BAB I
LATAR BELAKANG
DIBERIKANNYA MU‘JIZAT ISRĀ’ MI‘RĀJ KEPADA RASŪLULLĀH S.A.W.
Allah
s.w.t. mendukung Rasūl-Nya, Muḥammad s.a.w. dengan berbagai mu‘jizat. Mu‘jizat
itu sebagian besar bersifat materi, yang bisa dilihat oleh semua orang, seperti
memancarnya air dari sela-sela jari Rasūlullāh, datangnya awan yang berarak
memayungi perjalanannya di siang hari yang terik, retaknya bulan, dan
lain-lain. Akan tetapi ada mu‘jizat terbesar yang belum pernah diberikan dan
diperlihatkan kepada siapapun namun hanya diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w.,
yaitu kepergian Rasūlullāh s.a.w. ke Sidrat-ul-Muntahā (langit tertinggi).
Bahkan Rasūlullāh telah melampauinya untuk melihat ayat-ayat Allah di seluruh
langit-Nya. Malaikat Jibrīl a.s. saja yang merupakan malaikat terbesar dan
terdekat dengan Allah ta‘ālā tidak berani memasuki tempat itu. Hingga di
Sidrat-ul-Muntahā, malaikat Jibrīl berhenti dan menyuruh Rasūlullāh s.a.w. maju
seorang diri. Jibrīl berkata kepada beliau: “Majulah, ya Rasūlullāh! Kalau aku
melampaui perbatasan ini dan maju bersamamu, aku akan terbakar hangus!”
Buku
ini berbicara tentang mu‘jizat terbesar yang khusus diberikan kepada Rasūlullāh
s.a.w., yaitu Isrā’ dan Mi‘raj. Tidak seorang nabi pun yang mendapatkan
mu‘jizat ini. Belum pernah ada seorang nabi pun yang naik ke atas langit hingga
mencapai Sidrat-ul-Muntahā (bahkan melampauinya), kemudian kembali ke bumi pada
malam itu juga untuk meneruskan kehidupan rutinnya di muka bumi, selain Muḥammad
Rasūlullāh s.a.w.
Sebelum
kami berbicara tentang mu‘jizat besar ini, kami akan mengisahkan kepada anda
peristiwa-peristiwa yang mendahului mu‘jizat tersebut yang menyebabkan mu‘jizat
itu terjadi.
Rasūlullāh
s.a.w. sebagai nabi dan rasul terakhir Allah s.w.t. telah dipersiapkan secara
Ilāhiyyah oleh Allah ta‘ālā untuk mengemban risalah yang besar yakni risalah
terakhir langit untuk bumi. Allah menjadikan Muḥammad s.a.w. seorang yang ummi,
tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak ada orang yang bisa menuduh
bahwa beliau “meniru dan mengutip” mu‘jizat itu dari peradaban umat-uamt yang
lalu, atau dia belajar ilmu dari seorang guru. Allah s.w.t. menginginkan hanya
Dialah satu-satunya yang menjadi guru Muḥammad s.a.w. Allah ingin ilmu yang
diperoleh rasul-Nya itu langsung dari sisi-Nya, tanpa campur tangan peradaban
bumi. Hal ini saja sudah merupakan suatu mu‘jizat.
Demikianlah,
Muḥammad s.a.w. dibesarkan tanpa belajar dan tanpa seorang guru. Ini tidak
seperti halnya anak-anak sebayanya. Muḥammad s.a.w. tidak tahu perihal dunia
sedikitpun. Selama hidupnya beliau tidak pernah membaca satu huruf pun. Karena
itulah, ketika malaikat Jibrīl datang menyuruhnya “Iqrā’ (bacalah!)”, Muḥammad
langsung menjawab: “Mā ana bi-qāri’ (aku tidak pandai membaca)!” Beliau
menjawab dengang tulus dan polos. Tetapi Jibrīl memeluknya erat-erat seraya
berkata lagi, “Iqrā’”, dan Rasūlullāh mengulangi kembali jawabannya: “Mā ana
bi-qāri’!”. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang hingga tiga kali.
Timbul
pertanyaan di sini, apakah Allah ta‘ālā yang mengirim malaikat Jibrīl tidak
tahu bahwa Muḥammad s.a.w. tidak pandai membaca dan menulis? Mengapa Muḥammad
masih disuruh membaca? Bukankah Dia juga yang memilihnya menjadi seorang nabi
yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Bahkan ciri-cirinya sudah
diumumkan dalam kitab Taurāt dan Injīl, sejak Nabi Mūsā dan ‘Īsā a.s., jauh
sebelum Muḥammad hidup di muka bumi.
Perhatikanlah
firman-Nya dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:
الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ
الرَّسُوْلً النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ
فِي التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْجِيْلِ.
“Mereka yang mengikut
Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurāt dan
Injīl…..” (al-A‘rāf: 157).
Ayat
itu melukiskan kisah bangsa Yahudi yang menyembah anak lembu (sapi) dan
bagaiman Mūsā a.s. telah memilih tujuh orang dari kaumnya. Kata Ikhtāra (bahwa
yang dilakukan Mūsā itu adalah suatu kerja pilihan) artinya: “harus menggunakan
akal pikiran”. Mūsā memilih “ikhtāra” tujuh puluh oleh lelaki yang diambil satu
persatu dari setiap suku bangsa Yahudi sehingga semua suku Yahudi terwakili.
Pada waktu yang ditetapkan, Mūsā a.s. akan memenuhi undangan Allah ta‘ālā.
Allah ingin mengingatkan nabi-Nya, Mūsā a.s. tentang besarnya dosa kaumnya yang
menyembah anak lembu (sapi). Karena itulah mereka dihukum dengan suatu gempa
bumi yang dahsyat hingga menggocangkan seluruh persendian tubuh mereka,
seolah-olah nyawa telah meninggalkan tubuh mereka masing-masing. Gempa yang
ditimpakan Allah itu merupakan hukuman kepada orang yang menyembah dan
menontoni keberkahan kepada anak lembu (sapi). Juga bencana dan adzab yang
ditimpakan kepada orang yang tidak berusaha mencegah.
Pada
waktu itulah Mūsā a.s. memohon kepada Rabbnya. Katanya: “Ya Rabbi, wahai
Pengasih dan Penyayang! Apakah kami akan ditewaskan karena perbuatan sesat
orang-orang bodoh itu? Ya Rabbi, berilah kami karunia rahmat-Mu di dunia dan di
akhirat.”
Maka
pada saat itu Allah s.w.t. memberitahukan kepada Mūsā a.s. tentang rahmat-Nya
yang telah diberikan kepada orang yang mengikuti dan mematuhi Rasūl dan
Nabi-Nya yang ummi. Allah memerintahkan agar “pemberitahuan” itu disampaikan
kepada umatnya.
Dari
kisah tersebut tahulah kita bahwa Allah ta‘ālā sejak azali telah memilih
Rasūl-Nya yang ummi. Inipun merupakan salah satu mu‘jizat Rasūlullāh s.a.w.
lainnya yang mengandung hikmah agar jangan ada orang yang menuduhnya telah
mendapat ilmu dari Ahli Kitab atau membacanya dari kitab orang-orang terdahulu.
Yang
dikatakan Jibrīl kepada Muḥammad s.a.w. pada pertemuan yang pertama kali itu
tidak terlepas dari wahyu Jibrīl dikirim Allah untuk menyampaikan firman-Nya:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ.
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5).
Dengan
mu‘jizat-Nya itu Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa Rasūl-Nya yang
ummi, Muḥammad s.a.w. akan diajari-Nya sendiri supaya dapat menjadi guru
seluruh umat manusia hingga akhir jaman.
1. Tantangan Awal yang
Dihadapi Muḥammad S.A.W.
