitu pula halnya orang dalam menilai mimpi siapapun. Namun dalam menilai mu‘jizat Isrā’ terjadi perdebatan. Mereka mempertanyakan, bagaimana mungkin Rasūlullāh s.a.w. menempuhnya dalam semalam, padahal kami menempuh perjalanan itu dengan unta dalam jangka waktu sebulan.

Terjadinya perdebatan itu menandakan bahwa perjalanan Isra’ dilakukan Rasūlullāh s.a.w. dengan rohani dan jasmaninya, seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. Firman-Nya ini dipaparkan Allah untuk mengukuhkan bahwa peristiwa Isra’ terjadi dengan ruh dan jasad Rasūlullāh s.a.w.

KEDUA. Hakikat penting kedua yang tersirat dari kata ‘abdihi adalah Allah ta‘ālā ingin menyatakan kepada kita bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi yang bisa dicapai manusia. Pengabdian kepada Allah merupakan suatu kemuliaan yang tiada tara, dan suatu karunia yang tiada duanya. Apabila kita membaca surat al-Kahfi maka kita akan menemukan firman-Nya yang mengungkapkan pertemuan Mūsā dan pembantunya dengan Khidhir:

“Lalu mereka (Mūsā dan pembantunya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Mūsā berkata kepada Khidhir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (al-Khafi: 65-66).

Kita tahu, Mūsā adalah Rasūlullāh s.a.w. dan kalim-Nya. Allah telah berbicara dengan Mūsā. Sungguhpun begitu masih ada seorang hamba Allah yang jauh lebih berilmu dari Mūsā a.s. sehingga Mūsā merasa perlu mengikutinya dan berguru kepadanya. Di sini Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi di hadapan-Nya. Buktinya, Allah s.w.t. menguraikan kepada kita dalam surat al-Kahfi tentang kisah Mūsā dan Khidhir a.s. Khidhir bukan seorang rasul, tapi hanya seorang hamba-Nya. Namun ia telah mencapai derajat yang tinggi di sisi-Nya, dan Allah memberikan berbagai ilmu dan hikmah kepadanya, yang tidak diberikan-Nya kepada Mūsā sehingga Mūsā berguru kepadanya.

Kalau pengabdian kepada Allah ta‘ālā bisa mengangkat ketinggian martabat seseorang di sisi-Nya maka pengabdian terhadap manusia kebalikan dari itu, yakni akan merupakan suatu kehinaan dan kenistaan. Pada umumnya bila manusia menjadi majikan maka dia cenderung memeras hambanya dan menanggalkan semua hak-hak hambanya sebagai manusia, sedangkan pengabdian kepada Allah akan memberikan segala-galanya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah akan memberikan rahmat, karunia dan kemuliaan.

            Allah s.w.t. ingin agar kita mengetahui bahwa martabat yang tinggi dan mulia sudah diberikan juga kepada Muḥammad s.a.w. sebagai hamba-Nya, yakni dengan diisrā’kannya ruh dan jasad beliau. Kalau Isrā’ terjadi dalam bentuk mimpi atau hanya dengan ruhnya saja (seperti yang diyakini sementara orang yang lemah iman) maka tentu kaumnya tidak akan mempermasalahkan dan mengatakan dengan rasa kagum dan tidak percaya. Tentu tidak akan ada kaumnya yang berkata: “Bagaimana anda dapat mengatakan menempuh perjalanan itu dalam semalam saja, sedangkan kami tidak bisa kurang dari sebulan untuk menempuh perjalanan tersebut, dan itupun dengan mengendarai unta?”

Dengan demikian jelaslah, perjalanan Isrā’ dan Mi‘rāj terjadi dengan mu‘jizat, dengan kekuatan Allah ta‘ālā yang berlaku di atas perhitungan akal manusia. Peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj diberikan khusus kepada hamba-Nya (yang terdiri dari ruh dan jasad) sebagai makhluk tertinggi dan terdekat-Nya agar dia dapat melihat ayat-ayat dan kekuasaan-Nya di seluruh kawasan kerajaan-Nya.

Kini timbul pertanyaan, kepada Isrā’ terjadi di malam hari, kenapa tidak di siang hari agar bisa dilihat dan diyakini orang? Kalau mu‘jizat itu terjadi dengan kekuatan Allah, kenapa terjadi dalam semalam, bukan sekejap mata? Bukankah Allah Maha Kuat memperjalankan hamba-Nya dari Makkah ke Bait-ul-Maqdis pergi-pulang dalam sekejap mata? Bukankah peristiwa itu terjadi dengan kekuasaan Allah? Mengapa memakai waktu segala, bukan seketika saja agar lebih kuat kemu‘jizatan-Nya?

 

Biasanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu diajukan oleh para orientalis. Mereka mengira pertanyaan-pertanyaan itu bisa menghancurkan mu‘jizat-Nya, akan tetapi malah sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas justru menambah kekhasan segi-segi mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj. Kalau saja para orientalis tidak membangkitkan kecurigaan orang terhadap Islam, segi-segi tersebut mungkin tidak banyak diperhatikan orang. Akan tetapi, sudah menjadi suratan takdir, terkadang Allah ta‘ālā memperalat orang non-mu’min untuk kepentingan ad-Dīn-Nya agar orang lebih mengenal keagungan dan kebenaran-Nya.

 

Sumber tulisan : https://hatisenang.com/kategori/kumpulan-buku2-ttg-islam-am/tentang-isra-miraj/kisah-isra-miraj-mujizat-terbesar-prof-dr-m-mutawalli-asy-syarawi/


Kisah Isra’ Mi‘raj Rasulullah s.a.w. (Terjemah dari Kitab Dardir Bainama Qishshat-ul-Mi‘raj) Oleh: Asy-Syeikh Najmuddin al-Ghaithi



PENDAHULUAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

 

(Peristiwa-peristiwa Ketika Isrā’):

Ketika Nabi s.a.w. sedang berada di Ḥijr Ismā‘īl yang terletak di dekat Ka‘bah dengan posisi terlentang di antara sepasang kaki, tiba-tiba Jibrīl dam Mikā’īl yang ditemani oleh satu malaikat lain mendatangi beliau. Mereka menggotong tubuh beliau. Dan setelah membawakan air zamzam, mereka meletakkan tubub beliau dalam posisi telentang dengan punggung di bawah. Jibrīl lalu meminta tolong mereka mengurus beliau.

Dalam suatu riwayatkan disebutkan, atap rumah Nabi s.a.w. dilubangi. Setelah turun, Jibrīl membedah lehernya sampai ke perut bagian bawah.

“Ambilkan aku satu baskom berisi air zamzam untuk membersihkan hatinya, dan melapangkan dadanya”, kata Jibrīl kepada temannya si Mikā’īl.

 

Setelah mengeluarkan hati Nabi s.a.w., Jibrīl kemudian membasuhnya sebanyak tiga kali. Ia membersihkan semua kotoran yang ada padanya. Setelah ikut membantu Jibrīl membawakan baskom berisi air zamzam berganti-ganti sebanyak tiga kali, Mikā’īl lalu membawakan sebuah baskom terbuat dari emas yang berisi penuh dengan hikmah dan iman. Setelah menuangkan sifat santun, ilmu, keyakinan, dan Islam ke dalam dada Nabi s.a.w., Jibrīl kemudian mengatupkannya kembali. Dan setelah Jibrīl memasang cap kenabian pada sepasang lengan Nabi s.a.w, didatangkanlah Burāq lengkap dengan kendali dan tali kekang, seekor binatang berwarna putih yang tingginya lebih daripada keledai dan lebih pendek daripada bighal. Ia meletakkan kukunya di ujung matanya seraya menggoyang-ngoyangkan sepasang telinganya. Ketika melintasi sebuah gunung, Burāq menaikkan sepasang kakinya, dan ketika turun ia mengangkat sepasang tangannya. Binatang ini memiliki sepasang sayap pada pahanya yang digunakan mencengkram oleh kakinya. Jibrīl merasa tidak berkenan terhadap Burāq. Dan seraya meletakkan tangannya pada bibir binatang ini, Jibrīl berkata: “Apakah kamu tidak merasa malu, wahai Burāq? Demi Allah, sekarang ini kamu akan dikendarai oleh seorang makhluk yang paling dimuliakan oleh Allah.”