Allah
ta‘ala memilih Muḥammad s.a.w. yang sudah terkenal akan kejujurannya di
kalangan kaumnya sebagai Rasūl-Nya. Muḥammad hidup di tengah-tengah kaumnya
selama empat puluh tahun sebelum diutus sebagai Rasūl dan sebelum dibebani
amanat membawa risalah. Selama itu kaumnya belum pernah mendengar atau
menyaksikan beliau berbohong, sampai-sampai beliau diberi gelar oleh kaumnya
dengan gelar al-Amin.
Akan
tetapi setelah beliau dibebani amanat oleh Allah untuk membawa risalah, dan
agar menyeru kaumnya dengan teran-terangan, tokoh-tokoh Quraisy merintanginya.
Ini disebabkan karena mereka melihat dakwah Islam yang disebarkan Muḥammad dari
hari ke hari semakin mencuat. Tentu saja cepat atau lambat ini akan mengakhiri
pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka karena itulah sejak awal mereka mati-matian
merintangi dakwah Muḥammad. Bagaimana mereka tidak khawatir, Islam menyamakan
kedudukan budak dengan majikan dan menyamaratakan manusia. Islam tidak
memandang derajat manusia dari warna kulit, keturunan dan darahnya tapi dari
ketaqwaannya. Islam memberikan hak yang sama kepada semua orang, entah itu
kepada bangsawan maupun harijan (Salah satu suku di India yang dianggap paling
rendah bahkan tidak boleh disentuh oleh kasta lain.).
Pekik-pekik
Islam yang senantiasa didengungkan Muḥammad kepada kaumnya terdengar keras dan
memekakkan telinga tokoh-tokoh Quraisy. Mereka panik dan kalap. Karena itulah
mereka berusaha menumpas ajaran yang dibawa Muḥammad s.a.w. dengan segala cara.
Setelah dengan cara kompromi melalui perundingan tidak berhasil, mereka
melakukan kekerasan dan memerangi kaum muslimin. Namun al-ḥamdulillāh, pada
awal dakwahnya Rasūlullāh memiliki dua orang pelindung yang mempunyai pengaruh
cukup besar di kalangan kaumnya sehingga tokoh-tokoh Quraisy tidak gegabah
“menindak”nya. Kedua orang yang amat menyayangi dan amat melindungi beliau itu
adalah pamannya, Abū Thālib dan istri yang sangat mencintai dan membelanya,
Khadījah binti Khuwailid r.a.
Khadījah
adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang pandai memberikan ketenangan
kepada suaminya tatkala suaminya gundah-gulana. Ia memberikan semangat dengan
ucapan, cinta dan hartanya agar suaminya terus berjuang menegakkan al-ḥaqq.
Apabila Rasūlullāh kembali ke rumah dengan hati galau dan pikiran kacau karena
sikap dan tindakan kaum Quraisy, maka Khadījah segera menyambutnya dengan
senyum dan wajah cerah seperti menyambut seorang ksatria yang baru pulang dari
medan laga sehingga derita yang dialami Rasūlullāh lenyap sebelum senyuman
istrinya berakhir.
Kaum
Quraisy dan tokoh-tokohnya terus mencari jalan keluar dalam menghadapi agama
yang dibawa Muḥammad, yang tampak jelas kedatangannya hendak merampas kekuasaan
dan pengaruh duniawi mereka. Pikiran pertama yang muncul dalam benak mereka
adalah menyuap Muḥammad dengan harta, tahta dan wanita dengan syarat beliau mau
meninggalkan dakwahnya. Sebagai penyembah dunia, mereka mengukur Muḥammad
s.a.w. dengan materi. Mereka mengira Muḥammad dapat ditaklukkan dengan dunia
pula. Untuk itu mereka berunding dan berunding terus dalam mempersiapkan
bujuk-rayu yang ampuh. Setelah usai berunding, maka mereka pun pergilah menemui
Abū Thālib guna menyampaikan tawaran tersebut. Kata mereka: “Kalau anda membawa
kisah itu untuk mendapatkan harta, kami akan mengumpulkan harta kami untuk anda
sehingga anda akan menjadi orang terkaya di antara kami. Kalau anda meminta
kekuasaan dan wibawa, kami pun akan mengangkat anda menjadi raja kami, dan
kalau yang datang kepada anda itu (maksudnya: wahyu yang dibawa malaikat
Jibrīl) suatu kekuatan jinn, maka kami akan mencarikan seorang tabib yang mahir
untuk menyembuhkan anda dari gangguan jinn ‘Ifrit yang jahat itu.”
Namun
ternyata, bujuk-rayu mereka tidak mengenai sasaran. Muḥammad sama sekali tidak
terpengaruh oleh dunia yang ditawarkan mereka karena memang beliau datang untuk
mengundang orang agar memperbanyak bekal perjalanan ke akhirat. Ini terbukti
bahwa Muḥammad datang dan menyeru bukan untuk menggalakkan kaumnya agar memburu
harta dan kesenangan duniawi karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang
hakiki bagi manusia. Di sanalah manusia kekal abadi.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ
لَهِيَ الْحَيَوَانُ، لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ.
“Sesungguhnya akhirat
itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabūt: 64).
Ketika
pamannya, Abū Thālib menyampaikan amanat kaumnya itu, Muḥammad s.a.w. menjawab
dengan tegas: “Ya ‘Ammi! Wallāhi, kalau sekiranya mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak akan menghentikan
dakwahku ini hingga akhir hayatku.”
2. Upaya dan Siksaan yang
Dilakukan Kafir Quraisy.
Dari
hari ke hari pengikut Muḥammad semakin bertambah dengan pesat sehingga kaum
Quraisy semakin geram kepadanya. Karenanya mereka terus berusaha mencari jalan
lain untuk membendung arus dakwah Rasūlullāh s.a.w. Akhirnya mereka mendapat
jalan hendak membuat para pengikut Muḥammad ragu dan tidak percaya dengan
risalahnya. Kalau para pengikut Muḥammad sudah termakan hasutannya para tokoh
Quraisy berharap mereka meninggalkan ajaran Muḥammad. Dengan begitu otomatis
dakwah Muḥammad mengalami kegagalan. Peristiwa ini direkam Allah dalam
al-Qur’ān-ul-Karīm yang tertuang dalam surat ar-Ra‘d ayat 43:
“Berkatalah orang-orang
kafir: “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasūl.” Katakanlah (Muḥammad):
“Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan antara orang yang
mempunyai ilmu al-Kitāb.”
Demikianlah
firman Allah dalam menjawab kebohongan orang-orang kafir. Karena itulah upaya
pertama mereka masih belum berhasil, dan setelah itu mereka mencari upaya lain.
Setelah cara membujuk dengan kenikmatan duniawi dan tipu-daya meragukan hati
pengikutnya gagal, mereka akhirnya melakukan jalan pintas dengan kekerasan.
Mereka berharap kekerasan ini bisa membuat Muḥammad dan pengikutnya jera. Maka
mulailah tindakan kejam dan keji mereka lakukan terhadap para budak dan
pengikut Muḥammad s.a.w. yang tidak mempunyai kabilah yang melindungi
keselamatan mereka di wilayahnya sehingga banyak budak dan kaum mustadh‘afīn
(kaum lemah) yang menjadi sasaran tindak kekerasan. Mereka tidak memiliki daya
untuk melepaskan diri selain bersabar menghadapi ujian tersebut.
Sudah
menjadi suratan takdir, para mustadh‘afīn itulah yang menjadi syuhada’ Islam
pertama dalam mempertahankan aqidah. Keluarga Yasir yang baru datang dari
negeri Yaman dan masuk Islam di Makkah merupakan korban pertama kekerasan yang
dilakukan kaum kafir Quraisy. Abū Jahal berusaha keras memaksa keluarga Yāsir
untuk kembali pada kemurtadan sebelum menyiksa dan membunuh mereka. Tapi
ternyata, Yāsir, istrinya, Sumayyah dan putranya, ‘Ammār memilih lebih baik
mati di jalan Allah daripada murtad dari Islam.
Mereka
(Yāsir sekeluarga) dibawa ke gurun pasir di luar kota Makkah. Di situ mereka
disiksa dengan berbagai teknik penyiksaan jahiliyyah. Pada saat dilakukan
penyiksaan kebetulan Rasūlullāh s.a.w. melewati tempat itu. Betapa pilu hatinya
karena pada saat itu beliau belum bisa melepaskan mereka dari cengkeraman kaum
kafir yang keji. Tetapi Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepada mereka:
صَبْرًا آلَ يَاسِرٍ،
إِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ.
“Wahai keluarga Yasir,
bersabarlah! Allah telah menjanjikan surga untuk kalian.”
Penyiksaan
biadab itu berjalan terus dengan berbagai teknik jahiliyyah sehingga Yāsir dan
Sumayyah menghembuskan nafas terakhirnya. Itulah keluarga syuhada’ yang pertama
menumpahkan darahnya dan mempersembahkan nyawanya fī sabīlillāh, radhiyallāhu
‘anhum wa radhū ‘anhu.
3. Mengapa Tindak
Kekejaman Kaum Kafir Terus Berlanjut?
Tindakan
penyiksaan kepada semua orang yang beriman dengan risalah Muḥammad s.a.w.
berjalan terus, tetapi tidak seorang mu’min pun yang mau murtad dari
keimanannya. Bahkan keimanan mereka semakin kuat dan membaja. Mereka yang
disiksa bahkan tidak gentar untuk terus mengulang-ulang kalimat tauhid: “Ahad….
Ahad…. Ahad. Allah Maha Satu, Allah Maha Satu!” Bahkan kalimat itu menjadikan
goyah iman orang-orang kafir dari keberhalaannya.
Karena
tindak kekerasan dan penyiksaan tidak berhasil membungkam mulut kaum mu’min
maka mereka semakin bertindak keras dan ganas. Namun sementara itu, mata langit
mengintai dengan cermat apa yang terjadi terhadap orang-orangnya yang tiada
berdaya dan berdosa. Karena itulah Allah memberitahukan janji-Nya kepada Muḥammad
s.a.w.
“Golongan (orang
kafir/musyrik) itu akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.”
(al-Qamar”: 45).
Rasūlullāh
s.a.w. membacakan ayat itu di depan para sahabatnya. Lalu ‘Umar bertanya:
“Golongan yang mana, ya Rasūlullāh? Bukankah jumlah kami masih sedikit, lemah
dan terhina?” Tetapi beberapa tahun kemudian, dalam perang Badar melawan kaum
kafir, pasukan kaum muslimin dapat mengalahkan mereka padahal jumlah personil
dan perlengkapan senjata kaum kafir jauh lebih besar dan lebih canggih
dibanding yang dimiliki kaum muslimin. Pada perang Badar lebih dari tujuh puluh
orang tokoh kaum kafir Quraisy tewas dan sebanyak itu pula jumlah pasukan kafir
yang dapat ditawan kaum muslimin.
Mendapatkan
kenyataan ini ‘Umar bin Khaththāb r.a. berdiri tertegun. Dia teringat akan
janji Allah ta‘ālā yang pernah disampaikan Rasūlullāh kepadanya. Tiba-tiba dia
berkata: “Nanti gerombolan kaum kafir akan dikalahkan dan mereka akan melarikan
diri. Maha Benar Engkau, Ya Rabbku!”
Dari
uraian peristiwa-peristiwa di atas, kini timbul pertanyaan, apakah Allah s.w.t.
tidak mampu memenangkan agama dan rasul-Nya sejak awal dakwah? Apakah Allah
tidak berkuasa menjadikan tokoh-tokoh Quraisy sebagai orang pertama yang
memeluk Islam?
Sesungguhnya
Allah s.w.t. ingin menunjukkan bahwa orang-orang muslim yang pertama adalah
orang-orang teladan dalam keimanannya. Mereka tidak mudah tergoda dunia, tidak
tergiur oleh harta dan wanita, tidak terbujuk kuasa dan mahkota, serta tidak
menyerah selain kepada kehendak Allah s.w.t. Karena itulah Allah membuat mereka
sedikit jumlahnya, sedikit harta-bendanya dibandingkan dengan yang dimiliki
lawan-lawannya. Dalam masyarakat mereka tergolong rendah dan lemah. Dengan
adanya ujian dari Allah tersebut maka otomatis orang-orang yang mau masuk ke
dalam ad-Dīn-ul-Ḥaqq tersaring ketat. Yang masuk ke dalamnya hanyalah
orang-orang yang benar-benar ikhlas dan jujur, yang siap mengorbankan harta dan
sanak-keluarganya, bahkan rela mati demi menegakkan kalimat-Nya. Karena itulah,
kaum muslimin generasi pertama mendapat amanat dari Allah untuk membawa dan
menyebarkan ajaran-Nya ke seluruh pelosok dalam keadaan bersih dan murni.
Ad-Dīn-ul-Ḥaqq tidak boleh tercemar dengan ambisi dan pamrih duniawi.
Karenanya, pikiran dan qalbu kaum muslimin generasi pertama harus dibersihkan
dari kepentingan-kepentingan duniawi meskipun hanya sebesar dzarrah. Merekalah
yang membuka pintu negara dunia dan mempersembakan warisan Rasūlullāh s.a.w.
kepada seluruh umat manusia. Merekalah yang akan membuka pintu negara dan
istananya. Kalau saja pikiran dan qalbunya sudah terkotori oleh ambisi dan
kecintaan pada dunia tentu dakwah sudah berakhir pada awal langkah mereka.
Kalau
panji Islam dikibarkan pertama-tama oleh seorang tokoh dunia, oleh seorang
hartawan, atau seorang pejabat, tentu banyak orang yang menyambutnya dengan
antusias tapi dengan berbagai cara nifaq dan riya’. Tentu orang akan menyambut
seruan mereka karena ingin “mengambil hati”nya, seperti yang dilakukan kaum
munafiq yang mengipas-ngipas dan meniup-niup para penguasa dunia lainnya.
Mereka memasuki agama ini karena ada kepentingannya, tapi juga akan segera
meninggalkannya bila ada ujian menghadang.
Karena
itulah, maka Allah membebankan medan dakwah ad-Dīn-Nya pada orang-orang yang
Dia benar-benar Maha Tahu akan keikhlasan dan keteguhannya. Allah ta‘ālā amat
sangat tidak ingin ad-Dīn-Nya dibawa oleh orang-orang munafiq. Tentu mereka
akan menjadikan ad-Dīn itu sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Tentu
mereka akan melakukan transaksi kepada siapa yang sanggup membayar lebih
tinggi. Tidak! Allah sama sekali tidak menginginkan hal itu. Allah hanya ingin
yang membawa ad-Dīn-Nya adalah orang-orang yang benar-benar beriman, yang tidak
mau memperjual-belikan ad-Dīn-Nya dan menukarnya dengan dunia. Allah
menghendaki orang-orang yang lebih takut kepada-Nya daripada kepada orang lain.
Mereka yang dengan gagah-berani memaklumkan kalimat kebenaran tanpa rasa takut
dan ngeri kepada siapapun selain kepada Allah. Yang tidak mudah tergelincir dan
tertipu oleh kesenangan duniawi yang sementara.
Karena
itulah, tahun-tahun pertama pengembangan Islam dapat disebut juga sebagai
tahun-tahun penyaringan dan pembersihan keimanan yang jujur. Pada waktu itu
orang yang memeluk Islam tidak memperoleh kesenangan dunia sedikitpun, bahkan
mereka memperoleh sebaliknya. Mereka dikejar-kejar dan disiksa dengan perbagai
siksaan baik fisik, moral dan mentalnya. Namun karena iman yang mendekam dalam
lubuk hatinya bukan iman orang-orang munafiq, maka mereka menerima semua resiko
itu dengan sabar dan tawakkal. Itulah kiranya yang dikehendaki Allah s.w.t.