 

Mendengar itu Burāq merasa malu, sehingga sekujur tubuhnya bercucuran keringat. Nabi s.a.w. kemudian menaikinya, dan para nabi sebelum beliau biasa menaiki Burāq. Kata Sa‘īd bin al-Musayyab dan lainnya, Burāq adalah binatang yang biasa ditunggangi oleh nabi Ibrāhīm a.s. ketika ia menuju ke Bait-ul-Ḥaram atau Ka‘bah.

Berangkat Nabi s.a.w. dengan diapit oleh Jibrīl di sebelah kanan, dan oleh Mikā’īl di sebelah kiri. Kata Ibnu Sa‘ad, yang membantu Nabi s.a.w. menaiki Burāq adalah Jibrīl, dan yang memegang kendalinya adalah Mikā’īl. Mereka terus bergerak hingga tiba di sebuah tanah yang terdapat banyak pohon kurma.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

“Tadi anda shalat di Thaibah, sebuah tempat yang akan menjadi tujuan hijrah”, kata Jibrīl.

Burāq terus bergerak dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w. seraya meletakkan kukunya ke dekat mata.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

“Tadi anda shalat di Madyān, di dekat pohon Mūsā”, kata Jibrīl menjelaskan.

Burāq terus bergerak dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w. seraya meletakkan kukunya ke dekat mata.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?” tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

 

“Tadi anda shalat di bukit Tursina, tempat di mana Allah dahulu pernah berfirman secara langsung kepada Mūsā”, kata Jibrīl menjelaskan.

Selanjutnya rombongan tiba di sebuah tanah lapang yang memperlihatkan dengan jelas beberapa bangunan istana Syiria.

“Turunlah, dan shalatlah di sini”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

Setelah menunaikan shalat, Nabi s.a.w. segera menaiki Burāq lagi.

Burāq terus bergerak dengan posisi menukik turun membawa Nabi s.a.w.

“Anda tahu, di mana tadi anda shalat?” tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Tidak”, jawab beliau.

“Tadi anda shalat di Bait Lahem, tempat di mana ‘Īsā bin Maryam dilahirkan”, kata Jibrīl menjelaskan.

 

(Bacaan untuk Menghalau ‘Ifrīt)

Ketika sedang mengendarai Burāq itulah, Nabi s.a.w. tiba-tiba melihat seekor ‘Ifrīt dari golongan Jinn yang sedang membawa sebatang obor. Dan begitu menoleh ke belakang, beliau bisa melihatnya.

“Aku ingin mengajarkan kepada anda beberapa kalimat yang kalau anda baca, maka obor itu akan padam dan si ‘Ifrīt akan lari terbirit-birit”, kata Jibrīl kepada Nabi s.a.w.

“Baiklah”, kata beliau.

“Bacalah: A‘ūdzu bi wajhillāh-il-karīmi wa bi kalimātillāh-it-tāmmāt-il-latī lā yujawizuhunna birrun wa lā fāsiqun min syarri mā yunzzalu min-as-samā’i, wa min syarri mā ya‘ruju fīhā, wa min syarri mā dzara’a fil-ardhi, wa min syarri mā yakhruju minhā, wa min fitan-il-laili wan-nahāri, wa min thawāriq-il-laili wan-nahāri, illā tharīqan yathruqu bi khairin, yā Raḥmān.

(Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Dermawan dengan menggunakan kalimat-kalimat Allah yang tidak mampu dilewati oleh orang yang baik maupun orang yang jahat dari keburukan sesuatu yang diturunkan dari langit, dari keburukan sesuatu yang naik ke sana, dari keburukan sesuatu yang tertinggal di muka bumi, dari keburukan sesuatu yang keluar daripadanya, dari fitnah-fitnah waktu malam maupun siang, dan dari bencana-bencana malam maupun siang, kecuali bencana yang membawa suatu kebajikan, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah).”

Begitu Nabi s.a.w. selesai membacanya, si ‘Ifrīt lari tunggang-langgang sehingga ia jatuh terjembab (terjerembab/terjerembap), dan obornya pun padam.

(Pahala Para Mujāhid)

Rombongan terus melanjutkan perjalanan sehingga mereka mendapati beberapa orang yang menanam dan sekaligus mengetam pada satu hari yang sama. Setiap kali selesai mengetam, maka tanaman akan kembali lagi untuk siap diketam. Begitu seterusnya.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.

“Mereka adalah orang-orang yang pernah berjihad pada jalan Allah ta‘ālā, sehingga balasan untuk satu amal kebajikan mereka dilipat-gandakan menjadi tujuh ratus kali. Dan harta yang pernah mereka sumbangkan diganti oleh Allah”, jawab Jibrīl.

 

(Māsyithah – Mu’minah dari keluarga Fir‘aun)

Mendadak Nabi s.a.w. mencium aroma yang sangat harum.

“Aroma apa ini, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.

“Ini adalah aroma Māsyithah binti Fir‘aun dan putra-putranya”, jawab Jibrīl. “Pada suatu hari ketika sedang menyisiri putri Fir‘aun, tiba-tiba sisirnya terjatuh. “Dengan menyebut nama Allah, celakalah Fir‘aun”, kata Māsyithah dengan spontan.

“Jadi anda punya Tuhan selain ayahku, ya?” tanya si kecil putri Fir‘aun.

“Ya”, jawab Māsyithah berterus terang.

“Kalau begitu, apakah aku boleh memberitahukan hal ini kepada ayahku?”, tanyanya.

“Boleh”, jawab Māsyithah dengan jujur.

Anak kecil tersebut kemudian memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Seketika Māsyithah dipanggil Fir‘aun.

“Benarkah kamu punya Tuhan selain aku?”, tanya Fir‘aun.

“Benar”, jawab Masyīthah. “Tuhanku dan Tuhan anda adalah Allah.”

Māsyithah punya dua orang anak dan seorang suami. Fir‘aun menyuruh untuk mendatangkan mereka. Ia membujuk Māsyithah dan suaminya supaya mereka keluar dari agama Islam. Tetapi mereka menolak.

“Bagaimana kalau aku akan membunuh kalian berdua?”, tanya Fir‘aun mengancam.

“Baik, silahkan saja terserah anda. Tetapi tolong nanti kuburkan mayat kami di dalam satu liang lahat”, jawab Māsyithah.

“Baik, akan aku penuhi permintaanmu itu”, kata Fir‘aun.

Fir‘aun kemudian menyuruh untuk membawakan sebuah baskon berukuran sangat besar yang terbuat dari timah. Dan setelah dipanaskan dengan air yang sangat mendidih, ia menyuruh Māsyithah dan keluarganya untuk memasukinya. Satu persatu mereka memasuki bejana tersebut. Dan ketika tiba giliran anak bungsunya yang masih menyusu, tiba-tiba ia berkata:

“Wahai bunda, ayo masuklah dan jangan ragu-ragu, karena anda di pihak yang benar.”

Tak pelak Māsyithah keluarganya pun akhirnya sama masuk ke dalam bejana dari timah berisi air yang sangat mendidih tersebut.

Kata Ibnu Sa‘īd, ada empat orang yang sudah bisa berbicara ketika masih berada dalam ayunan: yakni anak Māsyithah, saksi nabi Yūsuf, anaknya si Juraij, dan ‘Īsā putra Maryam.

 

(Siksaan bagi Orang yang Merasa Berat Melaksanakan Shalat Fardhu)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang tengah memecahkan kepala sendiri. Dan setelah memar sampai hancur, keadaannya kembali lagi seperti semula. Hal itu terus mereka lakukan tanpa bosan-bosan sedikit pun.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang kepalanya terasa berat untuk diajak shalat fardhu”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Orang yang Tidak Mau Menunaikan Zakat)

Kemudian Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang tubuhnya bagian depan maupun bagian belakang sama-sama tambahan. Mereka sedang digembalakan laksana sekawanan unta dan domba. Mereka memakan buah dhari‘, buah zaqqum, dan batu-batu dari neraka Jahannam.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya, dan Allah sama sekali tidak berbuat zalim kepada mereka”, jawab Jibrīl.

 

 

 

(Siksaan bagi Suami yang Suka Menggauli Wanita Pelacur)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang di depan mereka ada daging matang di dalam sebuah periuk, dan di dekat mereka juga ada daging busuk, tetapi mereka justru memilih memakan daging yang busuk dan membiarkan daging yang matang.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah termasuk umat anda yang sebenarnya mereka sudah memiliki seorang istri baik-baik dan halal, tetapi mereka justru lebih suka memilih menggauli wanita pelacur, bahkan menginap di rumahnya sampai pagi”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Mereka yang Suka Menghalang-halangi Orang Dari Jalan Allah)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati sebilah papan kayu di tepi jalan yang selalu membuat robek pakaian setiap orang yang melewatinya.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu adalah seperti perumpamaan beberapa orang dari umat anda yang gemar duduk-duduk iseng di pinggir jalan untuk mengganggu orang lain yang lewat. Mereka suka menghalang-halangi dari jalan Allah”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Mereka yang Suka Memakan Harta Riba)

Selanjutnya Nabi s.a.w. melihat seseorang yang sedang berenang di sebuah sungai darah seraya menelan batu.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu adalah seperti perumpamaan seseorang yang suka memakan harta riba”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Mereka yang Suka Meminta Amanat Tapi Sudah Tidak Sanggup Mengembannya)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati seseorang yang tengah mengumpulkan setumpuk kayu bakar yang tidak kuat dipikulnya, tetapi ia justru terus menambahinya.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

 

“Itu adalah seseorang dari umat anda yang mendapat beberapa amanat dari orang lain. Sebenarnya ia sudah tidak sanggup mengembannya, tetapi masih terus meminta amanat-amanat yang lain”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Para Muballigh yang Suka Menebarkan Fitnah)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang sedang menggunting bibir dan lidahnya dengan menggunakan gunting dari besi. Dan setiap kali sudah tergunting bibir dan lidahnya itu kembali utuh lagi seperti sedia kala tanpa ada bekas luka, dan begitu seterusnya.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu adalah para muballigh yang suka menebarkan fitnah. Mereka itu termasuk umat anda yang pandai mengatakan apa yang tidak mereka lakukan”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Orang-orang yang Suka Menyerang Kehormatan Orang Lain)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati beberapa orang yang memiliki kuku terbuat dari timah yang mereka gunakan untuk mencakar-cakar muka dan dada mereka sendiri.

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging orang lain, dan suka menyerang kehormatan-kehormatannya”, jawab Jibrīl.

 

(Siksaan bagi Orang-orang yang Suka Cakap Besar)

Selanjutnya Nabi s.a.w. mendapati seonggok batu kecil yang mengeluarkan seekor sapi berukuran sangat besar. Dan setiap kali si sapi berusaha ingin kembali masuk dari tempat di mana ia keluar namun tidak mampu.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Ia adalah seseorang dari umat anda yang suka berbicara dengan kata-kata besar. Belakangan ia menyesalinya, tetapi ia tidak sanggup menariknya kembali”, jawab Jibrīl.

 

 

 

(Godaan Panggilan Orang Yahudi)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggil dari arah kanan:

“Wahai Muḥammad, lihat aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau tidak mau menjawabinya.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Yang memanggil anda tadi adalah seorang Yahudi. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat anda akan menjadi orang-orang Yahudi”, jawab Jibrīl.

 

(Godaan Panggilan Orang Nashrani)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada yang memanggil dari arah kiri:

“Wahai Muḥammad, lihat aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau tidak mau menjawabinya.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Yang memanggil anda tadi adalah seorang Nashrani. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat anda akan menjadi orang-orang Nashrani”, jawab Jibrīl.

 

(Godaan Panggilan Dunia)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, ada seorang wanita yang tampak sepasang lengannya terbuka dan ia memiliki segala kecantikan yang diciptakan oleh Allah ta‘ālā mengatakan kepada beliau:

“Wahai Muḥammad, lihat aku. Aku ingin bertanya kepadamu. Tetapi beliau tidak menoleh ke arahnya.

“Siapa wanita itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Wanita itu tadi adalah perumpamaan dunia. Kalau saja anda tadi menjawabi panggilannya, niscaya umat anda akan lebih memilih dunia daripada akhirat”, jawab Jibrīl.

 

 

(Godaan Panggilan Iblīs)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada seorang kakek yang memanggil beliau seraya menjauh dari jalan. Ia mengatakan: “Kemarilah, wahai Muḥammad.”

“Jangan mau, teruslah berjalan, wahai Muḥammad”, kata Jibrīl.

“Siapa orang itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu tadi adalah Iblīs sang musuh Allah yang ingin supaya anda cenderung kepadanya”, jawab Jibrīl.

 

(Godaan Panggilan Sisa Umur Dunia)

Ketika Nabi s.a.w. tengah bergerak meneruskan perjalanan, tiba-tiba ada seorang nenek yang memanggil beliau dari tepi jalan: “Wahai Muḥammad, tunggu aku. Aku ingin bertanya kepadamu.” Tetapi beliau sama sekali tidak mau menoleh ke arahnya.

“Siapa wanita itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Itu tadi adalah perumpamaan sisa umur dunia. Jadi sisa umur dunia adalah seperti umur si nenek yang sudah tua renta tersebut”, jawab Jibrīl.

 

(Tiba di Bait-ul-Maqdis dan Menjadi Imam Shalat Para Nabi dan Malaikat)

Selanjutnya Nabi s.a.w. bergerak meneruskan perjalanan, hingga akhirnya tiba di Bait-ul-Maqdis. Beliau memasukinya dari pintu sebelah kanan. Setelah turun dari Burāq, beliau segera menambatkan binatang ini di dekat pintu masjid, tempat yang dahulu pernah digunakan oleh para nabi a.s. untuk menambatkan binatang kendaraan mereka.

Disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sesungguhnya Jibrīl menghampiri seonggok batu besar. Begitu meletakkan jari-jarinya, seketika batu tersebut hancur-lebur dengan mengeluarkan suara cukup keras, sehingga membuat terkejut Burāq yang sedang istirahat.

Nabi s.a.w. memasuki masjid dari pintu yang terkena sinar matahari. Beliau dan Jibrīl sempat shalat sendiri-sendiri dua rakaat. Tidak lama kemudian tiba-tiba sudah berkumpul beberapa orang yang belakangan beliau tahu bahwa mereka itu adalah para nabi. Mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang ruku‘, dan ada yang sedang bersujud. Setelah seruan adzan dikumandangkan dan diteruskan dengan seruan iqamat, mereka pun berdiri dengan membentuk beberapa shaf. Mereka sedang menunggu yang akan menjadi imam mereka. Tiba-tiba Jibrīl memegang tangan Nabi s.a.w. seraya memberi isyarat supaya beliau maju ke depan sebagai imam. Dan beliau pun shalat dua rakaat menjadi imam mereka.