Aqidah
yang jujur tidak hanya diucapkan dengan kata-kata, akan tetapi dibuktikan
dengan amaliyah yang ikhlas. Ujian praktek merupakan bukti hakiki dari apa yang
terpendam dalam lubuk jiwa manusia. Karena itulah, Allah ta‘ālā senantiasa
meminta bukti dari orang yang telah menyatakan keislamannya dan menjadi
prajurit ad-Dīn-Nya lewat firman-Nya:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ
تُتْرَكُوْا وَ لَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَ لَمْ يَتَّخِذُوْا
مِنْ دُوْنِ اللهِ وَ لَا رَسُوْلِهِ وَ لَا الْمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً وَ اللهُ خَبِيْرٌ
بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
“Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam
kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi
teman yang setia selain Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (at-Taubah: 16).
Demikianlah
kisah awal bergerak dan berkembangnya Islam, dan begitulah kaum muslimin
generasi pertama menghadapi ujian berat berupa penyiksaan, peperangan dan
bahkan pembunuhan sebagai konsekuensi logis dari keimanannya. Itulah salah satu
bukti yang harus mereka perlihatkan sebagai jundullāh, sebagai penyandang
amanat dakwah yang harus mengumandangkannya ke seluruh penjuru. Itulah juga
yang diinginkan Allah ta‘ālā dari kaum muslimin untuk ad-Dīn-Nya supaya tetap
bersih dari tangan orang-orang munafiq yang imannya rapuh sehingga penyandang
ad-Dīn ini hanya terdiri dari orang-orang yang imannya kuat dan keikhlasannya
tinggi, yang tahan bantingan dan ujian seperti yang dikehendaki-Nya.
Rasūlullāh
s.a.w. dan kaum muslimin (generasi pertama) yang menyertainya sudah cukup berat
menerima ujian. Ketabahan mereka sudah cukup tinggi. Maka pantaslah bila Allah
ta‘ālā menyatakan mereka Radhiyallāhu ‘anhum wa radhū ‘anhu. Allah ridha kepada
mereka, dan mereka pun telah menyatakan ridha kepada Allah. Setiap kali
menghadapi gangguan dan rintangan berat dari musuh-musuhNya, setiap itu pula
keimanannya kepada Allah dan kepada janji-janjiNya semakin kuat dan keras. Dari
tangan merekalah kita menerima warisan itu dalam keadaan putih-bersih karena
qalbu mereka yang suci-murni.
3. Kaum Kafir Quraisy
Semakin Kalap.
Dari
hari ke hari kaum kafir Quraisy semakin kalap dan menggila. Mereka pergi ke Abū
Thālib, paman Muḥammad s.a.w., memohon dengan sangat agar Muḥammad meninggalkan
dakwahnya. Maka terjadilah dialog antara Muḥammad s.a.w. dengan pamannya.
Rasūlullāh bersikeras tidak mau berkompromi dalam menyebarkan dakwah, apapun
resiko yang dihadapinya. Ini merupakan puncak keimanan yang tidak mungkin
digeser dan digoyahkan sedikitpun. Akhirnya pamannya menyerahkan masalah itu
sepenuhnya kepada beliau. Katanya: “Kalau begitu terserah apa kehendakmu, wahai
putra saudaraku. Demi Allah, aku tidak akan menekanmu untuk tunduk kepada apa
yang tidak engkau kehendaki!”
Abū
Thālib kemudian meminta kepada keluarga Bani Hāsyim dan keluarga Bani
‘Abd-ul-Muththalib supaya mereka bersedia melindungi Muḥammad dari tindakan
jahat Quraisy. Ternyata seruannya itu mendapat sambutan spontan, kecuali dari
Abū Lahab, paman Rasūlullāh yang memusuhi Islam dengan amat sangat.
Demikianlah,
dalam menghadapi tindakan keji dan ancaman jahat dari kaum Quraisy, Rasūlullāh
mendapat perlindungan dari kedua keluarga dekatnya (dari satu pihak), dan dari
pihak lain pun, yakni dari istri tersayangnya, Khadījah, beliau mendapat
dukungan dan perlindungan yang tiada duanya. Khadījah berhasil memberikan
ketenangan di rumah. Tidak itu saja. Dia juga mendorong dan menunjang
perjuangan Rasūlullāh dengan harta, dengan ucapan yang menentramkan dan
membangkitkan semangat, dan tentu saja dengan segenap cintanya.
Sementara
itu, tentu baiknya. Abū Bakar yang termasuk hartawan berusaha keras membeli
hamba sahaya yang masuk Islam agar mereka terlepas dari tindakan kejam dan keji
majikan-majikannya.
Rasūlullāh
s.a.w. yang mendapat perlindungan dari Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib
tidak terlepas dari tindakan brutal kaumnya. Kadang-kadang di jalanan yang
dilewatinya, kaum Quraisy meletakkan kotoran hewan atau rintangan berduri untuk
melukai beliau. Bahkan ketika sedang shalat di Ka‘bah terkadang Rasūlullāh
disirami kotoran hewan dari belakang. Tetapi semua makar itu dihadapi beliau
dengan penuh kesabaran dan dengan akhlak luhur.
Ketika
gangguan kaum kafir Quraisy sudah tidak tertahankan lagi, Rasūlullāh
memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Ḥabasyah guna melarikan diri dari
kezaliman dan menyelematkan agamanya dari kebuasan orang-orang jahil. Namun
pada saat itulah Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib masuk Islam, dan tak lama
kemudian menyusul ‘Umar bin-ul-Khaththāb. Di kota Makkah kedua tokoh itu
termasuk orang yang disegani dan ditakuti karena kekuatannya, kegagahannya, dan
keberaniannya dalam medan pertempuran. ‘Umar bin Khaththāb pulalah yang pertama
berani shalat di serambi Makkah. Sebelumnya kaum muslimin bila melakukan shalat
hanya di Syi‘ab Makkah karena takut dari tindakan jahat kafir Quraisy. Maka
pada waktu itu juga Rasūlullāh s.a.w. mulai menyeru, memperkenalkan dan mengajak
para kabilah yang datang ke Makkah (baik yang bertujuan hendak berhaji,
ber‘umrah atau berdagang) untuk menganut dan memeluk Islam.
Kaum
kafir Quraisy semakin takut melihat perkembangan Islam yang sudah mulai dikenal
oleh orang luar kota Makkah. Mereka mulai kalap dan menuduh Muḥammad s.a.w.
dengan berbagai tuduhan murah. Mereka menuding Muḥammad sebagai seorang
penyihir, penyair, peramal ulung dan bermacam-macam tuduhan palsu yang justru
menjatuhkan nama mereka sendiri.
Kalau
Rasūlullāh s.a.w. memang seorang penyihir, tentu ia mampu menyihir tokoh-tokoh
Quraisy sebab bukankah orang yang disihir tidak punya kemampuan melawan si
penyihir? Kalau Rasūlullāh memang seorang penyair, tentu sejak mudanya dia
sudah terkenal sebagai penyair, tidak menunggu sesudah usianya mencapai empat
puluh tahun untuk mendendangkan syair-syairnya. Dan kalau dia seorang peramal
yang bisa menyusun Qur’ān tentu susunan yang dilakukannya selama dua puluh tiga
tahun itu akan banyak berselisih satu dengan yang lainnya. Karena itulah Allah
menjelaskan lewat firman-Nya:
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur’ān? Kalau sekiranya al-Qur’ān itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisā’: 82).
4. Datangnya Dukungan
dari Allah ta‘ālā.
Segala
upaya kaum kafir dan musyrikin untuk mematahkan dan mengendorkan semangat
dakwah tidak berhasil. Dakwah Rasūlullāh s.a.w. berjalan terus mengembangkan
sayap dan memperluas jaringannya. Seluruh anggota keluarga Bani Hāsyim dan Bani
‘Abd-ul-Muththalib (kecuali Abū Lahab) kompak membela dan melindungi Muḥammad
dari gangguan kaum Quraisy. Lantas bagaimana dan upaya apa yang dilakukan kaum
kafir Quraisy?