Diriwayatkan dari Ka‘ab, Jibrīl memberitahu para malaikat. Mereka pun sama turun berbondong-bondong dari langit. Selanjutnya Allah mengumpulkan semua rasul dan nabi untuk ikut bergabung. Nabi s.a.w. pun shalat menjadi imam para malaikat serta para rasul.

“Wahai Muḥammad, anda tahu siapa yang tadi sama shalat di belakang anda?”, tanya Jibrīl kepada Nabi s.a.w. begitu selesai shalat.

“Tidak”, jawab Nabi.

“Mereka tadi adalah seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah ta‘ālā”, jawab Jibrīl.

Selanjutnya Nabi mendengar setiap nabi memuji Tuhannya dengan puji-pujian yang sangat indah.

“Kalian semua memuji Tuhan kalian, dan aku pun selalu memuji Tuhanku”, kata Nabi.

Selanjutnya Nabi s.a.w. bersabda: “Segala puji kepunyaan Allah yang telah mengutusku dengan membawa rahmat bagi seru sekalian alam dan bagi seluruh umat manusia untuk memberi khabar gembira dan menyampaikan peringatan. Allah-lah yang telah menurunkan al-Qur’ān kepadaku sebagai penjelasan bagi segala sesuatu. Allah telah menjadikan umatku sebagai umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia. Allah menjadikan umatku sebagai umat yang tengah-tengah. Allah juga menjadikan umatku sebagai yang pertama sekaligus yang terakhir. Allah telah melapangkan dadaku, menghilangkan noda dosa dariku, mengangkat derajatku, dan menjadikan aku sebagai sang pembuka yang paripurna.”

Nabi Ibrāhīm a.s. pernah mengatakan: “Berkat hal itulah Muḥammad telah memuliakan kalian.”

 

(Nabi Memilih Susu)

Tiba-tiba Nabi s.a.w. merasa kehausan yang teramat sangat. Jibrīl a.s. segera membawakan untuk beliau sebuah bejana berisi khamar dan sebuah bejana lagi berisi susu. Dan ternyata beliau memilih bejana yang berisi susu untuk diminum.

“Anda telah memilih yang fitrah”, kata Jibrīl kepada Nabi. “Seandainya tadi anda memilih meminum khamar, niscaya umat anda akan suka melakukan sesuatu yang sia-sia, dan di antara mereka tidak ada yang akan mengikuti anda kecuali hanya sedikit saja.”

Disebutkan dalam suatu riwayat, sesungguhnya bejana yang dibawa oleh Jibrīl a.s. ada tiga. Dan bejana yang ketiga berisi air.

“Seandainya tadi anda memilih air, niscaya umat anda akan tenggelam.”

Disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa salah satu di antara tiga bejana yang disodorkan kepada Nabi s.a.w. adalah bejana berisi madu, bukan air. Dan sesungguhnya beliau melihat beberapa bidadari dari sisi kanan batu besar. Beliau mengucapkan salam, dan mereka pun menjawabnya. Beliau bertanya, dan mereka pun memberikan jawaban yang menyenangkan hati.

 

(Peristiwa-peristiwa Ketika Mi‘rāj):

(Bertemu Dengan Nabi Ādam– Di Langit Pertama)

Selanjutnya Nabi dibawa oleh Jibrīl a.s. menjalani peristiwa mi‘rāj. Ikut dalam perjalanan ini ialah arwah-arwah anak cucu Ādam. Seluruh makhluk tidak pernah melihat yang lebih indah daripada peristiwa mi’rāj. Di sana ada perhiasan dari perak dan dari emas yang berasal dari surga Firdaus. Di sebelah kanan dan kiri, beliau diapit oleh rombongan malaikat.

Nabi s.a.w. dan Jibrīl a.s. naik hingga tiba di salah satu pintu langit dunia yang bernama pintu Ḥifzhah. Di sana ada malaikat yang bernama Ismā‘īl, penjaga langit dunia. Malaikat penghuni udara ini sama sekali tidak pernah naik ke langit, dan juga sama sekali tidak pernah turun ke bumi, kecuali hanya pada hari ketika Nabi s.a.w. wafat. Di hadapannya ada tujuh puluh ribu malaikat yang masing-masing mereka memiliki serdadu sebanyak tujuh puluh ribu malaikat juga.

Jibrīl a.s. meminta dibukakan pintu langit tersebut.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah nabi Ādam a.s. bapak seluruh umat manusia yang bentuknya sama seperti bentuk ketika Allah ta‘ālā menciptakannya. Arwah-arwah para nabi berikut orang-orang mu’min keturunannya diperlihatkan dengan jelas kepada Nabi s.a.w. Beliau bersabda: “Roh yang baik, dan jiwa yang baik. Tolong jadikan mereka di surga tertinggi.”

 

Lalu diperlihatkan dengan jelas kepada Nabi s.a.w. arwah-arwah anak cucu keturunan nabi Ādam yang kafir. Beliau bersabda: “Roh yang buruk, dan jiwa yang buruk. Tolong jadikan mereka di neraka Sijjīn.”

Dari sebelah kiri Nabi s.a.w. melihat sosok hitam, dan sebuah pintu yang mengeluarkan bau sangat busuk. Begitu melihat ke sebelah kanan ia tampak tersenyum, tetapi begitu melihat dari sebelah kiri ia tampak bersedih dan menangis. Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah menjawab salam beliau ia mengatakan dengan penuh semangat: “Selamat datang seorang putra yang saleh, Nabi yang saleh.”

“Siapa dia?”, tanya Nabi kepada Jibrīl.

“Dia itu adalah moyang anda si Ādam, dan sosok hitam tadi adalah jiwa anak cucunya. Golongan kanan di antara mereka adalah calon penghuni surga, dan golongan kiri di antara mereka adalah calon penghuni neraka. Begitu memandang ke arah kanan ia tersenyum dan merasa gembira, dan begitu melihat ke arah kiri ia bersedih dan menangis. Pintu yang terletak di sebelah kiri adalah pintu Jahannam. Begitu melihat anak cucunya yang memasukinya, ia menangis dan bersedih.”

Selanjutnya Nabi s.a.w. berlalu dengan tenang, dan mendapati orang-orang yang suka memakan harta riba serta harta anak-anak yatim, para pezina, dan yang lain. Bentuk mereka sangat buruk.

 

(Bertemu Dengan Nabi ‘Īsā dan Nabi Yaḥyā – Di Langit Kedua)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang kedua. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah kedua putra sang bibi, yakni ‘Īsā bin Maryam dan Yaḥyā bin Zakariyyā a.s. Pakaian dan rambut keduanya sangat mirip satu sama lain. Bersama mereka beberapa kaum pengikutnya. Ternyata rambut nabi ‘Īsā keriting, postur tubuhnya tinggi besar, kulitnya putih ke merah-merahan. Ia mirip dengan ‘Urwah bin Mas‘ūd ats-Tsaqafī.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada ‘Īsā dan Yaḥyā. Dan setelah menjawabi salam beliau, mereka mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Mereka juga mendoakan kebaikan untuk beliau.

 

(Bertemu Dengan Nabi Yūsuf– Di Langit Ketiga)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang ketiga. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Yūsuf bersama beberapa orang dari kaumnya.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Yūsuf. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau. Ternyata Yūsuf diberi separo ketampanan seluruh umat manusia.

Dalam suatu riwayat disebutkan, sesungguhnya Yūsuf adalah makhluk Allah yang paling tampan. Ia laksana bulan di malam purnama di sekeliling bintang-bintang.

“Siapa ini, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Saudara anda si Yūsuf”, jawab Jibrīl.

 

 

(Bertemu Dengan Nabi Idris– Di Langit Keempat)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang keempat. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Idrīs yang telah dikarunia oleh Allah sebuah kedudukan yang sangat tinggi.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Idrīs. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau.

 

(Bertemu Dengan Nabi Hārūn– Di Langit Kelima)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang kelima. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Hārūn yang separo jenggotnya berwarna putih dan separonya lagi berwarna hitam. Saking tingginya sampai-sampai ia terkena pukulan lutut Hārūn. Ia dikelilingi oleh kaumnya orang-orang Bani Isrā’īl.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Hārūn. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau.

“Siapa ini, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Ini adalah orang yang sangat dicintai oleh kaumnya. Namanya Hārūn bin ‘Imrān”, jawab Jibrīl.

 

(Bertemu Dengan Nabi Mūsā– Di Langit Keenam)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang keenam. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Nabi s.a.w. melewati seorang nabi berikut rombongan nabi yang lain serta beberapa orang, melewati seorang nabi berikut rombongan nabi yang lain serta suatu kaum, dan juga melewati seorang nabi berikut rombongan para nabi yang tidak ada siapa pun selain mereka.

Selanjutnya Nabi s.a.w. melewati rombongan besar yang jumlahnya sangat banyak sehingga menutupi kaki langit.

“Siapa itu?”, tanya Nabi.

“Itu adalah Mūsā dan kaumnya”, jawab Jibrīl, “Tetapi coba anda angkat kepala anda.”

Beliau melihat ada rombongan yang juga sangat besar sehingga menutupi dua ujung kaki langit.

 

“Siapa mereka?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah umat anda”, jawab Jibrīl. “Selain mereka, masih ada tujuh puluh ribu orang yang akan masuk surga tanpa dihisab.”

Begitu Nabi s.a.w. dan Jibrīl a.s. sudah masuk, ternyata itu adalah Mūsā bin ‘Imrān, seseorang postur tubuhnya cukup tinggi dengan rambut yang sangat lebat.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Mūsā. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang Nabi yang saleh.” Ia juga mendoakan kebaikan untuk beliau. Mūsā berkata: “Orang-orang mengira aku adalah manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Ternyata orang ini lebih dimuliakan oleh Allah.”

Begitu Nabi s.a.w. telah lewat, Mūsā menangis.

“Kenapa anda menangis?”, tanya malaikat.

“Aku menangis karena sepeninggalanku akan ada seorang anak muda yang diutus yang umatnya lebih banyak masuk surga daripada umatku. Orang-orang Bani Isrā’īl mengira aku adalah manusia yang paling dimuliakan oleh Allah. Ternyata seorang dari anak cucu Ādam ini telah menggantikan aku di dunia, dan aku sudah berada di akhirat. Kalau ia hanya sendirian aku tidak peduli. Tetapi ia bersama umatnya.”

 

(Bertemu Dengan Nabi Ibrahim– Di Langit Ketujuh)

Kemudian Nabi s.a.w. naik ke tingkat langit yang ketujuh. Jibrīl meminta dibukakan pintunya.

“Siapa ini?”, tanya yang ada di balik pintu.

“Jibrīl”, jawab Jibrīl.

“Siapa yang bersama anda?”, tanyanya.

“Muḥammad”, jawab Jibrīl.

“Apakah ia sudah diutus?”, tanyanya.

“Ya”, jawab Jibrīl.

“Selamat datang, seorang saudara dan khalifah, sebaik-baik saudara, dan sebaik-baik khalifah. Sebaik-baik orang yang datang telah datang”, katanya.

Ia lalu membukakan pintu untuk Nabi s.a.w. dari Jibrīl a.s. Dan begitu mereka sudah ada di dalam, ternyata itu adalah Ibrāhīm sang kekasih Allah. Ia sedang duduk di dekat pintu surga di atas kursi dari emas seraya menyandarkan punggungnya pada Bait-ul-Ma‘mūr. Ia ditemani beberapa orang.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada Ibrāhīm. Dan setelah menjawabi salam beliau, ia mengucapkan: “Selamat datang, wahai saudara yang saleh dan seorang nabi yang saleh.”

Selanjutnya Ibrāhīm berkata kepada Nabi s.a.w.: “Suruh umatmu untuk sebanyak mungkin menanam tanaman surga, karena tanah surga itu sangat subur dan luas.”

“Apa itu tanaman surga?”, tanya Nabi.

“Yaitu ucapan: Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm (Tidak ada daya serta kekuatan sama sekali tanpa pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung)”, jawab Ibrāhīm.

Dalam riwayat lain disebutkan, Ibrāhīm berkata kepada Nabi s.a.w.: “Sampaikan salamku kepada umatmu, dan beritahu mereka bahwa tanah surga itu indah, airnya tawar, dan tanamannya ialah kalimat: Subḥānallāhi wal-ḥamdulillāhi wa lā ilāha illallāhu wallāhu akbar (Maha Suci Allah, segala puji kepunyaan Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar).”

Di dekat Ibrāhīm ada serombongan orang yang tengah duduk dengan wajah putih bersih laksana kertas, dan juga ada serombongan orang yang ada sesuatu pada warna wajah mereka. Rombongan orang yang akhir ini berdiri lalu memasuki sebuah sungai. Setelah mandi di sana, mereka keluar dan dengan muka yang agak bersih. Lalu mereka memasuki sebuah sungai yang lain. Setelah mandi di sana, mereka keluar dengan muka yang sudah sama sekali bersih. Kemudian mereka memasuki sebuah sungai yang ketiga. Dan setelah mandi di sana, mereka keluar dengan penampilan wajah seperti wajah rombongan yang pertama tadi. Mereka lalu duduk bergabung bersama-sama dengan teman-temannya tersebut.

“Wahai Jibrīl, siapa orang-orang yang wajahnya putih bersih laksana kertas, dan juga siapa orang-orang yang warna wajah mereka ada sesuatu tadi? Lalu bagaimana dengan sungai-sungai yang mereka masuki lalu mereka di sana?”, tanya Nabi.

“Orang-orang yang wajahnya putih bersih laksana kertas adalah suatu kaum yang iman mereka tidak dicampuri dengan kezhaliman. Orang-orang yang warna wajahnya ada sesuatu itu adalah suatu kaum yang biasa mencampur amal saleh dengan amal buruk. Mereka mau bertaubat, dan Allah pun berkenan menerima taubat mereka. Adapun sungai-sungai tadi, yang pertama adalah lambang rahmat Allah, yang kedua lambang nikmat Allah, dan yang ketiga Allah memberi minum mereka dengan air minum yang suci mensucikan. Ada yang mengatakan, itulah tempat anda dan tempat umat anda kelak”, jawab Jibrīl.

 

Sesungguhnya umat Nabi s.a.w. terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian dari mereka mengenakan pakaian putih bersih laksana kertas, dan satu bagian lagi mengenakan pakaian berwarna abu-abu.

 

(Memasuki Bait-ul-Ma‘mur)

Selanjutnya Nabi s.a.w. memasuki Bait-ul-Ma‘mūr. Ikut masuk bersama beliau adalah orang-orang yang mengenakan pakaian putih. Sementara orang-orang yang mengenakan pakaian abu-abu tidak bisa ikut masuk. Tetapi mereka tetap dalam keadaan baik-baik saja. Beliau dan orang-orang mu’min yang bersama beliau melakukan shalat di Bait-ul-Ma‘mūr. Setiap harinya tempat ini dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat yang tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat nanti. Beliau mengambil posisi tepat di belakang Ka‘bah.

Dalam riwayat lain disebutkan, ada tiga bejana yang diperlihatkan kepada Nabi s.a.w. Ketika beliau memilih bejana yang berisi susu. Jibrīl a.s. membenarkannya, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Jibrīl berkata: “Itulah fitrah yang anda dan umat anda ada padanya.”