Kaum
kafir Quraisy tidak mau terpaku diam menyaksikan perkembangan dakwah Muḥammad
s.a.w. Bahkan kebencian di hati mereka semakin menjadi-jadi. Mereka berunding
kembali dan akhirnya memutuskan untuk mengadakan pemboikotan terhadap keluarga
Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib beberapa tahun lamanya sehingga
Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya, termasuk para pelindungnya menderita
kelaparan yang tiada tara, sampai-sampai mereka memakan daun-daunan.
Dalam
sidang perundingan yang diputuskan secara formal dalam bentuk tertulis, mereka
bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka akan memboikot secara ketat Bani
Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Maththalib. Mereka tidak mengadakan hubungan jual-beli,
kawin-mengawini, dan transaksi lain dengan kedua Bani tersebut. Surat
pernyataan itu mereka gantung di dalam Ka‘bah.
Setelah
tiga tahun pemboikotan dan pengepungan berjalan kaum muslimin tetap bertahan
dengan keprihatinan mereka, padahal semula kaum Quraisy mengira dengan adanya
pemboikotan kedua Bani tersebut akan meninggalkan Muḥammad dan Islam. Tetapi
ternyata tidak. Bahkan surat keputusan rapat yang digantungkan mereka di dalam
Ka‘bah telah habis dimakan rayap, tinggal tulisan yang berbunyi: Bismika
Allāhumma (Dengan nama-Mu, Ya Allah) saja yang masih utuh.
Rasūlullāh
s.a.w. menyampaikan wahyu Rabb-ul-‘Ālamīn kepada pamannya, Abū Thālib bahwa
Allah ta‘ālā telah mengirim pasukan rayap untuk memusnahkan surat pernyataan
persekongkolan jahat itu, kecuali yang bertuliskan nama Allah saja yang tidak
dimusnahkan-Nya. Abū Thālib menyampaikan keterangan keponakannya kepada kaum
kafir Quraisy bahwa naskah (shaḥīfah) persekongkolan jahat itu tidak mendapat
restu Allah, dan kini sudah dimusnahkan-Nya. Setelah kaum kafir Quraisy
membuktikan hal itu maka akhirnya pemboikotan itupun dihentikan.
Namun
penghentian pemboikotan itu bukan berarti pikiran jahat mereka sudah pulih.
Beberapa bulan kemudian Rasūlullāh s.a.w. dikagetkan dengan terjadinya dua
musibah besar dalam tahun itu yaitu wafatnya paman yang disayangi dan
menyayanginya (Abū Thālib) dan istri tercintanya yang selalu siap melindungi
dan mendukungnya, Khadījah. Rasūlullāh s.a.w. amat berduka dengan kepergian
kedua orang itu sampai-sampai beliau menyebutkan tahun tersebut sebagai ‘Ām-ul-ḥazn
(tahun kesedihan). Kini yang benar-benar dapat beliau harapkan baik di luar
maupun di dalam rumah, hanyalah perlindungan dan kasih sayang Allah semata.
Setelah
beliau kehilangan perlindungan paman dan istrinya, kaum Quraisy semakin berani
dan brutal menghadang dirinya dan para sahabatnya. Gangguan Quraisy seakan tak
pernah henti, bahkan semakin menjadi-jadi. Tetapi semua itu masih beliau hadapi
dengan keteguhan, ketabahan, dan kesabaran. Namun akhirnya, sebagai manusia
biasa, Rasūlullāh s.a.w. tidak tahan lagi dengan kekejaman Quraisy. Maka
kemudian beliau keluar seorang diri ke negeri Thā’if dengan harapan di sana
beliau bisa membujuk kabilah Bani Tsaqīf untuk memberikan perlindungan dan
pembelaan dari keganasan kafir Quraisy. Tetapi sesampai di sana malah
Rasūlullāh s.a.w. mendapatkan caci-maki dan lemparan batu dari orang-orang
jahil sehingga kedua kaki beliau luka-luka. Untuk menghindari lemparan batu
Rasūlullāh s.a.w. berlari hingga sampailah ia di sebuah kebun kepunyaan tiga
orang bersaudara tokoh Thā’if, yakni ‘Utbah dan Syaibah bin Rabī‘ah. Nabi
s.a.w. duduk berteduh di bawah pohon. Rasūlullāh s.a.w. sedih sekali memikirkan
bagaimana kejam dan bodohnya hamba Allah menyambut dakwahnya padahal justru
seruannya itu hendak menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
Rasūlullāh s.a.w. sudah berusaha sebaik-baiknya dan
semaksimal mungkin mengumandangkan dakwahnya, baik di Makkah maupun di luar
Makkah. Beliau telah berusaha meningkatkan kesabaran dan ketabahan. Sejak awal
diberikan tugas tersebut beliau sudah menyatakan siap dan rela mati. Amanat
penyampaian sudah dilakukan beliau dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Semua
daya sudah ditempuh untuk mensukseskannya tanpa mengindahkan beratnya gangguan
dan angkernya medan. Akan tetapi apa daya, sebagai seorang manusia yang dha‘if
menghadapi angkara murkanya jahiliyyah. Tidak ada jalan lain di hadapannya
selain mengangkat kedua tangan ke atas, menyerahkan diri dan kedha‘ifannya
kepada Allah Maha Kuasa. Hanya kepada-Nya beliau mengeluhkan kezhaliman dan
kejahilan penduduk bumi. Beliau mengadu kepada Allah.
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengeluhkan lemahnya
kekuatanku, kurangnya dayaku, dan kehinaanku di mata orang-orang jahil. Ya
Allah, ya arḥam-ar-Rāḥimīn, Engkaulah Pemelihara orang-orang mustadh‘afīn, dan
Engkaulah Pemeliharaku. Kepada siapa gerangan Engkau telah melepaskan daku?
Apakah kepada orang jauh yang memandangku dengan muka masam, atau kepada musuh
yang sudah berhasil menguasai keadaanku? Namun, jika Engkau tidak gusar
kepadaku, aku tidak peduli. Akan tetapi ampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung
dengan nur cahaya wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan dan mengendalikan
masalah dunia dan akhirat. Jangan sampai aku terkena marah-Mu atau tertimpa
murka-Mu. Hanya kepada-Mu aku mengeluhkan diri sehingga Engkau ridha. Wa lā ḥaula
wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.”
Kiranya
dukungan langit memang sangat dibutuhkan Muḥammad s.a.w. untuk membuktikan
kepadanya bahwa apabila penduduk bumi meninggalkannya, maka Allah ta‘ālā dan
seluruh penghuni langit akan menyambutnya dengan mesra dan meriah. Allah telah
berjanji kepadanya bahwa Dia tidak akan membiarkan rasul-Nya menderita
duka-nestapa terus-menerus. Karena itulah Allah berfirman kepada beliau:
وَ اصْبِرْ وَ مَا صَبْرُكَ
إِلَّا بِاللهِ وَ لَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَ لَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ.
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّ الَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ.
“Bersabarlah (hai Muḥammad)
dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah
kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit
dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Naml:
127-128).
Setelah di Thā‘if, Rasūlullāh s.a.w. kembali lagi ke
Makkah seorang diri seperti pada waktu ia keluar meninggalkan kota itu. Berita
tentang adanya Rasūlullāh s.a.w. di Thā‘if sudah sampai terlebih dahulu kepada
kaum Quraisy sebelum beliau tiba di Makkah. Gangguan mereka terhadap Rasūlullāh
s.a.w. semakin meningkat.
Isra’ Mi’raj Malam Yang
Berkeberkahan
Pada malam yang
berkeberkahan dukungan langit pun datanglah, dan waktu itulah sebuah mu‘jizat
besar terjadi pada diri Rasūlullāh, yaitu Mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj.