 

(Naik ke Sidrat-ul-Muntahā)

Selanjutnya Nabi s.a.w. naik ke Sidrat-ul-Muntahā, sebagai tempat terakhir perjalanan mi‘rāj beliau yang dimulai dari bumi. Di sana ada sebatang pohon yang dari akarnya keluar beberapa sungai dari air yang berubah-ubah, beberapa sungai yang rasanya tidak akan pernah berubah, beberapa sungai khamar yang rasanya lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan beberapa sungai madu murni. Orang berkendara yang berjalan mengelilingi naungan pohon tersebut membutuhkannya waktu selama tujuh puluh tahun, dan belum juga selesai karena saking besarnya pohon tersebut. Selembar daunnya saja lebarnya seperti beberapa telinga gajah betina. Daunnya hampir-hampir menutupi umat ini. Menurut suatu riwayat, daun-daun pohon inilah yang menaungi seluruh makhluk, dan setiap lembarnya ada malaikat yang menutupinya sehingga tidak tahu apa warnanya.

Disebutkan dalam riwayat lain, selembar daunnya bisa berubah menjadi permata, dan tidak ada seorang pun yang sanggup melukiskan keindahannya. Di dekat pohon tersebut terdapat hamparan dari emas. Dan pada akarnya terdapat empat buah sungai; dua sungai dalam, dan dua sungai luar.

“Sungai-sungai apa saja itu, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Dua sungai dalam ialah sepasang sungai yang ada di surga, dan dua sungai luar ialah sungai Nil dan sungai ‘Ifrat”, jawab Jibrīl.

 

Dalam riwayat lain disebutkan, sesungguhnya Nabi s.a.w. melihat Jibrīl di Sidrat-ul-Muntahā memiliki enam ratus sayap yang masing-masing sayap menutupi kaki langit, dari dalam sayap-sayap Jibrīl inilah bertaburan butir-butir mutiara serta permata yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah ta‘ālā.

 

(Memasuki Surga)

Kemudian Nabi s.a.w. memasuki surga. Di dalamnya terdapat nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Di pintu surga beliau melihat tulisan: “Pahala Sedekah Itu Dilipatgandakan Sepuluh Kali, Dan Pahala Menghutangi Dilipatgandakan Delapan Belas Kali.”

“Kenapa menghutangi itu lebih utama daripada bersedekah, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Karena orang yang meminta itu terkadang ia masih punya sesuatu. Sementara orang yang hutang itu pasti karena terpaksa oleh kebutuhan”, jawab Jibrīl.

 

(Sungai-sungai di Surga – al-Kautsar)

Selanjutnya Nabi s.a.w. terus berjalan, dan mendapati beberapa sungai susu yang rasanya tidak akan berubah, beberapa sungai khamar yang lezat bagi orang-orang yang meminumnya, dan beberapa sungai madu murni. Di sungai-sungai ini terdapat untaian-untaian mutiara yang sangat elok dan mempesona. Di dekat sungai-sungai ini juga terdapat buah delima yang laksana kulit unta yang biasa digunakan untuk mengangkut barang, serta burung-burung yang menawan.

Abū Bakar pernah bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai utusan Allah, itu adalah seekor ternak.”

“Aku telah memakannya dengan rasa yang jauh lebih nikmat. Dan aku pun berharap kamu pun kelak akan memakannya”, jawab Nabi.

Nabi s.a.w. melihat sungai al-Kautsar yang pada kedua tepinya terdapat untaian-untaian mutiara berlobang. Tanahnya menebarkan aroma kasturi.

 

(Diperlihatkan Neraka)

Selanjutnya Nabi s.a.w. diperlihatkan neraka. Di dalamnya terdapat murka, siksa, dan hukuman Allah ta‘ālā yang kalau misalnya seonggok batu atau sebatang besi dilemparkan ke sana akan langsung dilalapnya. Di dalam neraka terdapa beberapa orang yang memakan bangkai,

“Siapa mereka, wahai Jibrīl?”, tanya Nabi.

“Mereka adalah orang-orang yang suka makan daging orang lain”, jawab Jibrīl.

Nabi s.a.w. melihat malaikat penjaga neraka yang bermuka masam, selalu cemberut, dan terus-menerus marah. Beliau memulai dengan mengucapkan salam kepadanya. Setelah menjawab salam beliau, ia segera mengunci pintu mereka sehingga tidak bisa dilihat dan dimasuki oleh beliau.

 

(Di Sidrat-ul-Muntahā)

Selanjutnya Nabi s.a.w. dibawa naik ke Sidrat-ul-Muntahā. Beliau diliputi oleh awan yang mengandung segala macam warna. Jibrīl sempat tertinggal. Tetapi kemudian ia segera ikut naik bersama beliau ke tempat di mana ia bisa mendengar goresan-goresan qalam. Beliau melihat ada yang bersembunyi dalam cahaya ‘Arasy.

“Siapa itu? Apakah ia malaikat?” tanya Nabi.

“Bukan”, jawab Jibrīl.

“Atau seorang nabi?” tanya beliau.

“Juga bukan”, jawab Jibrīl. “Ini adalah seseorang yang sewaktu di dunia lidanya selalu basah karena digunakan rajin berdzikir menyebut nama Allah ta‘ālā, hatinya selalu bergantung pada masjid, dan sama sekali tidak pernah mencaci-maki kedua orang tuanya.”

Nabi s.a.w. melihat Tuhannya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Seketika beliau sujud bersungkur. Pada saat itulah beliau diajak bercakap-cakap oleh Tuhannya, “Wahai Muḥammad!”

“Baik, Tuhanku”, jawab beliau.

“Mohonlah”, kata-Nya.

“Sesungguhnya Engkau telah menjadikan Ibrāhīm sebagai kekasih, dan telah Engkau beri ia kekuasaan yang cukup besar. Engkau telah bercakap-cakap dengan Mūsā secara langsung. Engkau telah memberi kekuasaan yang cukup besar kepada Dāūd, dan Engkau juga memberinya kekuatan sehingga ia sanggup melunakkan besi, serta gunung-gunung bersujud kepadanya. Engkau telah memberi kekuasaan yang cukup besar kepada Sulaimān sehingga jinn, manusia, dan syaithan tunduk kepadanya. Bahkan angin pun tunduk kepadanya. Engkau telah memberinya suatu kekuasaan yang tidak diberikan kepada siapapun sepeninggalannya. Engkau telah mengajarkan Taurat dan Injil kepada ‘Īsā. Engkau jadikan ia bisa menyembuhkan kebutaan, menyembuhkan penyakit kusta, dan menghidupkan kembali orang yang telah mati dengan izin Engkau. Engkau lindungi ‘Īsā dan ibunya dari syaithan yang terkutuk, sehingga syaithan tidak memiliki cara untuk menggoda mereka berdua.”

Allah ta‘ālā berfirman: “Aku telah menjadikan kamu sebagai kekasih. Aku akan mengutusmu kepada seluruh manusia untuk memberi khabar gembira kepada orang-orang yang beriman, dan menyampaikan peringatan kepada orang-orang yang kafir. Aku akan melapangkan dadamu, menghilangkan noda dosa dari hatimu, dan mengangkat tinggi-tinggi derajatmu. Setiap kali ingat Aku, maka kamu pasti akan ingat kematian. Aku jadikan umatmu sebagai umat yang tengah-tengah. Aku jadikan mereka sebagai golongan yang pertama sekaligus yang terakhir. Aku jadikan mereka tidak boleh berbicara panjang lebar sebelum mereka memberikan kesaksian bahwa sesungguhnya kamu adalah hamba sekaligus seorang rasul utusan-Ku. Dan Aku jadikan mereka kaum-kaum yang hati mereka lembut. Aku jadikan kamu yang pertama kali diciptakan di antara para nabi, yang terakhir kali diutus di antara mereka, dan yang paling awal untuk diputusi di akhirat nanti. Aku memberikan kepadamu surat al-Fātiḥah yang tidak pernah Aku berikan kepada seorang nabi pun sebelum kamu. Aku memberikan kepadamu bagian-bagian akhir dari surat al-Baqarah sebagai simpanan di bawah ‘Arasy yang tidak pernah Aku berikan kepada seorang nabi pun sebelum kamu. Aku memberikan kepadamu telaga al-Kautsar. Aku memberikan kepadamu delapan yang sangat penting dari Islam, hijrah, jihad, kejujuran, puasa Ramadhān, amar ma‘ruf dan nahi mungkar.(dan ?????) Pada waktu menciptakan langit dan bumi, sesungguhnya Aku telah mewajibkan kepadamu dan umatmu shalat lima puluh waktu. Oleh karena itu kalian laksanakan kewajiban tersebut. Aku telah mengampuni siapa saja di antara umatmu yang tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun.”

 

(Peristiwa Shalat Lima Waktu)

Kemudian awan pun tersibak dari Nabi s.a.w. Jibrīl memegang tangan beliau, dan segera berlalu untuk menemui Ibrāhīm. Tetapi Ibrāhīm tidak mengatakan sesuatu apapun. Jibrīl lalu menemui Mūsā, seseorang yang mau peduli dan bersedia diajak berbicara untuk menolong mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang terjadi.

“Apa yang telah kamu lakukan, wahai Muḥammad?”, tanya Mūsā. “Kewajiban apa yang dibebankan oleh Tuhanmu kepadamu dan kepada umatmu?”

“Dia mewajibkan kepadaku dan umatku shalat lima puluh waktu sehari semalam”, jawab Nabi.

“Kembalilah temui Tuhanmu”, kata Mūsā. “Mohonlah keringan kepada-Nya, supaya kamu dan umatmu tidak merasa keberatan. Soalnya mereka tidak akan sanggup melakukannya. Sebelum kamu, aku telah memberitahukan hal itu kepada manusia. Bahkan aku telah mencobanya terhadap orang-orang Bani Isrā’īl dengan beban kewajiban yang relatif sangat ringan. Itu saja mereka tidak sanggup. Mereka sama meninggalkannya. Padahal dari segi fisik umatmu lebih lemah daripada mereka.”

Nabi s.a.w. menoleh ke arah Jibrīl dengan maksud untuk meminta pertimbangan kepadanya. Dan Jibrīl memberi isyarat supaya menuruti saran Mūsā supaya ia kembali menemui Tuhannya guna meminta keringanan. Beliau pun segera beranjak menemui Allah. Ketika tiba di dekat sebatang pohon, ia diselimuti oleh awan. Dengan posisi bersimpuh setelah bersujud beliau berkata: “Wahai Tuhan, tolong beri keringanan umatku, karena mereka adalah umat yang sangat lemah.”

Allah ta‘ālā berfirman: “Aku beri mereka keringanan sebanyak lima waktu.”

Kemudian awan pun tersibak, lalu Nabi s.a.w. kembali menemui Mūsā dan berkata: “Allah telah memberikan keringanan shalat lima waktu bagi umatku.”

“Temui Tuhanmu, dan mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka tidak akan sanggup melaksanakannya”, kata Mūsā.

Beberapa kali Nabi s.a.w. harus bolak-balik naik turun menemui Tuhannya dan Mūsā, sehingga akhirnya umat beliau hanya diberi kewajiban menjalankan shalat sebanyak lima waktu saja. Terakhir Allah ta‘ala berfirman: “Wahai Muhammad!”

“Baik, wahai Tuhanku”, jawab beliau.

Allah ta‘ālā berfirman: “Kamu dan umatmu wajib menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Dan pahala setiap shalat dilipatgandakan sepuluh kali. Jadi jumlahnya sama dengan lima puluh kali. Ketetapan-Ku ini sudah tidak bisa diganti dan dirubah. Barang siapa yang bermaksud hendak melakukan suatu amal kebajikan namun ia membatalkannya, niscaya di catat untuknya satu kebajikan. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat untuknya sepuluh kali kebajikan. Sebaliknya barang siapa yang bermaksud hendak melakukan suatu amal keburukan namun batal, niscaya tidak dicatat untuknya apa pun. Dan jika ia jadi melakukannya, niscaya dicatat untuknya hanya satu keburukan saja.”

Tiba-tiba suasana menjadi sangat terang benderang. Nabi s.a.w. pun turun menemui Mūsā untuk memberitahukan hal itu kepadanya.

“Temui Tuhanmu, dan mohonlah lagi keringanan bagi umatmu, karena mereka masih tidak akan sanggup melaksanakannya”, kata Mūsā.

“Sudah beberapa kali aku naik turun menemui Tuhanku untuk memohon keringanan. Aku merasa malu kepada-Nya. Aku sudah setuju dan pasrah atas ketetapan-Nya itu”, jawab Nabi.

Tiba-tiba ada penyeru yang menyeru: “Sesungguhnya kamu harus menunaikan kewajiban-Ku, dan Aku telah memberikan keringanan buat hamba-hambaKu!”

“Sekarang turunlah dengan menyebut nama Allah”, kata Mūsā kepada Nabi.

Dan setiap kali melewati rombongan malaikat, mereka pasti mengucapkan salam kepada beliau. Beliau mendekati Jibrīl dan berkata: “Kenapa para malaikat penghuni langit sama mengucapkan selamat datang kepadaku? Dan kenapa mereka juga tertawa padaku? Kecuali hanya satu malaikat. Aku mengucapkan salam kepadanya. Dan setelah menjawab salamku, ia mengucapkan selamat datang serta mendoakan aku. Tetapi ia sama sekali tidak mau tersenyum.”

“Dia itu adalah malaikat penghuni neraka”, jawab Jibrīl. “Semenjak diciptakan oleh Allah ta‘ālā ia memang tidak pernah tersenyum. Seandainya ia pernah tersenyum kepada siapa pun, tentu tadi ia juga tersenyum kepada anda.”

 

(Peristiwa Turun ke Langit Dunia)

Ketika sedang dalam perjalanan turun ke langit dunia, Nabi s.a.w. memperhatikan ke bawah, dan beliau melihat asap dan suara-suara gaduh.

“Apa itu, wahai Jibrīl?”, tanya beliau.

“Itu adalah rombongan syaithan yang menghalangi mata manusia supaya mereka tidak sempat memikirkan tentang kerajaan langit dan bumi. Seandainya tidak dihalang-halangi syaithan seperti itu, tentu mereka akan bisa menyaksikan keajaiban-keajaiban”, jawab Jibrīl.

 

(Melewati Kafilah Unta Kaum Quraisy)

Selanjutnya Nabi s.a.w. terus beranjak turun. Beliau melewati serombongan kafilah unta kaum Quraisy di sebuah tempat. Ketika posisi beliau sudah sangat dekat, tiba-tiba kawanan unta tersebut sama berlarian sambil berputar-putar. Pada kafilah itu terdapat seekor unta yang membawa dua karung yang satu berwarna hitam dan yang satu lagi berwarna putih. Lalu unta itu meringkik dan lari terpencar. Padahal sebelumnya mereka telah mengumpulkannya.

Nabi s.a.w. mengucapkan salam kepada mereka. Bukannya menjawab salam beliau, sebagian mereka malah mengatakan kepada temannya: “Itu suara Muḥammad.”

 

(Peristiwa Ketika Kembali ke Makkah)

Selanjutnya Nabi s.a.w. berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya di Makkah menjelang shubuh. Pagi-pagi sekali beliau sudah begitu yakin bahwa orang-orang pasti akan menuduhnya berdusta. Beliau tampak sedang duduk dengan perasaan sedih. Tiba-tiba muncul musuh Allah si Abū Jahal, lalu ia segera menghampiri beliau.

“Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi?” tanya Abū Jahal kepada beliau dengan nada mengejek.

 

“Benar”, jawab beliau terus-terang.

“Apa itu?”, tanya Abū Jahal.