Sebelum memulai
pembicaraan tentang Isrā’ dan Mi‘rāj Rasūlullāh, terlebih dahulu perlu
memaparkan ayat pertama dari surat al-Isrā’ untuk anda renungkan:
سُبْحَانَ الَّذِيْ
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا.
“Maha Suci Allah yang
telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada malam hari Masjid-il-Ḥarām (di
Makkah) ke Masjid-il-Aqshā (di Bait-ul-Maqdis).” (QS. al-Isrā’: 1).
Surat
tersebut dimulai dengan kata Subḥāna, yang artinya Maha Suci Allah. Ini suatu
ucapan pemujaan terhadap kemahaan Allah yang tiada bandingnya dalam berbagai
sifat dan perbuatan-Nya. Suatu pemujaan terhadap pemujaan-Nya yang mutlak dari
kekurangan dan ketidakberdayaan melakukan apapun. Allah s.w.t. ada, anda pun
ada kini. Tetapi apakah keberadaan anda sama dengan keberadaan Allah ‘azza wa
jalla?
Allah
s.w.t. mendengar, dan anda pun mendengar. Tetapi apakah pendengaran anda sama
dengan pendengaran Allah ta‘ala? Allah memiliki dzat, dan anda pun memiliki.
Namun, mungkinkah kedua dzat itu diperbandingkan?
1. Pelakunya Allah SWT.
Dari
hal tersebut, di atas itulah titik tolak terjadinya mu‘jizat ini. Kalau
pelakunya Allah ta‘ālā, maka tidak mungkin memperbandingkannya dengan apa yang
dilakukan manusia. Segala yang dilakukan Allah ada di luar daya kekuatan
manusia dan di atas daya jangkau akal manusia. Karena itulah, kalau Allah
ta‘ālā melakukan apapun jangan anda bertanya karena daya jangkau akal anda
tidak akan dapat menjangkau berbagai rahasia perbuatan-Nya. Allah s.w.t.
melakukan apa yang dikehendaki-Nya tanpa dibatasi oleh berbagai hukum karena
Dialah yang menciptakan hukum. Allah tidak membutuhkan hukum kausalitas karena
Dia sendirilah yang menciptakan sebab dan akibat.
Allah
ta‘ālā tiada tara dan tidak ada yang menyamai-Nya. Semua makhluk-Nya tunduk
kepada kehendak-Nya. Akan tetapi Dia tidak tunduk kepada kehendak makhluk-Nya
karena dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya dia atas semuanya. Karena itulah
semua ayat-ayat Allah tidak tunduk kepada berbagai hukum alam.
Allah
ta‘ālā telah memberikan contoh yang banyak sekali tentang itu. Dia telah
membatalkan berbagai hukum yang berlaku terhadap para rasul dan nabi-Nya
sebagai mu‘jizat untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawa mereka.
Api
memiliki sifat membakar. Namun, ketika orang kafir menangkap dan melempar
Ibrāhīm a.s. ke dalam api ternyata api berubah sifat menjadi dingin, khusus
untuk Ibrāhīm. Allah ta‘ālā tidak menyuruh Ibrāhīm bersembunyi atau lari dari
kaumnya atau diturunkan hujan lebat ketika mereka hendak membakarnya. Kalau
Allah ta‘ālā melakukan demikian tentu kaum kafir akan mengolok-olok Ibrahim
dengan ucapan: “Kalau Ibrāhīm tidak bersembunyi atau tidak ada hujan tentu
sudah hangus terbakar.” Akan tetapi Allah tidak melakukan demikian. Allah
membiarkan Nabi Ibrāhīm tertangkap dan dibakar. Di balik peristiwa ini tentu
ada hikmah mahatinggi yang hendak diperlihatkan-Nya kepada umat-Nya yang
ingkar. Api yang berkobar-kobar tidak mampu membakar tubuh Ibrāhīm a.s. Ini
disebabkan karena pada waktu itu Allah, Pencipta api memerintahkan kepada
api-Nya seperti yang tertulis dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:
يَا نَارُ كُوْنِيْ
بَرْدًا وَ سَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ.
“Kami berfirman: “Hai api
menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrāhīm.” (QS. al-Anbiyā’:
69).
Demikianlah
Allah ta‘ālā mengangkat sifat api yang membakar itu bagi rasul-Nya, Ibrāhīm.
Tentun tidak ada seorangpun, yang bisa bertanya bagaimana hak tersebut dapat
terjadi karena semua di luar jangkauan daya pikir manusia. Namun ada pula orang
yang memaksakan diri menanyakan dan menganalisa hal tersebut. Kami yakin, pasti
dia tidak akan menemukan jawaban yang diinginkannya karena mu‘jizat itu
perbuatan Allah ta‘ālā. Mu‘jizat diciptakan Allah di atas tingkat akal dan
pikiran manusia. Walaupun sampai hari kiamat, manusia tetap tidak akan bisa
menemukan jawaban sesuai yang diinginkan dan dijangkaunya. Begitu pula halnya
dengan mu‘jizat yang diberikan Allah kepada Mūsā a.s. ketika ia dan pengikutnya
melarikan diri dari pasukan Fir‘aun. Fir‘aun dan pasukannya berada di belakang
(mengejar Nabi Mūsā). Lautan membentang di hadapan Mūsā dan kaumnya. Ketika
berjalan mereka melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan barisannya
sehingga kaum Nabi Mūsā menggigil ketakutan.
Di dalam al-Qur’ān-ul-Karīm Allah ta‘ala menuangkan
riwayat abadi ini lewat untaian firman-Nya:
فَلَمَّا تَرَاءَا الْجَمْعَانِ
قَالَ أَصْحَابُ مُوْسَى إِنَّا لَمُدْرَكُوْنَ.
“Maka tatkala kedua belah
pihak (pasukan Fir‘aun dan kaum Nabi Mūsā) saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Mūsā: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (QS.
asy-Syu‘arā’: 61).
Sebagai
manusia perkataan kaum Nabi Mūsā itu tidak salah karena mereka hanya
menggunakan akal dan logika. Akan tetapi, Mūsā sebagai Nabi Allah yang diutus
oleh-Nya yakin dengan sepenuh keyakinan bahwa hukum kausal tidak berlaku
sendiri, pasti ada yang memberlakukannya. Karena itulah ketika kaumnya cemas
dan ketakutan melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan mereka. Mūsā
menjawab dengan tegas:
قَالَ كَلَّا، إِنَّ
مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ.
“Sekali-kali tidak akan
tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk
kepadaku.” (QS. asy-Syu‘arā’: 62).
Mūsā
begitu yakin kalau Allah tidak akan membiarkan dia berjuang sendirian tanpa
bantuan dan pertolongan-Nya. Dan ternyata, pada saat-saat seperti itu datanglah
dukungan dari Allah yang mewahyukan agar dia memukul tongkatnya ke lautan.
فَأَوْحَيْنَا إِلَى
مُوْسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ، فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ
الْعَظِيْمِ.
“Lalu Kami wahyukan
kepada Mūsā: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan
itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. asy-Syu‘arā’:
63).
Mūsā
yakin, bila ikhtiyar bumi sudah menemui jalan buntu, maka Pencipta ikhtiyar
akan datang dengan mu‘jizat yang mempesona. Tidak seorang pun yang bisa memukul
laut dengan tongkat lalu laut itu terbelah dan bagaikan dua buah gunung yang
menjulang tinggi.
Begitu
pula dengan mu‘jizat ‘Īsā a.s. ketika dia menghidupkan orang mati, menyembuhkan
orang berpenyakit kulit (belang), memulihkan orang buta, menurunkan hidangan
dari langit, dan sebagainya. Semua dilakukan dengan mu‘jizat Allah ta‘ālā.
Pencipta sebab akibat. Anda tidak akan menemukan orang yang bisa yang
menghidupkan orang mati atau menyembuhkan orang sakit seperti itu hanya dengan
isyarat saja. Semua pekerjaan tersebut tidak ada penjelasan analisanya karena
memang bukan orangnya yang melakukan dan menciptakan pekerjaan itu, tetapi atas
kemahakuasaan Allah ta‘ālā semua pekerjaan itu terjadi. Karena itu dalam
al-Qur’ān-ul-Karīm kita sering kali menemukan kata Subḥāna dalam melukiskan
kemahakuasaan Allah. Akal manusia tidak mampu memikirkan dan menjangkaunya
sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya.
سُبْحَانَ الَّذِيْ
خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ مِمَّا
لَا يَعْلَمُوْنَ.
“Maha Suci Allah yang
telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan
oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS.
Yāsīn: 36).
Mustahil manusia dapat mengetahui rahasia penciptaan,
baik penciptaan langsung dari Allah maupun melakukan hukum kausalitas lelaki
dan perempuan. Yang pasti, rahasia kehidupan itu hanya diketahui oleh Allah
ta‘ālā. Karena itulah adakalanya Allah membukakan ilmu-Nya kepada manusia
sehingga kita bisa menciptakan berbagai hal di dalam alam ini, seperti membuat
pesawat luar angkasa yang bisa membawa manusia ke bulan, membuat otak
elektronik atau komputer yang bisa menggerakkan suatu unit perusahaan, dan sebagainya.
Namun yang jelas segala sesuatu tetap pada tingkat penciptaannya, tidak
berubah, bentuknya tidak berbeda. Manusia manapun tidak akan mampu membuat
sesuatu yang namanya berpasang-pasangan dalam arti yang sebenarnya, yang
produknya berkembang dan membesar terus. Karena itulah, dengan kata Subḥāna
dalam firman-Nya seolah-olah Allah hendak mengatakan kepada kita bahwa akal
manusia akan terhenti hanya sampai di situ, tidak akan mampu melampauinya!
2. Arti “Subḥāna”.
Dalam
al-Qur’ān-ul-Karīm kata Subḥāna acapkali dipakai ketika menyebutkan sesuatu
yang mempesona, luar biasa, dan merupakan kemu‘jizatan. Karena itulah ketika
anda mendengarkan firman Allah s.w.t. hendaknya mengetahui bahwa ini merupakan
pensucian terhadap Allah. Kerja yang telah dikerjakan-Nya tidak mungkin
dikerjakan siapapun, selain oleh Allah ‘azza wa jalla.
Subḥāna
adalah kata nama dan semua nama Allah. Subḥāna menandakan pada ketetapan yang
berkesinambungan, seolah-olah Allah Maha Suci sebelum Dia menciptakan makhluk
yang akan mensucikan-Nya.
Firman Allah s.w.t.:
سُبْحَانَ الَّذِيْ
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا.
“Maha Suci Allah yang
telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada suatu malam…..” (QS. al-Isrā’:
1).
Dalam
firman-Nya di atas, Allah benar-benar menginginkan kita mengetahui bahwa
mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj tidak terjadi oleh kekuatan Muḥammad s.a.w. yang
manusia. Karenanya surat tersebut dimulai dengan firman-Nya: Subḥānalladzī
asrā…., yang artinya: “apapun yang akan terjadi sesudah itu dikaitkan pada
kekuatan-Nya semata.”
Apabila
saya mengatakan kepada anda bahwa saya hendak pergi dari Mesir ke Iskandaria
dengan kereta api, dan tentu saya juga hendak pergi ke sana dengan pasawat
terbang, dan teman saya lainnya juga hendak pergi ke sana dengan pesawat jet
tentu hal ini ada perbedaannya. Perbuatan yang dilakukan saya dan kedua teman
saya memang sama, hendak pergi ke Iskandaria. Akan tetapi kekuatannya
berbeda-beda. Perjalanan saya dengan kereta api tentu memakan waktu berjam-jam,
sedangkan teman saya bisa mencapainya hanya dalam waktu setengah jam karena
menggunakan pesawat terbang. Terlebih-lebih teman saya yang satunya lagi. Dia
pasti lebih cepat sampai ke Iskandaria karena menggunakan pesawat jet yang
dapat mengantarkannya ke Iskandaria hanya dalam beberapa menit.
Dari
contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa perbuatan senantiasa sesuai
dengan kekuatan pelakunya. Dengan demikian, jika Allah ta‘ālā berfirman: “Maha
Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, ini berarti perjalanan Isrā’
dan Mi‘rāj merupakan perbuatan Allah ta‘ālā yang berada di atas kekuatan akal
untuk dipikirkan.
Karena
itu seorang ‘Arab yang mempertanyakan dengan nada mengolok-olok dan penuh tanda
hanya besar kepada Rasūlullāh s.a.w. setelah beliau menceritakan kisah Isrā’
dan Mi‘rāj, hal itu menandakan bahwa dia tidak memahami mu‘jizat.
Rasūlullāh
s.a.w. tidak pernah berkata: “Aku telah pergi ke sana”, akan tetapi beliau
selalu mengatakan: “Aku telah diperjalankan ke sana.” Siapa yang
memperjalankannya ke sana? Tentu saja Allah ta‘ālā yang melakukan semua itu.
Karenanya, ketika kaum kafir Quraisy menasabkan mu‘jizat ‘Isrā’ pada kekuatan
manusia, mereka lupa pada kekuatan Allah ta‘ālā. Mereka lupa bahwa Muḥammad
tidak pernah mengatakan: “Saya telah Isrā’ ke Bait-ul-Maqdis.” Beliau selalu
mengatakan bahwa dirinya di-isrā’-kan ke Bait-ul-Maqdis. Maka dari itulah,
seyogianya kita memperhatikan benar kekuatan Pelaku dan kelakuan-Nya. Jangan
membandingkan mu‘jizat dengan perbuatan dan kekuatan manusiawi kita.
3. Hakikat Penggunaan
Kata “‘Abdihi” dalam Surat al-Isrā’.
Dalam
surat al-Isrā’ ayat satu Allah ta‘ala berfirman: “Maha Suci Allah yang telah
memperjalankan hamba-Nya”. Allah tidak mengatakan rasul-Nya karena memang semua
yang selain dari Allah, yang ada di dalam alam-Nya adalah hamba-Nya. Kita semua
adalah hamba-Nya, baik yang taat maupun yang tidak taat, yang mu’min maupun
yang kafir. Namun dalam ayat-ayatNya biasanya yang Allah katakan hamba-Nya
adalah hamba-Nya yang ikhlas, pilihan dan yang senantiasa menyatu dengan metode
Ilahi. Segala sesuatu yang diperintahkan Allah segera dilaksanakan dan segala
yang dilarang-Nya dijauhi dan dihindari, sami‘nā wa atha‘nā! Karena itulah
dalam al-Qur’ān yang ikhlas dan berakhlak, Allah tidak menamakannya “‘abīd”,
tetapi ‘ibād, seperti dalam firman-Nya:
“Dan hamba-hamba yang
baik dari Rabb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Namun
dalam surat al-Isrā’ Allah menggunakan kata ‘abdihi (yang sepadan dengan kata
‘ibād). Ini dimaksudkan untuk menarik perhatian kita pada dua hakikat penting
yaitu:
PERTAMA.
Peritstiwa Isrā’ terjadi dengan rohani dan jasmani, bukan sekedar suatu mimpi
dalam tidur. Isrā’ merupakan suatu peristiwa hakiki yang dialami Rasūlullāh
s.a.w. dalam keadaan sadar, terjaga, dan dapat diinderanya. Kata ‘abdun dalam
istilah bahasa hanya digunakan pada rohani dan jasmani secara bersamaan.