“Semalam aku menjalani peristiwa isrā’”, jawab beliau.

“Ke mana?”, tanya Abū Jahal.

“Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab beliau.

“Kemudian pagi-pagi seperti sekarang ini kamu mengaku sudah sampai berada di tengah-tengah kami begitu ya?”, tanya Abū Jahal dengan sinis.

“Ya”, jawab beliau.

Nabi s.a.w. merasa yakin bahwa Abū Jahal pasti akan memperolok-oloknya dan mendustakannya. Ia pasti akan tetap keras kepala menentangnya.

“Bagaimana menurutmu kalau kamu panggil kaummu lalu kamu ceritakan hal ini kepada mereka?”, tanya Abū Jahal.

“Baiklah”, jawab Nabi.

“Wahai golongan Bani Ka‘ab bin Lu’ayyi, kemarilah berkumpul di sini!”, teriak Abū Jahal berkali-kali.

Dan tidak lama kemudian banyak orang datang berbondong-bondong. Mereka duduk di majlis di hadapan Nabi s.a.w. dan Abū Jahal.

“Sekarang kamu ceritakan kepada kaummu ini apa yang tadi kamu ceritakan kepadaku”, kata Abū Jahal.

“Semalam aku menjalani peristiwa isrā’”, kata Nabi.

“Ke mana?”, tanya mereka.

Ke Bait-ul-Maqdis”, jawab beliau.

“Dan pagi-pagi sekarang ini anda sudah berada kembali di tengah-tengah kami?”, tanya mereka.

“Benar”, jawab beliau.

Mendengar jawaban Nabi s.a.w. tersebut, sebagian mereka ada yang langsung percaya, dan sebagian lagi ada yang tangannya memegang kepala seraya berteriak heran. Mereka menganggap cerita beliau itu aneh dan berlebihan. Tiba-tiba seseorang bernama Muth‘im bin ‘Ady berdiri dan mengatakan: “Semua yang kamu katakan sebelum hari ini memang benar. Tetapi apa yang kamu ceritakan sekarang ini, aku bersaksi bahwa kamu adalah seorang pendusta. Kami biasa pergi ke Bait-ul-Maqdis dengan naik unta terbaik. Dalam perjalanan ini kami membutuhkan waktu selama sebulan untuk naik, dan juga selama sebulan untuk turun. Tetapi tadi kamu mengaku pergi ke sana dan kembali pulang ke sini hanya membutuhkan waktu semalam saja, Demi Lāta dan ‘Uzzā, aku tidak percaya padamu.”

“Wahai Muth‘im, buruk sekali yang kamu katakan kepada saudara sepupuku ini”, sergah Abū Bakar sambil berdiri. “Beraninya kamu menganggap beliau telah berdusta. Berbeda dengan kami, aku justru bersaksi bahwa beliau adalah orang yang jujur.”

“Wahai Muḥammad, coba kamu jelaskan kepada kami tentang bagaimana keadaan bangunan Bait-ul-Maqdis, bagaimana bentuknya, bagaimana letaknya dari gunung”, kata salah seorang mereka.

Sesungguhnya di antara mereka ada sebagian yang sudah pernah ke tempat suci tersebut, sehingga mereka tahu data-data tersebut. Sepontan Nabi s.a.w. menjelaskan semuanya satu persatu. Karena saking bersemangatnya, tiba-tiba ingatan beliau menjadi kabur. Akibatnya, beliau merasa sangat sedih. Pada saat itulah masjid di Bait-ul-Maqdis didatangkan dan diperlihatkan oleh malaikat kepada beliau dengang jelas, sehingga beliau bisa menerangkannya secara jelas dan detail. Bahkan pertanyaan salah seorang mereka tentang jumlah pintu yang ada dalam masji tersebut, bisa beliau jawab dengan tepat.

“Anda benar, anda benar”, kata Abū Bakar sepontan. “Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah.”

“Apa yang dikatakannya tentang data-data masjid Bait-ul-Maqdis, demi Allah memang benar”, kata salah seorang mereka.

“Tetapi apakah kamu juga percaya kalau ia hanya membutuhkan waktu semalam untuk perjalanan pulang pergi ke Bait-ul-Maqdis?”, tanya yang lain kepada Abū Bakar.

“Ya”, jawab Abū Bakar. “Aku bahkan tetap percaya kepada beliau untuk sesuatu yang lebih aneh dari cerita ini. Sampai kapan pun aku akan tetap percaya khabar berita yang turun dari langit.”

Itulah sebabnya belakangan Abū Bakar diberi gelar Ash-Shiddīq yang berarti orang yang jujur.

“Wahai Muḥammad, coba ceritakan kepada kami tentang keadaan kafilah kami”, kata salah seorang mereka kepada Nabi.

“Aku melewati sebuah kafilah Bani fulan di Rauha. Karena ada seekor unta yang tersesat, mereka pun berusaha mencarinya. Aku sampai di tempat istirahat mereka, tetapi di sana aku tidak menemukan seorang pun di antara mereka. Aku melihat sebuah gelas berisi air, lalu aku meminumnya. Selanjutnya aku meneruskan perjalan dan melewati sebuah kafilah lain di sebuah tempat. Di antara kafilah ini ada seekor unta berwarna merah yang mengangkut sebuah karung berwaruna hitam dan sebuah karung berwarna putih. Begitu posisiku sudah sangat dekat dengan rombongan kafilah ini, mendadak mereka semua sama lari dan ada seekor unta yang karena kaget ia jatuh terjembab dan mati. Aku meneruskan perjalanan, dan melewati rombongan kafilah yang lain lagi di daerah Tan‘īm. Di barisan depan mereka adalah seekor unta yang mengangkut kain permadani berwarna hitam dan dua buah karung yang juga berwarna hitam. Mereka akan muncul kepada kalian dari arah sebuah bukit.”

“Kapan mereka akan datang?”, tanya salah seorang dari mereka.

“Hari Rabu”, jawab Nabi sepontan.

Tepat pada hari Rabu orang-orang Quraisy sama berkumpul untuk menunggu kedatangan rombongan kafilah mereka. Ketika waktu siang telah beranjak dan rombongan kafilah belum juga datang Nabi s.a.w. berdoa kepada Allah ta‘ālā. Oleh malaikat, waktu siang ditambah satu jam dengan cara menahan laju beredarnya matahari, sampai akhirnya dari jauh tampak rombongan kafilah muncul. Dengan suka cita orang-orang Quraisy menyambut rombongan kafilahnya.

“Apakah ada seekor unta kalian yang tersesat?”, tanya salah seorang tokoh Quraisy kepada pemimpin rombongan.

“Benar”, jawabnya.

Mereka juga menanyakan tentang rombongan kafilah yang terakhir.

“Apakah unta kalian yang berwarna merah mati?”, tanya si tokoh Quraisy.

“Ya”, jawabnya.

“Apakah di antara kalian ada yang membawa gelas?”, tanya si tokoh Quraisy.

“Ada. Aku yang membawanya”, jawab salah seorang anggota rombongan kafilah. “Demi Allah, aku sendiri yang meletakkan gelas berisi air itu, tanpa ada seorang pun di antara kami yang meminumnya maupun yang menuangkannya ke tanah”.

Kendatipun demikian orang-orang Quraisy tetap tidak mau percaya. Mereka bahkan menuduh Nabi s.a.w. sebagai tukang sihir. Mereka mengatakan: “Benar apa yang pernah dikatakan oleh al-Walīd.”

Allah ta‘ālā kemudian menurunkan ayat:

وَ مَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْ أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ.

“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.” (Qs. al-Isrā’: 60).

Hanya taufiq dan hidayah Allah s.w.t. lah yang kami mohonkan.


Sumber tulisan: https://hatisenang.com/0-1-pendahuluan-kisah-isra-miraj-rasulullah-saw/