Telah
terjadi perdebatan sengit antara orang-orang yang mendengarkan kisah Rasūlullāh
s.a.w. Namun justru hal ini lebih memperkuat lagi. Ini menandakan bahwa
Rasūlullāh s.a.w. perjalanan Isra’ dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan
tidur atau bermimpi. Kalau perjalanan itu suatu mimpi, siapa yang akan
memperdebatkannya? Apa ada orang yang memperdebatkan mimpi orang tidur? Jelas
tidak ada!
Kalau
anda berkata: “Saya pergi ke Amerika dan kembali ke Mesir dalam 20X semalam”,
apakah ada orang yang akan mendustakan mimpi anda itu? Jelas tidak juga! Apa
yang terjadi dalam mimpi tidak bisa ditundukkan oleh akal dan disesuaikan
dengan hukum logika, seperti mimpi raja di zaman Nabi Yūsuf a.s. yang diuraikan
dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:
“Raja berkata (kepada
orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh
ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus-kurus dari tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.
Hai orang-orang yang terkemuka, terangkan kepadaku tentang ta‘bir mimpiku itu
jika kamu dapat mena‘birkan mimpi.” (Yūsuf: 43).
Apakah
mimpi yang diucapkan raja itu sesuai dengan akal dan logika? Adakah sapi makan
sapi? Siapa di antara kita yang pernah melihat sapi memakan sapi lainnya? Jelas
tidak ada! Kalau sekiranya memang ada, mungkinkah sapi yang kurus memakan sapi
yang gemuk, atau sebaliknya yang lebih sesuai dengan logika?
Tidak
seorang pun yang pernah melihat sapi makan sapi. Akan tetapi, ketika Raja
(dalam ayat di atas) menceritakan mimpinya kepada para wazir dan hulubalangnya,
dan ketika dia meminta untuk menta’wilkan mimpinya itu, apakah orang yang
mendebatnya? Tidak ada, karena mimpi tidak bisa didebat dengan akal dan logika.
Lagi pula mimpi tidak tunduk pada hukum kausalitas manusia. Karenanya para
wazir dan hulubalang hanya berkata: “(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan
kami sekali-kali tidak tahu menta‘birkan mimpi itu.” (Yūsuf: 44).
Mereka
sama sekali tidak mendebat mimpi raja tersebut. Begitu pula halnya orang dalam
menilai mimpi siapapun. Namun dalam menilai mu‘jizat Isrā’ terjadi perdebatan.
Mereka mempertanyakan, bagaimana mungkin Rasūlullāh s.a.w. menempuhnya dalam
semalam, padahal kami menempuh perjalanan itu dengan unta dalam jangka waktu
sebulan.
Terjadinya
perdebatan itu menandakan bahwa perjalanan Isra’ dilakukan Rasūlullāh s.a.w.
dengan rohani dan jasmaninya, seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Maha
Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”. Firman-Nya ini dipaparkan
Allah untuk mengukuhkan bahwa peristiwa Isra’ terjadi dengan ruh dan jasad
Rasūlullāh s.a.w.
KEDUA.
Hakikat penting kedua yang tersirat dari kata ‘abdihi adalah Allah ta‘ālā ingin
menyatakan kepada kita bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi
yang bisa dicapai manusia. Pengabdian kepada Allah merupakan suatu kemuliaan
yang tiada tara, dan suatu karunia yang tiada duanya. Apabila kita membaca
surat al-Kahfi maka kita akan menemukan firman-Nya yang mengungkapkan pertemuan
Mūsā dan pembantunya dengan Khidhir:
“Lalu mereka (Mūsā dan
pembantunya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami. Mūsā berkata kepada Khidhir: “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?” (al-Khafi: 65-66).
Kita
tahu, Mūsā adalah Rasūlullāh s.a.w. dan kalim-Nya. Allah telah berbicara dengan
Mūsā. Sungguhpun begitu masih ada seorang hamba Allah yang jauh lebih berilmu
dari Mūsā a.s. sehingga Mūsā merasa perlu mengikutinya dan berguru kepadanya.
Di sini Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa pengabdian kepada-Nya
merupakan kelas tertinggi di hadapan-Nya. Buktinya, Allah s.w.t. menguraikan
kepada kita dalam surat al-Kahfi tentang kisah Mūsā dan Khidhir a.s. Khidhir
bukan seorang rasul, tapi hanya seorang hamba-Nya. Namun ia telah mencapai
derajat yang tinggi di sisi-Nya, dan Allah memberikan berbagai ilmu dan hikmah
kepadanya, yang tidak diberikan-Nya kepada Mūsā sehingga Mūsā berguru
kepadanya.
Kalau
pengabdian kepada Allah ta‘ālā bisa mengangkat ketinggian martabat seseorang di
sisi-Nya maka pengabdian terhadap manusia kebalikan dari itu, yakni akan
merupakan suatu kehinaan dan kenistaan. Pada umumnya bila manusia menjadi
majikan maka dia cenderung memeras hambanya dan menanggalkan semua hak-hak
hambanya sebagai manusia, sedangkan pengabdian kepada Allah akan memberikan
segala-galanya, baik di dunia maupun di akhirat. Allah akan memberikan rahmat,
karunia dan kemuliaan.
Allah s.w.t. ingin agar kita mengetahui bahwa martabat
yang tinggi dan mulia sudah diberikan juga kepada Muḥammad s.a.w. sebagai
hamba-Nya, yakni dengan diisrā’kannya ruh dan jasad beliau. Kalau Isrā’ terjadi
dalam bentuk mimpi atau hanya dengan ruhnya saja (seperti yang diyakini
sementara orang yang lemah iman) maka tentu kaumnya tidak akan mempermasalahkan
dan mengatakan dengan rasa kagum dan tidak percaya. Tentu tidak akan ada
kaumnya yang berkata: “Bagaimana anda dapat mengatakan menempuh perjalanan itu
dalam semalam saja, sedangkan kami tidak bisa kurang dari sebulan untuk
menempuh perjalanan tersebut, dan itupun dengan mengendarai unta?”
Dengan
demikian jelaslah, perjalanan Isrā’ dan Mi‘rāj terjadi dengan mu‘jizat, dengan
kekuatan Allah ta‘ālā yang berlaku di atas perhitungan akal manusia. Peristiwa
Isrā’ dan Mi‘rāj diberikan khusus kepada hamba-Nya (yang terdiri dari ruh dan
jasad) sebagai makhluk tertinggi dan terdekat-Nya agar dia dapat melihat
ayat-ayat dan kekuasaan-Nya di seluruh kawasan kerajaan-Nya.
Kini
timbul pertanyaan, kepada Isrā’ terjadi di malam hari, kenapa tidak di siang
hari agar bisa dilihat dan diyakini orang? Kalau mu‘jizat itu terjadi dengan
kekuatan Allah, kenapa terjadi dalam semalam, bukan sekejap mata? Bukankah
Allah Maha Kuat memperjalankan hamba-Nya dari Makkah ke Bait-ul-Maqdis
pergi-pulang dalam sekejap mata? Bukankah peristiwa itu terjadi dengan
kekuasaan Allah? Mengapa memakai waktu segala, bukan seketika saja agar lebih
kuat kemu‘jizatan-Nya?
Biasanya
pertanyaan-pertanyaan seperti itu diajukan oleh para orientalis. Mereka mengira
pertanyaan-pertanyaan itu bisa menghancurkan mu‘jizat-Nya, akan tetapi malah
sebaliknya. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas justru menambah kekhasan
segi-segi mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj. Kalau saja para orientalis tidak
membangkitkan kecurigaan orang terhadap Islam, segi-segi tersebut mungkin tidak
banyak diperhatikan orang. Akan tetapi, sudah menjadi suratan takdir, terkadang
Allah ta‘ālā memperalat orang non-mu’min untuk kepentingan ad-Dīn-Nya agar
orang lebih mengenal keagungan dan kebenaran-Nya.
Sumber tulisan : https://hatisenang.com/kategori/kumpulan-buku2-ttg-islam-am/tentang-isra-miraj/kisah-isra-miraj-mujizat-terbesar-prof-dr-m-mutawalli-asy-syarawi/